MK Tolak Permohonan Akil Mochtar
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak permohonan uji materi Undang- Undang (UU) 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang diajukan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.
MK menilai permohonan yang diajukan Akil tidak beralasan menurut hukum. “Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Arief Hidayat dalam membacakan putusan di ruang sidang MK di Jakarta kemarin. Dalam pertimbangan, MK menyatakan penuntut umum yang harus membuktikan harta kekayaan terdakwa merupakan hasil tindak pidana tidaklah tepat.
MK menilai seharusnya terdakwa lebih mudah untuk membuktikan harta kekayaannya bukan hasil tindak pidana demi kepastian hukum. Langkah itu bisa dilakukan bila terdakwa memiliki itikad baik. Dengan demikian, penuntut umum akan kesulitan membuktikan harta kekayaan terdakwa hasil dari tindak pidana. “Selain itu, Pasal 12B ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memperkenankan pembuktian terbalik dalam gratifikasi,” ungkap hakim konstitusi Suhartoyo.
Begitu pula dengan dalil Akil yang menyatakan KPK tidak memiliki kewenangan untuk menyidik dan menuntutnya adalah tidak beralasan. MK bahkan menyatakan persoalan tersebut bukanlah persoalan uji konstitusionalitas, melainkan kasus konkret.
“Menimbang yang menurut pemohon Pasal 95 tentang TPPU bukan kewenangan KPK untuk menyidik dan menuntut, menurut mahkamah kasus konkret yang mengenai instansi yang berwenang menyidik dan menuntut bukanlah persoalan yang dapat dimohon pengujian konstitusionalitasnya ke mahkamah,” sebutnya. Akil mengajukan uji materi atas sembilan pasal yakni Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 69, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 95 UU TPPU.
Melalui kuasa hukumnya, Akil meminta MK membatalkan dan menafsirkan ulang pasal tersebut karena menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum baginya. Kuasa hukum Akil, Adardam Achyar, tidak ingin mengomentari penolakan yang diputuskan MK. “Itulah putusannya. Saya tidak bisa mengomentari. Yang pasti, putusan ini akan segera kita sampaikan ke Pak Akil,” ucap Adardam.
Nurul adriyana
MK menilai permohonan yang diajukan Akil tidak beralasan menurut hukum. “Menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Arief Hidayat dalam membacakan putusan di ruang sidang MK di Jakarta kemarin. Dalam pertimbangan, MK menyatakan penuntut umum yang harus membuktikan harta kekayaan terdakwa merupakan hasil tindak pidana tidaklah tepat.
MK menilai seharusnya terdakwa lebih mudah untuk membuktikan harta kekayaannya bukan hasil tindak pidana demi kepastian hukum. Langkah itu bisa dilakukan bila terdakwa memiliki itikad baik. Dengan demikian, penuntut umum akan kesulitan membuktikan harta kekayaan terdakwa hasil dari tindak pidana. “Selain itu, Pasal 12B ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memperkenankan pembuktian terbalik dalam gratifikasi,” ungkap hakim konstitusi Suhartoyo.
Begitu pula dengan dalil Akil yang menyatakan KPK tidak memiliki kewenangan untuk menyidik dan menuntutnya adalah tidak beralasan. MK bahkan menyatakan persoalan tersebut bukanlah persoalan uji konstitusionalitas, melainkan kasus konkret.
“Menimbang yang menurut pemohon Pasal 95 tentang TPPU bukan kewenangan KPK untuk menyidik dan menuntut, menurut mahkamah kasus konkret yang mengenai instansi yang berwenang menyidik dan menuntut bukanlah persoalan yang dapat dimohon pengujian konstitusionalitasnya ke mahkamah,” sebutnya. Akil mengajukan uji materi atas sembilan pasal yakni Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 69, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 ayat (1), dan Pasal 95 UU TPPU.
Melalui kuasa hukumnya, Akil meminta MK membatalkan dan menafsirkan ulang pasal tersebut karena menimbulkan multitafsir dan ketidakpastian hukum baginya. Kuasa hukum Akil, Adardam Achyar, tidak ingin mengomentari penolakan yang diputuskan MK. “Itulah putusannya. Saya tidak bisa mengomentari. Yang pasti, putusan ini akan segera kita sampaikan ke Pak Akil,” ucap Adardam.
Nurul adriyana
(ars)