Kehidupan Sumber Estetika (Bagian II-habis)
A
A
A
Pokok pertama: yang indah dan yang mulia dari kehidupan itulah sumber estetika. Ada seni dari kehidupan yang dihayati begitu saja dalam ritual syukur dan ritus tahaptahap kehidupan: mulai kelahiran, pendewasaan atau akil balik, perkawinan, hingga kematian.
Namun terdapat pula ritus kehidupan yang disumberkan, lalu disucikan berdasarkan hormat atas kesuburan tanah agraris atau gunung-gunung atau pencaharian hidup dari air, samudra atau maritim. Oleh karena itu, para seniman dan kita semua ”dengan spontan” mudah memuliakan kehidupan dalam tari dan nyanyi begitu irama gendang, seruling kecapi, atau gamelan menyentuh jiwa! para seniman menuliskan setelah mengajarkan lisan nada-nada kehidupan dalam simbolsimbol angka sebagai ”not”.
Lalu not balok musik atau nada melodi yang diciptakan harmoni menirukan suara-suara alam atau suara-suara kehidupan pagi-pagi seakan bersiul bersama burung-burung dan petang bersenandung menjadi suara alam. Dalam sejarah budaya tulis dan peradaban rasionalitas budi, sebenarnya baru pada abad ke-18 apa yang dihayati sebagai ritus seni dan pemuliaan hidup diteorikan difilsafatkan.
Baru saat itu penghayatan yang indah dan subur dari kehidupan dicoba rumuskan dalam teori mengenai seni. Sejak itu pula, kita ramai berdebat secara rasional antara berbicara atau berteori mengenai seni versus menghayati atau mengalami seni sebagai pengalaman rasa.
Karena itulah, arti teori seni adalah sistematisasi logis mengenai seni yang dalam diktat-diktat pemikiran berdasar kategorisasi nalar logis lalu membuat estetika di sejarah pemikiran barat tidak masuk ke filsafat sistematis. Sebabnya? Yaitu tadi, pengalaman menghayati seni itu beyond (melampaui) cakupan sistematisasi logis. Di situ ”kelebihan seni” sebagai filsafat estetika.
Ia tak bisa direduksi dalam sistematisasi berdasar nalar rasional belaka. Sebagai contoh filsuf Kant menaruh kata kunci pengalaman seni sebagai sublime yang merupakan pengalaman nilai atau yang bermakna mengatasi kalkulasi kepentingan untung rugi.
Dalam ringkasan diskusi mengenai etika, estetika, dan epistemologi, ranah atau wilayah hidup olah makna atau sistematisasi makna lalu disatukan dalam ranah aksiologi, yaitu ranah ”logos ” mengenai makna-makna (baca: sebagai yang dipandang berguna, dihayati sebagai yang berharga dalam hidup ini).
Untuk kepentingan tulisan ini, menarik untuk dicatat sebagai kesimpulan dari lapangan atau fenomenafenomena yang diinduksikan menjadi teori seni di Nusantara adalah teori ritual. Artinya, seni merupakan ritus yang berhubungan erat dengan upacara menghormati kehidupan yang misterius, eksotis sekaligus membuat gemetar.
Bukankah fenomena vulkanologi gunung berapi di mana kita berada di atas cincin api yang vulkanologis pemberi kesuburan tanah Nusantara, tetapi sekaligus mengandung magma bencana tiap kali meletus menjadikan kita semestinya menyadari bingkai dialogdialog alam, membaca tanda-tanda alam secara ritual merawat hidup dan menapaki seni ”pemuliaannya” dan bukannya serakah menghabiskan tanah dan air apalagi mengeruk habis yang di dalam air hingga makna ritual tanah air makin memprihatinkan?
Karena itu, teori ritual seni menempatkan estetika sebagai pemujaan kosmologis, pemuliaan hidup secara religi, penghormatan pada kesuburan. Dan yang pokok adalah kepercayaan bahwa kehidupan ini ada sumbernya: ada awal dan akhir di mana, tahap-tahap hidup mulai dari lahir sampai kematian dihayati dan diberi ekspresi ritualnya.
Retak pecahkah jalan kehidupan berbangsa kita ketika lupa pada ritus seni pemuliaan kehidupan berbangsa? Hukum dan konstitusi serta demokrasi tanpa ruh perawatan dan pemuliaan kehidupan di nurani dan sanubari para pelakunya dalam ritual politik, ekonomi yang menaruh peradaban sebagai tujuan berbangsa dan bernegara dalam sejarah kita akan menjadi zaman ”kaliyuga” (zaman kacau orientasi makna dan nilai). Estetika kehidupan sedang tidur atau pingsankah?
MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara,
Dosen Pascasarjana UI,
Budayawan
Namun terdapat pula ritus kehidupan yang disumberkan, lalu disucikan berdasarkan hormat atas kesuburan tanah agraris atau gunung-gunung atau pencaharian hidup dari air, samudra atau maritim. Oleh karena itu, para seniman dan kita semua ”dengan spontan” mudah memuliakan kehidupan dalam tari dan nyanyi begitu irama gendang, seruling kecapi, atau gamelan menyentuh jiwa! para seniman menuliskan setelah mengajarkan lisan nada-nada kehidupan dalam simbolsimbol angka sebagai ”not”.
Lalu not balok musik atau nada melodi yang diciptakan harmoni menirukan suara-suara alam atau suara-suara kehidupan pagi-pagi seakan bersiul bersama burung-burung dan petang bersenandung menjadi suara alam. Dalam sejarah budaya tulis dan peradaban rasionalitas budi, sebenarnya baru pada abad ke-18 apa yang dihayati sebagai ritus seni dan pemuliaan hidup diteorikan difilsafatkan.
Baru saat itu penghayatan yang indah dan subur dari kehidupan dicoba rumuskan dalam teori mengenai seni. Sejak itu pula, kita ramai berdebat secara rasional antara berbicara atau berteori mengenai seni versus menghayati atau mengalami seni sebagai pengalaman rasa.
Karena itulah, arti teori seni adalah sistematisasi logis mengenai seni yang dalam diktat-diktat pemikiran berdasar kategorisasi nalar logis lalu membuat estetika di sejarah pemikiran barat tidak masuk ke filsafat sistematis. Sebabnya? Yaitu tadi, pengalaman menghayati seni itu beyond (melampaui) cakupan sistematisasi logis. Di situ ”kelebihan seni” sebagai filsafat estetika.
Ia tak bisa direduksi dalam sistematisasi berdasar nalar rasional belaka. Sebagai contoh filsuf Kant menaruh kata kunci pengalaman seni sebagai sublime yang merupakan pengalaman nilai atau yang bermakna mengatasi kalkulasi kepentingan untung rugi.
Dalam ringkasan diskusi mengenai etika, estetika, dan epistemologi, ranah atau wilayah hidup olah makna atau sistematisasi makna lalu disatukan dalam ranah aksiologi, yaitu ranah ”logos ” mengenai makna-makna (baca: sebagai yang dipandang berguna, dihayati sebagai yang berharga dalam hidup ini).
Untuk kepentingan tulisan ini, menarik untuk dicatat sebagai kesimpulan dari lapangan atau fenomenafenomena yang diinduksikan menjadi teori seni di Nusantara adalah teori ritual. Artinya, seni merupakan ritus yang berhubungan erat dengan upacara menghormati kehidupan yang misterius, eksotis sekaligus membuat gemetar.
Bukankah fenomena vulkanologi gunung berapi di mana kita berada di atas cincin api yang vulkanologis pemberi kesuburan tanah Nusantara, tetapi sekaligus mengandung magma bencana tiap kali meletus menjadikan kita semestinya menyadari bingkai dialogdialog alam, membaca tanda-tanda alam secara ritual merawat hidup dan menapaki seni ”pemuliaannya” dan bukannya serakah menghabiskan tanah dan air apalagi mengeruk habis yang di dalam air hingga makna ritual tanah air makin memprihatinkan?
Karena itu, teori ritual seni menempatkan estetika sebagai pemujaan kosmologis, pemuliaan hidup secara religi, penghormatan pada kesuburan. Dan yang pokok adalah kepercayaan bahwa kehidupan ini ada sumbernya: ada awal dan akhir di mana, tahap-tahap hidup mulai dari lahir sampai kematian dihayati dan diberi ekspresi ritualnya.
Retak pecahkah jalan kehidupan berbangsa kita ketika lupa pada ritus seni pemuliaan kehidupan berbangsa? Hukum dan konstitusi serta demokrasi tanpa ruh perawatan dan pemuliaan kehidupan di nurani dan sanubari para pelakunya dalam ritual politik, ekonomi yang menaruh peradaban sebagai tujuan berbangsa dan bernegara dalam sejarah kita akan menjadi zaman ”kaliyuga” (zaman kacau orientasi makna dan nilai). Estetika kehidupan sedang tidur atau pingsankah?
MUDJI SUTRISNO SJ
Guru Besar STF Driyarkara,
Dosen Pascasarjana UI,
Budayawan
(bbg)