Dewan Optimistis Bisa Lengserkan Ahok
A
A
A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta optimistis penggunaan hak angket sebagai tindak lanjut polemik Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2015 berjalan mulus.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik mengatakan, saat ini pihaknya tengah mengumpulkan 106 tanda tangan anggota Dewan untuk mendukung menggunakan hak angket. Menurutnya, APBD yang diserahkan Pemprov DKI Jakarta ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bukanlah APBD yang disahkan pada 27 Januari lalu.
Selain tidak ada tanda tangan ketua DPRD sekaligus Ketua Badan Anggaran (Banggar) Prasetyo Edi Marsudi, program kegiatan yang dirancang dalam APBD juga sudah terkunci di e-budgeting . ”Ini jelas pelanggaran hukum. Kami optimistis jika hak angket yang kami gunakan dapat memberhentikan Ahok sebagai gubernur,” kata Taufik saat ditemui di lobi Gedung DPRD DKI Jakarta kemarin.
Taufik menjelaskan, sesuai perundang-undangan, sebelum APBD disahkan program- program kegiatan eksekutif terlebih dahulu disampaikan ke legislatif dan disepakati dalam Kebijakan Umum Alokasi Plafon Penggunaan Anggaran Sementara (KUAPPAS). Setelah itu dibawa ke dalam rapat kerja antara satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan masing-masing komisi dan diteruskan ke Badan Anggaran (Banggar).
Draf APBD yang telah dibahas Banggar kemudian diparipurnakan dan disahkan dengan tanda tangan gubernur dan ketua DPRD. Yang menjadi persoalan, lanjut politikus Gerindra itu, Ahok tidak melakukan pembahasan kembali terhadap APBD yang telah disahkan tersebut. Ahok langsung mengirim draf tersebut ke Kemendagri.
Faktanya, Kemendagri tidak mau menerima APBD tersebut dan dikembalikan ke Pemprov DKI Jakarta lantaran tidak ada tanda tangan ketua DPRD serta rincian penggunaan anggaran yang tidak jelas. ”Dari situ saja sudah terlihat bagaimana Ahok melanggar undang-undang.
Ebudgeting itu harusnya ada setelah pengesahan. Itu kan sistem transparansi, bukan prosedur rancangan APBD,” sebutnya. Konflik antara DPRD dan Pemprov DKI Jakarta kembali muncul. Kali ini konflik terkait pembahasan APBD DKI Jakarta 2015. APBD 2015 DKI Jakarta sebesar Rp73,08 triliun itu telah disepakati dan disahkan pada 27 Januari lalu.
Namun, draf APBD 2015 yang telah disahkan tersebut langsung dikirim Pemprov DKI Jakarta ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tanpa kembali dibahas bersama DPRD. Sepekan kemudian draf APBD tersebut dikembalikan Kemendagri lantaran dinilai kurang memenuhi syarat teknis perihal rincian nomenklatur.
Selain pengembalian draf APBD, Dewan juga menyoroti dimasukkan anggaran ke dalam sistem e-budgeting sebelum APBD disahkan. Pemasukan anggaran ke sistem e-budgeting ini dilakukan Pemprov DKI Jakarta saat KUA-PPAS disepakati. Dengan sistem ini, alokasi anggaran tidak bisa lagi diutak-atik.
Sekretaris Komisi A DPRD DKI Jakarta M Syarif mengatakan, kemunculan hak angket di anggota Dewan lantaran Ahok telah berkali-kali melakukan kesalahan. Mulai memaki anak buahnya, menghina institusi DPRD, hingga pengajuan APBD ke Kemendagri. Menurutnya, penggunaan hak angket dilakukan karena jika hanya hak interpelasi, tidak akan menemukan akar masalah.
”Kalau Kemendagri memediasi APBD ini, hak angket memang akan dibatalkan. Tetapi, Ahok kan punya kesalahan- kesalahan lain dan kami punya bukti-buktinya. Dari hak angket kami nanti memiliki hak menyatakan pendapat yaitu meminta Ahok untuk berhenti jadi gubernur,” ucapnya. Syarif menegaskan, DPRD memiliki hak budgeting sampai satuan ketiga.
Surat sekretaris kabinet 11 Juni 2014 perihal pembahasan APBN berdasarkan putusan MK No 35 dan penghematan serta pemotongan anggaran belanja dalam rangka pelaksanaan APBN 2014 yang menyatakan tidak sampai satuan ketiga itu hanya berlaku bagi DPR. Buktinya dalam rapat kerja banyak SKPD yang mendapat masukan dari masing-masing komisi.
Misalnya, dalam rapat kerja dia bertanya kepada wali Kota Jakarta Timur mengenai renovasi kantor kelurahan. Kantor kelurahan yang diajukan masih dalam kondisi bagus, sementarakantorkelurahanlain sudah rusak malah tidak diajukan untuk direnovasi. ”Jawaban wali kota, Ya terserah bapak saja. Saya belumtahukalauiturusak. Ya kami coret pengajuan itu. Artinya kan kami berhak masuk pada satuan ketiga,” sebutnya.
Dengan polemik ini, lanjut Syarif, otomatis penggunaan APBD akan terhambat. Ini karena apabila Kemendagri mengesahkan, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah akan memperlihatkannya ke Dewan. Saat itu Dewan otomatis menolak dan memilih untuk menunggu hasil hak angket yang paling lambat selesai selama 60 hari kalender. ”Kami setuju dengan permintaan Ahok untuk buka-bukaan.
Lihat saja nanti hasil penyelidikan dalam hak angket. Kami punya bukti rekaman raker, pembahasan, dan sebagainya,” ungkapnya. Lagi-lagi Ahok tidak ambil pusing dengan polemik ini. Dia memilih bekerja menjalankan program-program yang sudah ada. Menurutnya, anggota Dewan seharusnya memilih menggunakan hak interpelasi agar bisa mendapat jawaban yang lebih jelas. ”Udahlah biarin aja mereka, enggak usah dipikirin . Kerja aja, macet dan banjir masih ada,” katanya.
Bima setiyadi
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta M Taufik mengatakan, saat ini pihaknya tengah mengumpulkan 106 tanda tangan anggota Dewan untuk mendukung menggunakan hak angket. Menurutnya, APBD yang diserahkan Pemprov DKI Jakarta ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) bukanlah APBD yang disahkan pada 27 Januari lalu.
Selain tidak ada tanda tangan ketua DPRD sekaligus Ketua Badan Anggaran (Banggar) Prasetyo Edi Marsudi, program kegiatan yang dirancang dalam APBD juga sudah terkunci di e-budgeting . ”Ini jelas pelanggaran hukum. Kami optimistis jika hak angket yang kami gunakan dapat memberhentikan Ahok sebagai gubernur,” kata Taufik saat ditemui di lobi Gedung DPRD DKI Jakarta kemarin.
Taufik menjelaskan, sesuai perundang-undangan, sebelum APBD disahkan program- program kegiatan eksekutif terlebih dahulu disampaikan ke legislatif dan disepakati dalam Kebijakan Umum Alokasi Plafon Penggunaan Anggaran Sementara (KUAPPAS). Setelah itu dibawa ke dalam rapat kerja antara satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dan masing-masing komisi dan diteruskan ke Badan Anggaran (Banggar).
Draf APBD yang telah dibahas Banggar kemudian diparipurnakan dan disahkan dengan tanda tangan gubernur dan ketua DPRD. Yang menjadi persoalan, lanjut politikus Gerindra itu, Ahok tidak melakukan pembahasan kembali terhadap APBD yang telah disahkan tersebut. Ahok langsung mengirim draf tersebut ke Kemendagri.
Faktanya, Kemendagri tidak mau menerima APBD tersebut dan dikembalikan ke Pemprov DKI Jakarta lantaran tidak ada tanda tangan ketua DPRD serta rincian penggunaan anggaran yang tidak jelas. ”Dari situ saja sudah terlihat bagaimana Ahok melanggar undang-undang.
Ebudgeting itu harusnya ada setelah pengesahan. Itu kan sistem transparansi, bukan prosedur rancangan APBD,” sebutnya. Konflik antara DPRD dan Pemprov DKI Jakarta kembali muncul. Kali ini konflik terkait pembahasan APBD DKI Jakarta 2015. APBD 2015 DKI Jakarta sebesar Rp73,08 triliun itu telah disepakati dan disahkan pada 27 Januari lalu.
Namun, draf APBD 2015 yang telah disahkan tersebut langsung dikirim Pemprov DKI Jakarta ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tanpa kembali dibahas bersama DPRD. Sepekan kemudian draf APBD tersebut dikembalikan Kemendagri lantaran dinilai kurang memenuhi syarat teknis perihal rincian nomenklatur.
Selain pengembalian draf APBD, Dewan juga menyoroti dimasukkan anggaran ke dalam sistem e-budgeting sebelum APBD disahkan. Pemasukan anggaran ke sistem e-budgeting ini dilakukan Pemprov DKI Jakarta saat KUA-PPAS disepakati. Dengan sistem ini, alokasi anggaran tidak bisa lagi diutak-atik.
Sekretaris Komisi A DPRD DKI Jakarta M Syarif mengatakan, kemunculan hak angket di anggota Dewan lantaran Ahok telah berkali-kali melakukan kesalahan. Mulai memaki anak buahnya, menghina institusi DPRD, hingga pengajuan APBD ke Kemendagri. Menurutnya, penggunaan hak angket dilakukan karena jika hanya hak interpelasi, tidak akan menemukan akar masalah.
”Kalau Kemendagri memediasi APBD ini, hak angket memang akan dibatalkan. Tetapi, Ahok kan punya kesalahan- kesalahan lain dan kami punya bukti-buktinya. Dari hak angket kami nanti memiliki hak menyatakan pendapat yaitu meminta Ahok untuk berhenti jadi gubernur,” ucapnya. Syarif menegaskan, DPRD memiliki hak budgeting sampai satuan ketiga.
Surat sekretaris kabinet 11 Juni 2014 perihal pembahasan APBN berdasarkan putusan MK No 35 dan penghematan serta pemotongan anggaran belanja dalam rangka pelaksanaan APBN 2014 yang menyatakan tidak sampai satuan ketiga itu hanya berlaku bagi DPR. Buktinya dalam rapat kerja banyak SKPD yang mendapat masukan dari masing-masing komisi.
Misalnya, dalam rapat kerja dia bertanya kepada wali Kota Jakarta Timur mengenai renovasi kantor kelurahan. Kantor kelurahan yang diajukan masih dalam kondisi bagus, sementarakantorkelurahanlain sudah rusak malah tidak diajukan untuk direnovasi. ”Jawaban wali kota, Ya terserah bapak saja. Saya belumtahukalauiturusak. Ya kami coret pengajuan itu. Artinya kan kami berhak masuk pada satuan ketiga,” sebutnya.
Dengan polemik ini, lanjut Syarif, otomatis penggunaan APBD akan terhambat. Ini karena apabila Kemendagri mengesahkan, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah akan memperlihatkannya ke Dewan. Saat itu Dewan otomatis menolak dan memilih untuk menunggu hasil hak angket yang paling lambat selesai selama 60 hari kalender. ”Kami setuju dengan permintaan Ahok untuk buka-bukaan.
Lihat saja nanti hasil penyelidikan dalam hak angket. Kami punya bukti rekaman raker, pembahasan, dan sebagainya,” ungkapnya. Lagi-lagi Ahok tidak ambil pusing dengan polemik ini. Dia memilih bekerja menjalankan program-program yang sudah ada. Menurutnya, anggota Dewan seharusnya memilih menggunakan hak interpelasi agar bisa mendapat jawaban yang lebih jelas. ”Udahlah biarin aja mereka, enggak usah dipikirin . Kerja aja, macet dan banjir masih ada,” katanya.
Bima setiyadi
(bhr)