Konsolidasi Kekuasaan Lemah

Senin, 02 Februari 2015 - 10:30 WIB
Konsolidasi Kekuasaan Lemah
Konsolidasi Kekuasaan Lemah
A A A
KEPEMIMPINAN Jokowi hingga 100 hari pemerintahan dinilai masih lemah. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu dianggap belum mampu melakukan konsolidasi kekuasaan sehingga terkesan tersandera oleh partai pendukung atau pihak luar.

Direktur Eksekutif Indobarometer M Qodari menjelaskan, untuk menjadi seorang pemimpin tidak hanya cukup dibutuhkan niat dan orang yang baik, tetapi juga kekuasaan yang baik. Intinya seorang presiden harus mampu mengendalikan kekuasaan.

“Problem Jokowi bukan dalam hal teknis karena dia memulai dari bawah mulai dari Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga menjadi presiden, tetapi soal konsolidasi poweratau kekuasaan. Jokowi fakir dalam pengalaman dan kekuasaan,” katanya. Meski sebagai presiden, menurut Qodari, Jokowi tidak memegang penuh kendali partai.

Akibatnya fraksi dalam meminta arahan bukan lagi ke Jokowi, melainkan ke ketua partai. Akibatnya Jokowi tidak leluasa dalam mengambil keputusan yang pada akhirnya selalu mengambil jalan tengah. Di satu sisi langkah tersebut baik, tapi di sisi lain dinilai tidak tegas. “Kekhawatiran ke Jokowi bukan karena tidak mampu mendengarkan dan memahami rakyat kecil. Tapi dalam mengelola kekuasaan Jokowi harus belajar konsolidasi powerkalau mau betulbetul ingin menjadi presiden untuk kedua kalinya,” jelasnya.

Menurut Qodari, tantangan yang dihadapi Jokowi bukan hanya datang dari luar partai pendukungnya, tetapi juga dari dalam, yakni partai pendukung dan koalisinya yang semestinya tidak terjadi. “Bila tantangan datang dari oposisi tentu wajar. Partai pendukung semestinya meringankan ketika (masalah yang ada) dianalisis memberatkan dan Pak Jokowi dalam posisi yang sangat sulit sekali. Artinya, di luar belum bisa didukung, di dalam juga belum bisa didukung,” ucapnya.

Agar Jokowi memiliki kekuasaan yang penuh, sistem presidensial harus benar-benar dijalankan. Dalam sistem presidensial, presiden adalah the king dari monarki yang konstitusional di mana semua persoalan dan permasalahan selesai dan berhenti di presiden. Saat ini sistem politik Indonesia yang presidensial pada kenyataannya lebih bercitarasa parlementer.

“Menurut saya pertemuan dengan Prabowo mungkin sedang melakukan penjajakan dan kalkulasi politik yang lain. Ini merupakan satu sinyal bahwa Jokowi mulai menyadari bahwa dia harus memikirkan juga persoalan pengelolaan kekuasaan, bukan cuma bicara soal program kerja dan eksekusi di lapangan,” katanya. Sejak awal sudah terlihat kelemahannya ketika penyusunan kabinet, yaitu tidak semua orang yang diinginkan Jokowi menjadi menteri dan sebaliknya.

“Seorang presiden yang tidak cukup presidensial. Saat ini Jokowi tidak powerfull sebagai presiden. Dalam situasi saat ini bisa dikatakan seorang Jokowi dalam 100 hari pemerintahannya adalah presiden yang sedang mendayung di antara dua karang, karang opini publik dan opini elite,” jelasnya. Pengamat politik Ikrar Nusa Bakti menilai sistem presidensial dengan banyak partai dan bukan dua partai seperti Amerika Serikat merupakan sebuah dilema.

“Kalau presidensial dengan banyak partai memang akan bermasalah seperti Indonesia dan Papua Nugini. Teman-teman di partai politik masih bergaya parlementarian. Ini kelemahan sistem presidensial,” katanya. Menurut Ikrar, hambatan utama Presiden Jokowi adalah partai pendukung sendiri yang mengusungnya menjadi presiden, yakni PDIP. “Derajat hambatan yang besar dihadapi Jokowi pertama PDIP, kedua partai pendukungnya,” jelasnya.

Dia berharap, Megawati Soekarnoputri belajar pada pengalamannya di 1999-2004 karena kekakuan politik dan ketidakmampuan dalam mengelola partai politik membuat dirinya tidak terpilih kembali. “Apakah PDIP akan mengulangi sejarah kelam selama 1999-2004 atau ingin membuat suatu sejarah baru,” ujarnya.

Sucipto
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4801 seconds (0.1#10.140)