MPR Dukung Pengawasan terhadap Perda Diskriminatif

Rabu, 04 Februari 2015 - 12:44 WIB
MPR Dukung Pengawasan...
MPR Dukung Pengawasan terhadap Perda Diskriminatif
A A A
JAKARTA - MPR mendukung pengawasan yang dilakukan lembaga swadaya masyarakat atas pemberlakuan sejumlah peraturan daerah (perda) kontroversial.

Perda yang tak mencerminkan simbol kebangsaan, kebinekaan, dan toleransi serta mengedepankan kepentingan satu golongan saja memang perlu diawasi. Ketua MPR Zulkifli Hasan menyatakan sebagai lembaga tinggi negara MPR punya peran untuk mewujudkan masyarakat yang taat pada konstitusi dan berperilaku kebangsaan.

”Kita mencoba mewujudkan janji kebangsaan dalam bentuk perilaku dan budaya sehari-hari. Saya rasa sudah cukup MPR melakukan sosialisasi 4 pilar, sekarang perlu implementasi,” ujarnya saat menerima kunjungan lembaga Setara Institute diKompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin. Dia menyarankan Setara Institute melakukan pertemuan dengan pemerintah membahas mengenai perdaperda di daerah yang memuat politik penyeragaman yang tak mencerminkan keragaman Indonesia.

”Hari ini sangat keliru kalau kita masih berbicara soal agama, suku, ras, dan golongan. Kita sudah merdeka 69 tahun tapi masih ngomongin itu,” ujarnya. Menurutnya, MPR juga berperan secara legal untuk menegakkan konstitusi, tapi tidak bisa berdiri sendiri sehingga perlu peran pemerintah untuk melakukan pengawalan. ”Secara moral etik MPR sangat legitimate untuk menjadi pionir contoh toleransi yang baik, tapi perlu juga dibarengi pemerintah,” ujarnya.

Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi, menyatakan lembaganya tersebut fokus pada isu kebinekaan, demokrasi, pluralisme, terorisme dan konstitusi. Kedatangannya ke MPR bertujuan melakukan dialog mengenai kasus intoleransi di Tanah Air. ”Intoleransi yang semakin menyebar di masyarakat dan tubuh negara harus menjadi perhatian MPR. Walaupun lembaga ini tidak memiliki wewenang langsung, tapi MPR dibutuhkan untuk mengawal pola berbangsa dan bernegara. Apalagi dengan posisinya sebagai pembuat konstitusi,” ujarnya kemarin.

Menurut dia, peran MPR pada periode sebelumnya dinilai kurang optimal dalam penegakan konstitusi. Juga belum ada ketegasan dalam hal intoleransi dan berlaku perda yang inkonstitusional. Direktur Riset Setara, Ismail Hasani menjelaskan semakin tahun semakin banyak dan berkembang perda-perda yang diskriminatif. Berdasarkan riset yang dilakukan, pada 2009 ada 154 perda yang diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi. Jumlah itu bertambah menjadi 364 pada 2014.

”Saat ini intoleransi dan politik penyeragaman mengatasnamakan agama dan golongan cukup kental, dan hal itu telah melanggar konstitusi dan UUD 1945,” ujarnya. Ismail mencontohkan Aceh yang memiliki tiga peraturan dan sistem hukum yang berjalan sekaligus, yakni peraturan daerah, adat, dan agama di mana di dalamnya tidak ada batasan tegas.

Dia mengharapkan MPR peduli pada pemberlakuan aturan pada daerah tersebut. Ismail juga menyampaikan pada 2013 ada sekitar 200 peristiwa mengenai intoleransi dan kekerasan atas nama agama dan moralitas.

Mula akmal
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0948 seconds (0.1#10.140)