MK Pertanyakan Alasan Permohonan Denny Dkk
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin menggelar sidang perdana pengujian kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menyetujui pengangkatan dan pemberhentian kapolri dan panglima Tentara Negara Indonesia (TNI).
Dalam sidang itu, MK mempertanyakan alasan pengujian yang menyatakan hak prerogatif presiden terpasung dengan adanya persetujuan DPR. Pengujian ini diajukan mantan Wamenkumham Denny Indrayana, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (Pusako), Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka mempersoalkan Pasal 11 ayat 1, 2, 3, 4, dan 5 UU 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Pasal 13 ayat 2, 5, 6, 7, 8, dan 9 UU 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Kedua pasal tersebut secara garis besar mengatur keterlibatan DPR dalam memberikan persetujuan bagi pengangkatan dan pemberhentian kapolri dan panglima TNI oleh presiden. Melalui kuasa hukumnya, Heru Widodo, mereka menyatakan adanya persetujuan DPR guna mengangkat dan memberhentikan kapolri dan panglima TNI dinilai memasung hak prerogatif presiden.
Ini disebabkan dalam sistem pemerintahan presidensial seharusnya presiden memiliki kewenangan penuh untuk mengangkat dan menghentikan kapolri maupun panglima TNI tanpa melibatkan DPR. Pasalnya, jika merujuk pada kasus konkret saat ini perihal pengangkatan kapolri dengan status tersangka melalui persetujuan DPR, justru membahayakan upaya pemberantasan korupsi.
Guna mencari solusi di atas sekaligus menegaskan sistem presidensial, pemohon mengajukan uji materiil ini. Heru pun menerangkan, sebagaimana termaktub dalam risalah perubahan UUD 1945, seharusnya hak prerogatif presiden tidak melibatkan cabang lembaga lainnya. Kalaupun ada pembatasan hak prerogatif presiden dengan melibatkan lembaga negara lain, itu harus ditegaskan dalam UUD 1945. Namun, MK mempertanyakan alasan pemohon yang menyatakan hak prerogatif presiden terpasung jika dikaitkan dengan pengangkatan kapolri saat ini.
“Apakah calon ini tidak diberikan persetujuan oleh DPR? lalu terpasungnya di mana? Kalau tidak diberikan persetujuan mungkin kualifikasi untuk dikatakan terpasung bisa, tapi justru yang terlihat diberikan (persetujuan) dengan waktu yang cepat,” ungkap hakim konstitusi Patrialis Akbar. Karena itu, para pemohon harus bisa menjelaskan alasan permohonan dengan lebih komprehensif termasuk kedudukan hukum (legal standing).
Dalam permohonan, ungkap Patrialis, hanya dikatakan para pemohon pembayar pajak di mana hak konstitusionalnya dirugikan. Namun, lanjutnya, tidak semua pembayar pajak otomatis memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan.
Nurul adriyana
Dalam sidang itu, MK mempertanyakan alasan pengujian yang menyatakan hak prerogatif presiden terpasung dengan adanya persetujuan DPR. Pengujian ini diajukan mantan Wamenkumham Denny Indrayana, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (Pusako), Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Mereka mempersoalkan Pasal 11 ayat 1, 2, 3, 4, dan 5 UU 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Pasal 13 ayat 2, 5, 6, 7, 8, dan 9 UU 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Kedua pasal tersebut secara garis besar mengatur keterlibatan DPR dalam memberikan persetujuan bagi pengangkatan dan pemberhentian kapolri dan panglima TNI oleh presiden. Melalui kuasa hukumnya, Heru Widodo, mereka menyatakan adanya persetujuan DPR guna mengangkat dan memberhentikan kapolri dan panglima TNI dinilai memasung hak prerogatif presiden.
Ini disebabkan dalam sistem pemerintahan presidensial seharusnya presiden memiliki kewenangan penuh untuk mengangkat dan menghentikan kapolri maupun panglima TNI tanpa melibatkan DPR. Pasalnya, jika merujuk pada kasus konkret saat ini perihal pengangkatan kapolri dengan status tersangka melalui persetujuan DPR, justru membahayakan upaya pemberantasan korupsi.
Guna mencari solusi di atas sekaligus menegaskan sistem presidensial, pemohon mengajukan uji materiil ini. Heru pun menerangkan, sebagaimana termaktub dalam risalah perubahan UUD 1945, seharusnya hak prerogatif presiden tidak melibatkan cabang lembaga lainnya. Kalaupun ada pembatasan hak prerogatif presiden dengan melibatkan lembaga negara lain, itu harus ditegaskan dalam UUD 1945. Namun, MK mempertanyakan alasan pemohon yang menyatakan hak prerogatif presiden terpasung jika dikaitkan dengan pengangkatan kapolri saat ini.
“Apakah calon ini tidak diberikan persetujuan oleh DPR? lalu terpasungnya di mana? Kalau tidak diberikan persetujuan mungkin kualifikasi untuk dikatakan terpasung bisa, tapi justru yang terlihat diberikan (persetujuan) dengan waktu yang cepat,” ungkap hakim konstitusi Patrialis Akbar. Karena itu, para pemohon harus bisa menjelaskan alasan permohonan dengan lebih komprehensif termasuk kedudukan hukum (legal standing).
Dalam permohonan, ungkap Patrialis, hanya dikatakan para pemohon pembayar pajak di mana hak konstitusionalnya dirugikan. Namun, lanjutnya, tidak semua pembayar pajak otomatis memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan.
Nurul adriyana
(ars)