Layaknya Pulau Penjara yang Mengerikan

Rabu, 25 Februari 2015 - 13:26 WIB
Layaknya Pulau Penjara yang Mengerikan
Layaknya Pulau Penjara yang Mengerikan
A A A
Selama satu tahun Australia mengirim para pencari suaka ke kamp di Papua Nugini. Kamp ini memang didanai langsung Australia tapin tidak dilengkapi sejumlah fasilitas modern, sehingga para tahanan di dalamnya banyak mengalami gangguan mental.

Omid, pencari suaka asal Iran, mengaku kecewa setelah melihat kenyataan dirinya tidak akan pernah bisa tinggal di Australia. Sudah selama 365 hari Omid ditempatkan dalam kamp di Papua Nugini, namun tak pernah sekalipun ia mengecap kenyamanan. Sebaliknya, kelaparan dan pertumpahan darahlah yang menjadi pemandangannya setiap hari.

Pemandangan yang diakuinya lebih tidak indah dibanding kampung halamannya. Pada pertengahan 2013 Omid yang berprofesi sebagai jurnalis di Iran melarikan diri karena mendapatkan ancaman penangkapan. Bermodal sedikit uang, dia membayar seorang pedagang untuk membawanya ke Australia.

Seperti banyak pencari suka lainnya, Omid berangkat ke Pulau Christmast, Australia, lewat Indonesia. Kendati berhasil mencapai perbatasan Australia, rombongannya tertangkap dan akhirnya dia dipindahkan ke kamp Papua Nugini. Papua Nugini yang ditutupi hutan tebal dan memiliki garis pantai menakjubkan mungkin bisa menjadi surga bagi mereka yang ingin merasakan hangatnya air laut.

Tapi, itu hanya akan terjadi jika pulau ini dilengkapi fasilitas layaknya tempat berlibur seperti hotel dan restauran. Papua Nugini tidak seindah yang terlihat dalam foto-foto di mesin pencari data Google. Negara yang menjadi rumah bagi sekitar 50.000 pulau ini menampung kurang lebih 1.000 pencari suaka. Mereka tak pernah berniat berada di tempat ini dan mengalami putus asa karena tak bisa kembali ke kampung halamannya. ”Saya tidak tahu apakah bisa kembali ke Iran atau tidak.

Saya tidak ragu lagi ini adalah penjara paling indah di dunia,” kata Omid dilansir BBC. Apa yang dikatakan Omid mewakili ribuan pemikiran para pencari suaka yang tinggal di kamp. Indah dalam pandangan Omid bukanlah indah yang membuat perasaan nyaman. Karena keindahan kamp yang ada di negara paling banyak memiliki keberagaman etnis ini bersifat semu.

Faktanya, kamp di Papua Nugini begitu kotor, panas, dan menjadi ladang perkembangbiakan nyamuk. Para tahanan kamp menjalani kehidupan yang jauh menyedihkan dibanding di penjara. Kondisi kamp yang kumuh menyebabkan banyak tahanan menderita penyakit tifus dan malaria. Pengairan dan sanitasi buruk semakin menambah derita para tahanan.

Tidak hanya itu, para tahanan juga harus merasakan diskriminasi serta rasisme setiap hari dari para penjaga kamp. Kondisi ini membuat tidak sedikit tahanan yang mengalami gangguan kejiwaan. Namun, keterbatasan tenaga medis membuat mereka tidak tertangani dengan baik dan akhirnya berakhir dengan kematian. Mereka tidak kuat lagi menanggung derita batin dan fisik.

Nicole Hakim, pekerja bantuan yang pernah melayani di kamp ini, menuturkan bahwa Papua Nugini adalah kamp yang buruk. ”Ketika pertama kali saya tiba di sini, serentak ratusan orang mulai mendekati pagar dan memohon pertolongan. Pulau itu tidak lain adalah sebuah penjara instan,” tegas Hakim. Di samping masalah mental, para tahanan juga harus menghadapi masalah lain yang lebih pelik yakni perseteruan dengan penduduk lokal.

Pada awal 2014 pernah terjadi pertempuran darah yang mengakibatkan satu orang tewas dan 77 lainnya mengalami luka. Hal lain yang menjadi ketakutan terbesar seluruh tahanan adalah sampai kapan mereka akan berada di pulau mengerikan itu. Sayangnya jawaban yang diberikan Pemerintah Australia mungkin hanya akan membuat tahanan lebih depresi, karena pemerintah Australia tidak akan pernah menerima mereka. ”Setiap pencari suaka yang tiba di Australia dengan perahu tidak akan memiliki kesempatan menetap di Australia,” bunyi pernyataan Pemerintah Australia.

Rini Agustina
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2505 seconds (0.1#10.140)