Antara Kerja dan Citra
A
A
A
Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sudah berjalan lebih dari 100 hari sejak dilantik pada 20 Oktober 2014.
Sejak itu pulalah dinamika pemerintahan mulai berjalan. Pro dan kontra terus mewarnai pemerintahan yang disokong Koalisi Indonesia Hebat (KIH) ini.
Pada awal masa pemerintahannya, Jokowi sudah memunculkan kebijakan pro dan kontra. Dimulai dari penyusunan Kabinet Kerja. Penyusunan lembaga yang bakal membantu tugas-tugas Presiden ini memunculkan kontroversi. Saat mencalonkan diri sebagai presiden, Jokowi berjanji akan membentuk kabinet ramping. Nyatanya, Kabinet Kerja jauh dari kata ”ramping”.
Tidak hanya itu, janji Jokowi yang tidak akan menerapkan politik bagibagi kursi di pemerintahan pun dipertanyakan mana kala nama-nama kabinet diumumkan. Nyatanya, Kabinet Kerja masih mengakomodasi orangorang dari parpol pengusung. Beberapa di antaranya bahkan menduduki pos menteri strategis. Belum sebulan menjabat, Jokowi kembali membuat kebijakan kontroversi.
Kali ini bersinggungan dengan nasib rakyat. Melalui tiga kartu sakti yang diluncurkan awal November 2014 itu, seakan Jokowi ingin menunjukkan gebrakan awal pemerintahannya. Sayangnya, kehadiran tiga kartu sakti yang disebut Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sempat dipersoalkan sejumlah kalangan, khususnya Parlemen.
Betapa tidak, kehadiran kartu yang diklaim bisa membantu masyarakat miskin ini tanpa melalui persetujuan DPR. Sumber dana kartu ini pun hingga kini masih belum jelas dan menjadi perdebatan. Padahal, program ini disebut untuk 1.289 juta masyarakat miskin dengan total anggaran sebesar Rp6,44 triliun. Tidak hanya Presiden Jokowi yang menelurkan kebijakan kontroversi, para menteri pembantunya juga melakukan sejumlah tindakan yang sempat menimbulkan kontroversi.
Salah satunya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Pada awal keterpilihannya sebagai menteri, sosok Susi sudah menuai kontroversi. Selain faktor pendidikan, figur Susi yang nyentrik dengan sejumlah tato pun menjadi sorotan publik. Namun, semua itu ditepis Susi dengan gebrakan nyata. Begitu menyandang jabatan menteri, pemilik SusiAir ini langsung melakukan langkah-langkah strategis. Salah satunya menenggelamkan ratusan kapal asing yang menangkap ikan tanpa izin di perairan Indonesia.
Langkah nekat Menteri Susi ini pun membuat nyali kapal asing menciut meski belakangan kabar yang beredar menyatakan bahwa kapal-kapal yang ditenggelamkan itu bukanlah kapal baru, melainkan kapal yang sudah lama tertangkap. Bahkan ada yang bilang bahwa itu bukan kapal, melainkan hanya perahu nelayan. Kebijakan kontroversi juga dilakukan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan- RB) Yuddy Crisnandi.
Pada awal masa jabatannya, Yuddy langsung mengeluarkan kebijakan melarang pegawai negeri sipil (PNS) menggelar rapat di hotel. Kebijakan ini untuk penghematan anggaran negara. Yuddy bahkan menghentikan sementara (moratorium) penerimaan CPNS selama lima tahun ke depan. Kebijakan ini langsung menuai protes dari sejumlah kalangan yang merasa dirugikan. Jika dua menteri ini menelurkan kebijakan kontroversi, menteri-menteri yang lain justru memilih mengikuti ide bos mereka melalui jalur blusukan .
Sebut saja Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar. Menteri asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini dipastikan tiap pekan selalu berada di daerah-daerah. Blusukan dari satu tempat ke tempat lain. Meski sudah berusaha bekerja secara maksimal, kinerja pemerintahan Jokowi - JK dan para menteri Kabinet Kerja dinilai masih belum memuaskan. Itu dilihat dari kebijakan yang diambil dan banyak persoalan yang muncul akibat kisruh internal dari partai pendukung pemerintah.
Ironisnya, kritikan tajam justru muncul dari internal parpol pendukungnya. Adalah politikus PDIP Effendi Simbolon yang menilai jargon Nawacita dan Trisakti serta programprogram lain yang selama ini diusung pemerintahan Jokowi - JK belum terwujud dan dilaksanakan di kementerian. Dia menyoroti kinerja Kementerian Maritim yang nyaris tidak terlihat. Padahal, kemaritiman merupakan program unggulan pemerintahan Jokowi - JK.
”Secara politik, saya kecewa wajar dong . Makanya kita bertanya ini kabinet apa? Sekalinya jelek, PDIP yang menjadi sasaran. Kabinet Kerja enggak pernah mikir , kerja terus. Orang harusnya berpikir, kerja, baru berdoa,” sebutnya. Dia mencontohkan, ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu lalu yang dinilai cenderung neoliberal.
”Saya sebagai orang partai kaget, saya protes keras meski ada konsekuensi dianggap melanggar partai. Kebijakan energi kok neolib menempatkan komoditas strategis seperti BBM kepada harga pasar,” tuturnya. Meski 100 hari kerja belum cukup membuat assessment , Effendi melihat sejak awal pemerintahan ini ada ketidaksamaan dalam cara pandang. Belum lagi gaya kepemimpian Jokowi yang cenderung unsystem .
”Antara nakhoda dengan navigator dan kru tidak saling kenal. Ada yang umurnya sudah sekian, sudah harusnya tidur istirahat masih menjadi kru, ada anak muda,” paparnya. Senada diungkapkan politikus PDIP Rieke Diah Pitaloka. Menurut dia, ke depan Presiden Jokowi dan para pembantunya harus membenahi kinerja agar tidak sekadar blusukan . Pemerintah harus fokus pada program Nawacita sehingga target pemerintahan bisa terpenuhi.
”Kami berharap Presiden Jokowi dan para menterinya melakukan blusukan kebijakan. Konsep yang dipegang adalah Nawacita. Bagaimana itu diturunkan menjadi program kerja lalu diimplementasikan sebagai kerja,” ungkapnya. Sementara itu, Kepala Kantor Staf Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan menilai, 100 hari pemerintahan Jokowi - JK banyak diisi dengan sejumlah keberhasilan meski di sisi lain ada juga sejumlah kekurangan.
”Saya katakan banyak suksesnya, tapi jujur ada juga yang kurang,” ujar Luhut. Kekurangan itu, menurut Luhut, lebih karena waktu 100 hari tidak cukup untuk menyelesaikan janji-janji pemerintahan. Dia meyakini, apabila sudah berjalan setidaknya satu tahun, dampaknya baru akan terlihat.
”Kita juga tidak punya program 100 hari, yang ada 1 sampai 1,5 tahun. Itu kita harus konsolidasi. Setelah itu saya kira gross kita akan di atas 6-7%,” sebutnya. Dia pun mengkritik pihak-pihak yang terlalu dini menyerang pemerintahan Jokowi dengan menyebut telah gagal menunaikan janji-janji politiknya kepada masyarakat. Dia bahkan menyebut apa yang dilakukan pengkritik tersebut tidak berdasar.
Sucipto/rahmat sahid/ Dian ramdhani/ Neneng zubaidah
Sejak itu pulalah dinamika pemerintahan mulai berjalan. Pro dan kontra terus mewarnai pemerintahan yang disokong Koalisi Indonesia Hebat (KIH) ini.
Pada awal masa pemerintahannya, Jokowi sudah memunculkan kebijakan pro dan kontra. Dimulai dari penyusunan Kabinet Kerja. Penyusunan lembaga yang bakal membantu tugas-tugas Presiden ini memunculkan kontroversi. Saat mencalonkan diri sebagai presiden, Jokowi berjanji akan membentuk kabinet ramping. Nyatanya, Kabinet Kerja jauh dari kata ”ramping”.
Tidak hanya itu, janji Jokowi yang tidak akan menerapkan politik bagibagi kursi di pemerintahan pun dipertanyakan mana kala nama-nama kabinet diumumkan. Nyatanya, Kabinet Kerja masih mengakomodasi orangorang dari parpol pengusung. Beberapa di antaranya bahkan menduduki pos menteri strategis. Belum sebulan menjabat, Jokowi kembali membuat kebijakan kontroversi.
Kali ini bersinggungan dengan nasib rakyat. Melalui tiga kartu sakti yang diluncurkan awal November 2014 itu, seakan Jokowi ingin menunjukkan gebrakan awal pemerintahannya. Sayangnya, kehadiran tiga kartu sakti yang disebut Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sempat dipersoalkan sejumlah kalangan, khususnya Parlemen.
Betapa tidak, kehadiran kartu yang diklaim bisa membantu masyarakat miskin ini tanpa melalui persetujuan DPR. Sumber dana kartu ini pun hingga kini masih belum jelas dan menjadi perdebatan. Padahal, program ini disebut untuk 1.289 juta masyarakat miskin dengan total anggaran sebesar Rp6,44 triliun. Tidak hanya Presiden Jokowi yang menelurkan kebijakan kontroversi, para menteri pembantunya juga melakukan sejumlah tindakan yang sempat menimbulkan kontroversi.
Salah satunya Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Pada awal keterpilihannya sebagai menteri, sosok Susi sudah menuai kontroversi. Selain faktor pendidikan, figur Susi yang nyentrik dengan sejumlah tato pun menjadi sorotan publik. Namun, semua itu ditepis Susi dengan gebrakan nyata. Begitu menyandang jabatan menteri, pemilik SusiAir ini langsung melakukan langkah-langkah strategis. Salah satunya menenggelamkan ratusan kapal asing yang menangkap ikan tanpa izin di perairan Indonesia.
Langkah nekat Menteri Susi ini pun membuat nyali kapal asing menciut meski belakangan kabar yang beredar menyatakan bahwa kapal-kapal yang ditenggelamkan itu bukanlah kapal baru, melainkan kapal yang sudah lama tertangkap. Bahkan ada yang bilang bahwa itu bukan kapal, melainkan hanya perahu nelayan. Kebijakan kontroversi juga dilakukan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan- RB) Yuddy Crisnandi.
Pada awal masa jabatannya, Yuddy langsung mengeluarkan kebijakan melarang pegawai negeri sipil (PNS) menggelar rapat di hotel. Kebijakan ini untuk penghematan anggaran negara. Yuddy bahkan menghentikan sementara (moratorium) penerimaan CPNS selama lima tahun ke depan. Kebijakan ini langsung menuai protes dari sejumlah kalangan yang merasa dirugikan. Jika dua menteri ini menelurkan kebijakan kontroversi, menteri-menteri yang lain justru memilih mengikuti ide bos mereka melalui jalur blusukan .
Sebut saja Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar. Menteri asal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini dipastikan tiap pekan selalu berada di daerah-daerah. Blusukan dari satu tempat ke tempat lain. Meski sudah berusaha bekerja secara maksimal, kinerja pemerintahan Jokowi - JK dan para menteri Kabinet Kerja dinilai masih belum memuaskan. Itu dilihat dari kebijakan yang diambil dan banyak persoalan yang muncul akibat kisruh internal dari partai pendukung pemerintah.
Ironisnya, kritikan tajam justru muncul dari internal parpol pendukungnya. Adalah politikus PDIP Effendi Simbolon yang menilai jargon Nawacita dan Trisakti serta programprogram lain yang selama ini diusung pemerintahan Jokowi - JK belum terwujud dan dilaksanakan di kementerian. Dia menyoroti kinerja Kementerian Maritim yang nyaris tidak terlihat. Padahal, kemaritiman merupakan program unggulan pemerintahan Jokowi - JK.
”Secara politik, saya kecewa wajar dong . Makanya kita bertanya ini kabinet apa? Sekalinya jelek, PDIP yang menjadi sasaran. Kabinet Kerja enggak pernah mikir , kerja terus. Orang harusnya berpikir, kerja, baru berdoa,” sebutnya. Dia mencontohkan, ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa waktu lalu yang dinilai cenderung neoliberal.
”Saya sebagai orang partai kaget, saya protes keras meski ada konsekuensi dianggap melanggar partai. Kebijakan energi kok neolib menempatkan komoditas strategis seperti BBM kepada harga pasar,” tuturnya. Meski 100 hari kerja belum cukup membuat assessment , Effendi melihat sejak awal pemerintahan ini ada ketidaksamaan dalam cara pandang. Belum lagi gaya kepemimpian Jokowi yang cenderung unsystem .
”Antara nakhoda dengan navigator dan kru tidak saling kenal. Ada yang umurnya sudah sekian, sudah harusnya tidur istirahat masih menjadi kru, ada anak muda,” paparnya. Senada diungkapkan politikus PDIP Rieke Diah Pitaloka. Menurut dia, ke depan Presiden Jokowi dan para pembantunya harus membenahi kinerja agar tidak sekadar blusukan . Pemerintah harus fokus pada program Nawacita sehingga target pemerintahan bisa terpenuhi.
”Kami berharap Presiden Jokowi dan para menterinya melakukan blusukan kebijakan. Konsep yang dipegang adalah Nawacita. Bagaimana itu diturunkan menjadi program kerja lalu diimplementasikan sebagai kerja,” ungkapnya. Sementara itu, Kepala Kantor Staf Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan menilai, 100 hari pemerintahan Jokowi - JK banyak diisi dengan sejumlah keberhasilan meski di sisi lain ada juga sejumlah kekurangan.
”Saya katakan banyak suksesnya, tapi jujur ada juga yang kurang,” ujar Luhut. Kekurangan itu, menurut Luhut, lebih karena waktu 100 hari tidak cukup untuk menyelesaikan janji-janji pemerintahan. Dia meyakini, apabila sudah berjalan setidaknya satu tahun, dampaknya baru akan terlihat.
”Kita juga tidak punya program 100 hari, yang ada 1 sampai 1,5 tahun. Itu kita harus konsolidasi. Setelah itu saya kira gross kita akan di atas 6-7%,” sebutnya. Dia pun mengkritik pihak-pihak yang terlalu dini menyerang pemerintahan Jokowi dengan menyebut telah gagal menunaikan janji-janji politiknya kepada masyarakat. Dia bahkan menyebut apa yang dilakukan pengkritik tersebut tidak berdasar.
Sucipto/rahmat sahid/ Dian ramdhani/ Neneng zubaidah
(ars)