Tarif Angkutan Mahal dan Khawatir Dipaksa Menikah
A
A
A
Ratusan juta pekerja migran di China memanfaatkan libur panjang Tahun Baru Imlek dengan pulang ke kampung halaman untuk merayakan momentum tahunan ini bersama keluarga, namun tidak sedikit pula yang terpaksa merayakan tanpa kehadiran keluarga.
Terlebih bagi mereka yang masih bujang. Li Cailian misalnya. Pada peringatan Tahun Baru Imlek kali ini dia terpaksa tidak pulang ke kampung halamannya di bagian barat daya Yunnan. Dia memilih tetap berada di Shanghai. ”Sejak Januari, saya mulai mencari tiket kereta maupun pesawat, tapi tiket kereta telah habis,” ungkap Cailian, dikutip Channel News Asia.
”Selain itu, perjalanan pulang juga memakan waktu dua hari, sementara saya hanya mendapat hak cuti tujuh hari. Jadi kalau saya pulang, waktu liburku hanya dua atau tiga hari,” sambung Cailian yang berprofesi sebagai produser stasiun televisi ini. Bagi Cailian, naik pesawat sudah bukan pilihan lagi karena harga tiket yang begitu tinggi di Tahun Baru Imlek ini.
Meski begitu, mahalnya harga tiket pesawat bukanlah satu-satunya alasan untuk membatalkan liburannya kali ini. Ada alasan lain yang membuatnya enggan pulang ke kampung halaman. ”Jika saya pulang, keluarga serta teman-teman akan menanyakan tentang pacar dan pekerjaanku. Ini menjadi beban tambahan dari keluarga besarku, terlebih lagi kedua orang tuaku,” ungkap Cailian.
”Orang tuaku bahkan telah mencarikan jodoh untukku,” imbuhnya. Untuk menghindari perjodohan yang diinginkan orang tuanya, dia mengaku tidak bisa pulang karena mahalnya tarif penerbangan dan kereta. Keberatan atas jodoh pilihan orang tua merupakan hal yang banyak terjadi di China, khususnya bagi mereka yang lahir setelah era 90-an.
Menurut beberapa pakar, generasi muda China setelah era 90-an kurang tertarik untuk hidup terikat. Berbeda dengan orang tua dan kakek nenek mereka. ”Generasi setelah era 90-an ini lebih fokus terhadap pengembangan diri mereka dibanding menjalin kehidupan pernikahan. Jika orang tua mereka siap bekerja ekstra, mereka berpikir bekerja delapan jam per hari sudah cukup dan sisa waktunya dapat digunakan untuk belajar, hiburan, dan bersosialisasi,” ucap Xu Benliang, direktur Yayasan Amal Shanghai.
Bagi Cailian, Kota Shanghai telah menjadi bagian dari kehidupannya. Dia berharap suatu saat dapat mengumpulkan hasil jerih payahnya untuk membeli tiket pesawat agar bisa kembali mengunjungi keluarga besar dan orang tua di kampung halamannya. Setelah Tahun Baru China ini, dia berharap dapat pulang kampung seiring penurunan tarif penerbangan.
Arvin
Terlebih bagi mereka yang masih bujang. Li Cailian misalnya. Pada peringatan Tahun Baru Imlek kali ini dia terpaksa tidak pulang ke kampung halamannya di bagian barat daya Yunnan. Dia memilih tetap berada di Shanghai. ”Sejak Januari, saya mulai mencari tiket kereta maupun pesawat, tapi tiket kereta telah habis,” ungkap Cailian, dikutip Channel News Asia.
”Selain itu, perjalanan pulang juga memakan waktu dua hari, sementara saya hanya mendapat hak cuti tujuh hari. Jadi kalau saya pulang, waktu liburku hanya dua atau tiga hari,” sambung Cailian yang berprofesi sebagai produser stasiun televisi ini. Bagi Cailian, naik pesawat sudah bukan pilihan lagi karena harga tiket yang begitu tinggi di Tahun Baru Imlek ini.
Meski begitu, mahalnya harga tiket pesawat bukanlah satu-satunya alasan untuk membatalkan liburannya kali ini. Ada alasan lain yang membuatnya enggan pulang ke kampung halaman. ”Jika saya pulang, keluarga serta teman-teman akan menanyakan tentang pacar dan pekerjaanku. Ini menjadi beban tambahan dari keluarga besarku, terlebih lagi kedua orang tuaku,” ungkap Cailian.
”Orang tuaku bahkan telah mencarikan jodoh untukku,” imbuhnya. Untuk menghindari perjodohan yang diinginkan orang tuanya, dia mengaku tidak bisa pulang karena mahalnya tarif penerbangan dan kereta. Keberatan atas jodoh pilihan orang tua merupakan hal yang banyak terjadi di China, khususnya bagi mereka yang lahir setelah era 90-an.
Menurut beberapa pakar, generasi muda China setelah era 90-an kurang tertarik untuk hidup terikat. Berbeda dengan orang tua dan kakek nenek mereka. ”Generasi setelah era 90-an ini lebih fokus terhadap pengembangan diri mereka dibanding menjalin kehidupan pernikahan. Jika orang tua mereka siap bekerja ekstra, mereka berpikir bekerja delapan jam per hari sudah cukup dan sisa waktunya dapat digunakan untuk belajar, hiburan, dan bersosialisasi,” ucap Xu Benliang, direktur Yayasan Amal Shanghai.
Bagi Cailian, Kota Shanghai telah menjadi bagian dari kehidupannya. Dia berharap suatu saat dapat mengumpulkan hasil jerih payahnya untuk membeli tiket pesawat agar bisa kembali mengunjungi keluarga besar dan orang tua di kampung halamannya. Setelah Tahun Baru China ini, dia berharap dapat pulang kampung seiring penurunan tarif penerbangan.
Arvin
(bbg)