Banyak Rakyat Korea Utara Melarikan Diri ke Negara Tetangga

Rabu, 11 Februari 2015 - 12:34 WIB
Banyak Rakyat Korea...
Banyak Rakyat Korea Utara Melarikan Diri ke Negara Tetangga
A A A
Kerasnya hidup di Korea Utara (Korut) membuat tidak sedikit rakyat Korut yang terpaksa melarikan diri ke negara tetangga seperti China dan Korea Selatan (Korsel) dalam beberapa dekade terakhir.

Ironisnya, kaum perempuan Korut yang kabur ke China terkadang terperangkap dalam sindikat perdagangan manusia (trafficking). Banderol mereka bisa mencapai 10.000 yuan (sekitar Rp20 jutaan) per orang. Beberapa dari mereka hanya bisa pasrah karena tidak memiliki pilihan yang lebih baik. Namun, keputusan itu juga memiliki risiko.

Mereka belum tentu akan mampu memperbaiki masa depan. Saetemin, salah satu imigran Korut, mengaku telah menjadi korban trafficking pada 2002. Kini dia membantu urusan imigrasi warga Korut ke China. Sekitar 20 orang warga Korut telah berhasil dibantu Saetemin untuk berimigrasi ke China secara ilegal.

“Banyak perempuan Korut yang menawarkan diri untuk menikah dengan pria China. Kami menjual mereka dengan harga 4.000 yuan per orang kepada pihak ketiga yakni orang keturunan perkawinan Korut- China.

Orang Korut-China akan kembali menjual perempuan itu dengan harga 10.000 yuan per orang,” ungkap Saetemin, seperti dikutip dalam hasil studi penelitian Kim Kwang Jin, anggota riset Lembaga Penelitian Strategi Keamanan Nasional Korea dalam acara Simposium Internasional Hak Asasi Manusia Korut di Jakarta, kemarin.

Perempuan Korut yang kawin dengan warga China bukan lantas membuat mereka menjadi warga legal China. Perkawinan ini juga tidak resmi. Akibat itu, secara status puluhan ribu anak hasil perkawinan silang ini ikut terlantar. Pada 1999 sekitar 225.000 perempuan Korut mengungsi ke China. Bayi yang lahir diperkirakan mencapai 49.500 orang.

Artinya, angka kelahiran di perbatasan mencapai sekitar 22%. Pada Januari 2006 sebanyak 257 anak terlahir di 135 desa di sepanjang daerah perbatasan Korut-China. Dari hasil beragam survei, sekitar 51,9% dari 75,5% imigran perempuan juga berada di bawah tanggung jawab pria China yang mengawini mereka. Kondisi mereka normal.

Namun, dalam sebuah wawancara dengan lembaga terkait, sebagian besar dari mereka sebelumnya mengaku telah menjadi korban perdagangan manusia. Mereka terkadang dianggap tak beda jauh dengan pekerja seks komersial (PSK) karena mereka diharuskan menjalani kawin paksa minimal sekali atau lebih kepada lelaki hidung belang.

Menurut Dr Adriana Elisabeth, kepala pusat penelitian politik dari Institut Sains Indonesia, kenyataan pahit itu menjadi fatamorgana dari kehidupan yang ditawarkan para sindikat perdagangan manusia. Maklum, kondisi di Korut bisa lebih pahit. Beberapa dari mereka ada yang diperlakukan semena-mena dan tidak memiliki hak untuk mengadu karena Korut tidak memiliki sistem perlindungan warga negara yang memadai.

Menurutnya, rezim Pyonyang telah menganut sistem ideologi Juche. “Sistem ini jelas bertentangan dengan esensi sebuah negara yang berdaulat yang terdiri dari pemerintah, rakyat, dan wilayah. Rezim Korut melakukan kejahatan terhadap kemanusian secara berlapis. Pertama , mereka tidak mengizinkan dua bangsa bersaudara untuk bertemu.

Kedua , mereka tidak mampu menyejahterakan rakyat Korut secara ekonomi, politik, dan keamanan,” kata Adriana. Hukuman yang dijatuhkan pengadilan Korut terhadap perempuan yang melanggar aturan Korut juga kejam dan berlebihan. Perempuan yang dipulangkan karena berusaha kabur menuju negara tetangga berpeluang disiksa, dipukul, dikurung, diperkosa, dihukum implikasi, atau dihukum mati.

Kwang Jin mengonfirmasi itu. Dia menerangkan pernah ada sebuah keluarga gagal kabur dari Changchun, China ke Korea Selatan (Korsel). Sang ibu divonis hukuman mati, sementara anaknya yang berusia 9 dan 13 tahun dikurung di lembaga sosial pada 2004.

Korut juga terkesan menolak menerima anak yang dikandung dari luar Korut. Pada musim gugur 2005, seorang ibu hamil berusia 30 tahunan yang dipulangkan dari negara tetangga melahirkan di panti sosial Korut. Namun, dia diabaikan hingga bayinya meninggal. “Tidak hanya itu, ibu hamil juga terkadang dipaksa bekerja kasar,” sambung mantan konsultan Kementerian Unifikasi Korea itu.

Lebih lanjut, Kwang Ji mengatakan, sebagian besar negara Asia telah berupaya membantu dan menyelamatkan imigran Korut secara diamdiam. “Para imigran Korut bebas memilih negara. China, Korsel, dan Asia Tenggara yang memiliki misi kemanusiaan terhadap imigran ilegal Korut telah ikut menyediakan ruang kepada mereka yang tidak ingin kembali dideportasi ke negara asal,” tutur Kwang Ji.

Muh Shamil
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0893 seconds (0.1#10.140)