Serunya Berburu Kuliner di Pasar Imlek Semawis Semarang

Sabtu, 21 Februari 2015 - 11:35 WIB
Serunya Berburu Kuliner...
Serunya Berburu Kuliner di Pasar Imlek Semawis Semarang
A A A
Urusan lidah dan perut tidak bisa dipisahkan. Kebutuhan makan memang harus segera terpenuhi apabila otak telah mengirimkan sinyal lapar. Termasuk saat mengunjungi Pasar Imlek Semawis Semarang yang digelar sejak Sabtu hingga Selasa (14 Februari-17 Februari 2015) di sepanjang Lorong Gang Pinggir Pecinan Semarang.

Selama acara berlangsung, stan-stan makanan didirikan untuk memuaskan hasrat pengunjung yang ingin mencicipi kuliner khas Pecinan Semarang yang telah diolah sedemikian rupa menyesuaikan lidah warga lokal. Itu karena kuliner yang bisa dijumpai tak hanya kuliner khas Tiongkok. Salah satu stan makanan yang jadi tujuan pengunjung adalah pisang plenet.

Sebutan plenet (dibaca “e” pada sedih berasal dari bahasa Jawa yang berarti dipipihkan). Ini karena cara memasak pisang yang dikuliti, lalu ditekan-tekan atau dipipihkan di atas jaring pemanggang yang dipanaskan di atas api. Selanjutnya, disajikan dengan gula halus dan meses. Harganya hanya Rp10.000.

“Pisang yang dipakai adalah jenis kepok karena teksturnya keras sehingga tidak terlalu lembek saat disuguhkan,” kata Arifin, penjual pisang plenet, sambil sibuk menyajikan kudapan tersebut untuk pengunjung. “Keluarga kami sudah berjualan sejak 1952. Namun, sekarang pisang plenet sudah jarang ditemui. Padahal, santapan ini termasuk ikon Kota Semarang,” katanya.

Galih, mahasiswa kampus swasta, berharap keberadaan pisang plenet harus dijaga jangan sampai hilang. Ia berharap kudapan ini dapat dikemas lebih modern dan dipasarkan lebih luas agar lebih banyak orang bisa mencicipi. “Memakan pisang plenet seperti ikut melestarikan ciri khas Semarang,” ujarnya. Selain pisang plenet, kuliner lain yang bisa dicicipi di Pasar Imlek Semawis adalah wedang tahu.

Minuman hangat ini cocok menemani pengunjung yang lelah berkeliling pada malam hari. Aroma jahe langsung menyebar ketika pedagang menuangkan wedang hangat ke mangkuk. “Minuman ini terbuat dari kedelai yang dilembutkan, lalu ditambahi kuah jahe. Tepat banget bila diseruput kala malam yang dingin. Bisa mengobati serak dan masuk angin,” kata Anik, penjual yang meneruskan usaha sang suami yang meninggal.

“Saya sengaja mampir karena butuh minuman hangat yang nikmat,” kata Praptiwi, gadis berlesung pipit yang memesan dua mangkuk wedang tahu. Es marem, es conglik, bakcang, siomay, tahu gimbal, lunpia, serabi, nasi ayam, nasi goreng, sate babi, babat gongso, swike, hingga nasi pindang adalah deretan kuliner lain yang bisa dicoba.

Terus Hidup, Jaga Kemajemukan

Bagi warga Semarang, kawasan pecinan di Kecamatan Semarang Tengah merupakan bukti harmonisasi beragam etnis yang hidup di kota tersebut. “Ada kelenteng, ada gereja, juga ada masjid. Ada lumpia, ada nasi ayam, ada soto, pia, ada juga toko obat. Ada perajin bongpay, perajin rumah kertas, juga tukang cukur ala tempoe doeloe. Ada Pasar Gang Baru dan ada toko emas. Semuanya menyatu,” ujar Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis) Harjanto Kusuma Halim.

Pecinan juga memiliki arak-arakan Sampo, Sembahyang King Hoo Ping Lintas Agama, dan Sinci Gus Dur di Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong. Di pecinan juga digelar Misa Imlek dan Misa Capgomeh di Gereja Kebondalem. Haryanto menunjukkan betapa harmonisasi terbangun baik di pecinan. Etnis Tionghoa hidup dan menetap tanpa berselisih paham dengan etnis dari suku lain seperti Jawa dan Koja.

“Lihat itu di Pasar Gang Baru, pembeli dan penjual, serta bibigendong, saling mengenal dan bertegur akrab,” katanya. Masyarakat pun diminta berkunjung ke Warung Semawis yang biasa diadakan setiap malam akhir pekan. Di sana dapat disaksikan pembauran dan penghapusan sekat para pengunjung yang datang dari bermacam etnis dan latar belakang sosial. “Mereka akan menikmati semangkuk es puter conglik, sambil mendengarkan seorang encek tua yang asyik berjoget dan menyanyikan lagu Sakitnya Tuh di Sini’,” tuturnya.

Harmoni dalam Kemajemukan

Revitalisasi pecinan bukan sekadar revitalisasi ragawi. Revitalisasi pecinan adalah juga revitalisasi nonragawi. Ini menumbuhkan kesadaran masyarakat pecinan bahwa etnis Tionghoa bukan lagi etnis yang didiskriminasi atau dimarginalkan. Etnis Tionghoa adalah etnis yang sejajar dan setara, berkesempatan dan berhak yang sama dengan suku-suku lain di negara ini.

Etnis Tionghoa adalah warga negara Republik Indonesia. Febrianna Chadijah, mahasiswi Jurusan Administrasi Publik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, sepakat bahwa pecinan kini telah berbenah dan semakin diakui dalam menjaga kemajemukan. Menurut dia, pecinan merupakan salah satu tempat yang khas di Semarang yang bisa dipamerkan kepada temantemannya dari luar kota ketika mampir di Semarang.

“Di sini kental sekali budaya Tionghoanya. Semua berdampingan damai. Jadi, asyik banget buat refreshing dari tugas-tugas kuliah,” katanya sambil terkekeh. Senada dengan Febrianna, Hanum Putri Hapsari, gadis kelahiran Purwokerto yang baru saja mendapat gelar sarjana ilmu gizi dari Fakultas Kedokteran Undip, mengaku mendapat keseruan saat menyambangi Pecinan Semarang.

Keseruan juga diperoleh Mizan Ikhlasul Rahman, mahasiswa Jurusan Manajemen Undip asal Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Dia seolah merasakan negeri Tiongkok yang sebenarnya saat menyempatkan diri ke Pecinan Semarang. “Ini adalah bukti kalau memang orang Tiongkok persebaran penduduknya juga ada di seluruh penjuru dunia,” katanya.

Shela Kusumaningtyas
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1090 seconds (0.1#10.140)