Banyak Pria China Terancam Melajang Seumur Hidup

Rabu, 04 Februari 2015 - 13:15 WIB
Banyak Pria China Terancam...
Banyak Pria China Terancam Melajang Seumur Hidup
A A A
China dikenal sebagai negara terpadat di dunia. Namun siapa sangka, Negeri Tirai Bambu ini ternyata mengalami krisis perempuan.

Jumlah pria dan wanita di China jauh berbeda. Populasi pria mencapai 701 juta orang, sementara jumlah perempuan hanya sekitar 667 juta. Akibatnya, banyak pria China kebingungan mencari pendamping hidup. Duan Biansheng misalnya. Dia terlihat bingung ketika mendapat pertanyaan tipe perempuan macam apa yang ingin dia nikahi.

Pria asal Desa Banzhushan, Provinsi Hunan yang berprofesi sebagai petani ini mengaku tidak pernah memiliki prasyarat sama sekali tentang calon pendamping hidupnya. Di desa tersebut, cukup banyak pria yang terpaksa hidup melajang karena minimnya perempuan. Biansheng mengaku akan puas dengan perempuan mana pun yang menerimanya apa adanya.

“Saya akan puas dengan hanya satu orang istri dengan tanpa syarat apa pun,” cetus lajang yang sudah berusia 35 tahun ini dilansir The Guardian. “Tapi kesempatan untuk menemukan satu perempuan saja untuk dijadikan istri sangat tidak mungkin, kesempatannya hampir nol,” tambahnya. Biansheng bukanlah satusatunya yang merasakan betapa sulitnya mencari perempuan untuk dijadikan istri.

Ada puluhan pria lajang berdiri di puncak gunung terpencil di Provinsi Hunan, China yang mengalami nasib serupa. Fenomena ini ternyata tidak hanya dialami para pria di desa-desa terpencil, tetapi juga kawasan kota besar seperti Beijing. Puluhan juta pria China terancam menghadapi masa depan sebagai bujangan, menjemput maut dengan ditemani kesepian akut.

Angka statistik yang dirilis pemerintah China bulan ini menunjukkan, dari keseluruhan penduduknya, jumlah laki-laki di China terbukti lebih banyak yakni 701 juta jiwa, sementara perempuan hanya 667 juta. Estimasinya ada 120 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Artinya, China kekurangan hampir 34 juta perempuan lajang.

Ketimpangan gender ini terjadi tak lain karena kebijakan pemerintah China yang sebelumnya melarang setiap keluarga untuk memiliki dua anak atau lebih. Kebijakan yang dicanangkan sejak 1978 ini ternyata membuat para orang tua lebih suka memiliki anak laki-laki karena dianggap mampu meneruskan garis keturunan, sementara anak perempuan banyak yang dijual keluar negeri atau sang ibu melakukan aborsi.

Imbasnya, kini banyak pria China tidak bisa berkencan, sebagian lagi memilih menjadi homoseksual. Sementara menurut harian The Atlantic, diperkirakan dalam tujuh tahun ke depan, 12-15% orang China tidak akan mampu menemukan pasangan hidup. Menyadari kebijakannya sudah menimbulkan dampak negatif, pemerintah China mulai merekomendasikan perempuan Jepang, Korea Selatan, bahkan Ukraina untuk dijadikan istri.

Situs-situs kencan online , jasa comblang profesional, dan psikolog cinta pun mulai marak di China. Pemerintah China kini sedang gencar-gencarnya mendorong semua pasangan untuk memiliki dua anak, namun pada kenyataannya belum tampak adanya pergeseran budaya. Pasangan China cenderung menunda usia pernikahan mereka dan memilih fokus pada karier. Sebagian besar kelas pekerja di China baru menikah pada usia 30-an.

Perempuan lajang usia 30- an di China sangat mudah didekati karena dianggap “wanita sisa”, namun jumlah mereka pun kian menyusut dari tahun ke tahun. Kondisi ini semakin diperburuk dengan persaingan materi antarpria. Para perempuan China modern memandang gaji dan status pekerjaan lebih penting dari cinta.

Pada tahap selanjutnya, ketimpangan gender juga berimbas pada meningkatnya jumlah pemerkosaan. Hal ini terjadi karena tidak tersalurkannya hormon testosteron pria yang cenderung berkurang ketika sudah berumah tangga. Kurangnya wanita subur juga menjadi masalah lain. Tanpa perempuan subur, kelahiran generasi selanjutnya pun terputus. Pada akhirnya menurut para peneliti, kondisi ini akan membuat para pria China mengalami depresi akut.

“Bagi pria kota yang memiliki banyak uang mungkin akan lebih mudah mendapatkan istri, namun bagi pria miskin yang tinggal di desa-desa ketimpangan gender akan membuat mereka depresi dan berujung pada kekerasan. Kondisi ini harus segera diatasi, “ kata Ravinder Kaur, penulis artikel Marriage Squeeze .

Rini Agustina
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0947 seconds (0.1#10.140)