Dana Desa Picu Tingginya Pemekaran
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan pemberian dana desa memicu tingginya pemekaran wilayah desa. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)M mencatat, jumlah desa meningkat dari 72. 944 pada awal 2013 menjadi 74.093 pada awal 2015.
Pemerintah pun diminta menyiapkan antisipasi lubernya permintaan pemekaran wilayah desa ini. “Dulu pemekaran desa lebih disebabkan oleh kontestasi lokal. Tapi sekarang, dengan adanya dana desa, semakin menambah keinginan desa untuk mekar. Ini perlu diantisipasi oleh pemerintah daerah (pemda) dan pemerintah pusat,” tandas Direktur Eksekutif Pemantau Pemekaran dan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng kepada KORAN SINDOkemarin.
Robert mengatakan, dana desa jika dijalankan secara optimal akan menjadi gulagula. Tahun ini saja anggaran desa mencapai lebih dari Rp20 triliun. “Itu direncanakan terus meningkat hingga seratusan triliun pada 2019. Sebagaimana dana alokasi umum (DAU) yang juga menginsentif 220 daerah otonom baru (DOB),” tuturnya. Antisipasi ini perlu dilakukan karena jangan sampai terjadi komplikasi pemekaran.
Di mana adanya pemekaran desa akan memicu pemekaran kecamatan. Dari pemekaran kecamatan lalu timbullah keinginan memekarkan kabupaten/kota hingga akhirnya pemekaran provinsi. “Semakin banyak pemekaran desa semakin banyak pemekaran daerah. Mumpung tidak terlalu jauh, pemerintah harus tegas. Kalau tidak, nanti fiskal negara yang terbebani,” tandasnya.
Endi mengatakan, pemda harus tegas dalam hal pemekaran desa. Jangan karena hitunghitungan politik kepala daerah dan DPRD maka pintu pemekaran dibuka begitu saja. “Pemda tidak boleh ada lobi-lobi atau politik balas jasa. Memang ada desa yang perlu dimekarkan, tapi ini harus dilakukan secara objektif, bukan untuk modal politik,” ujarnya. Sedangkan untuk pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri, harus dapat menjadi filter. Kemendagri harus memiliki data yang komprehensif agar dapat mengevaluasi setiap pemekaran desa yang diusulkan.
“Sekarang harus ada nomor kode wilayah. Nah, peran pemerintah pusat di sini. Harus melakukan evaluasi sebelum memberikan itu. Saya rasa kalau di bagian ini dilakukan secara benar maka tidak akan jebol, sekalipun usulan pemekaran desa mengalir deras,” paparnya. Semakin maraknya usulan penomoran kode wilayah desa pun diakui Direktur Jenderal (Dirjen) PUM Kemendagri Agung Mulyana.
“Hampir seribuan lahyang masuk ke kita. Itu termasuk kecamatan. Mayoritas pemekaran kecamatan juga mulainya dari desa,” ungkap Agung. Dia juga mengutarakan bahwa maraknya usulan untuk nomor kode wilayah disebabkan adanya dana desa. Sebab, jika tidak memiliki nomor registrasi, maka desa tersebut tidak berhak mendapatkan dana desa.
“Ini kita rem (pemekaran karena dana desa) dengan kode. Tidak dapat kode berarti liar. Jika belum dilaporkan dan tidak dapat kode, jangan harap dapat dana desa,” ujarnya. Agung mengatakan bahwa pemekaran tidak saja marak di tataran kabupaten/kota. Pemerintah sudah meminta agar bupati/wali kota dan gubernur melaporkan kepada menteri dalam negeri (mendagri) terkait proses pemekaran yang akan dilakukan.
“Harus begitu, ini bisa kisruh jika pemekaran terjadi begitu cepat. Untuk dana desa, kita punya data 72.000 desa. Di lapangan sudah berkembang banyak. Bisa-bisa desa-desa baru ada yang tidak dapat. Ini nanti bisa ribut,” tandasnya.
Dita angga
Pemerintah pun diminta menyiapkan antisipasi lubernya permintaan pemekaran wilayah desa ini. “Dulu pemekaran desa lebih disebabkan oleh kontestasi lokal. Tapi sekarang, dengan adanya dana desa, semakin menambah keinginan desa untuk mekar. Ini perlu diantisipasi oleh pemerintah daerah (pemda) dan pemerintah pusat,” tandas Direktur Eksekutif Pemantau Pemekaran dan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng kepada KORAN SINDOkemarin.
Robert mengatakan, dana desa jika dijalankan secara optimal akan menjadi gulagula. Tahun ini saja anggaran desa mencapai lebih dari Rp20 triliun. “Itu direncanakan terus meningkat hingga seratusan triliun pada 2019. Sebagaimana dana alokasi umum (DAU) yang juga menginsentif 220 daerah otonom baru (DOB),” tuturnya. Antisipasi ini perlu dilakukan karena jangan sampai terjadi komplikasi pemekaran.
Di mana adanya pemekaran desa akan memicu pemekaran kecamatan. Dari pemekaran kecamatan lalu timbullah keinginan memekarkan kabupaten/kota hingga akhirnya pemekaran provinsi. “Semakin banyak pemekaran desa semakin banyak pemekaran daerah. Mumpung tidak terlalu jauh, pemerintah harus tegas. Kalau tidak, nanti fiskal negara yang terbebani,” tandasnya.
Endi mengatakan, pemda harus tegas dalam hal pemekaran desa. Jangan karena hitunghitungan politik kepala daerah dan DPRD maka pintu pemekaran dibuka begitu saja. “Pemda tidak boleh ada lobi-lobi atau politik balas jasa. Memang ada desa yang perlu dimekarkan, tapi ini harus dilakukan secara objektif, bukan untuk modal politik,” ujarnya. Sedangkan untuk pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri, harus dapat menjadi filter. Kemendagri harus memiliki data yang komprehensif agar dapat mengevaluasi setiap pemekaran desa yang diusulkan.
“Sekarang harus ada nomor kode wilayah. Nah, peran pemerintah pusat di sini. Harus melakukan evaluasi sebelum memberikan itu. Saya rasa kalau di bagian ini dilakukan secara benar maka tidak akan jebol, sekalipun usulan pemekaran desa mengalir deras,” paparnya. Semakin maraknya usulan penomoran kode wilayah desa pun diakui Direktur Jenderal (Dirjen) PUM Kemendagri Agung Mulyana.
“Hampir seribuan lahyang masuk ke kita. Itu termasuk kecamatan. Mayoritas pemekaran kecamatan juga mulainya dari desa,” ungkap Agung. Dia juga mengutarakan bahwa maraknya usulan untuk nomor kode wilayah disebabkan adanya dana desa. Sebab, jika tidak memiliki nomor registrasi, maka desa tersebut tidak berhak mendapatkan dana desa.
“Ini kita rem (pemekaran karena dana desa) dengan kode. Tidak dapat kode berarti liar. Jika belum dilaporkan dan tidak dapat kode, jangan harap dapat dana desa,” ujarnya. Agung mengatakan bahwa pemekaran tidak saja marak di tataran kabupaten/kota. Pemerintah sudah meminta agar bupati/wali kota dan gubernur melaporkan kepada menteri dalam negeri (mendagri) terkait proses pemekaran yang akan dilakukan.
“Harus begitu, ini bisa kisruh jika pemekaran terjadi begitu cepat. Untuk dana desa, kita punya data 72.000 desa. Di lapangan sudah berkembang banyak. Bisa-bisa desa-desa baru ada yang tidak dapat. Ini nanti bisa ribut,” tandasnya.
Dita angga
(ars)