Mantan Wamenkumham Gugat UU Polri dan TNI

Selasa, 27 Januari 2015 - 11:16 WIB
Mantan Wamenkumham Gugat...
Mantan Wamenkumham Gugat UU Polri dan TNI
A A A
JAKARTA - Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana bersama Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas (Pusako), Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, dan Indonesia Corruption Watch (ICW) melayangkan permohonan uji materi Undang- Undang (UU) Kepolisian dan UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka meminta MK untuk membatalkan keterlibatan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam memberikan persetujuan dalam pengangkatan ataupun pemberhentian kapolri dan panglima TNI.

“Kami berpendapat mekanisme itu bertentangan dengan sistem presidensial. Seharusnya pengangkatan kapolri dan panglima TNI tidak melibatkan ataupun dengan persetujuan DPR. Itu bertentangan dengan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang pada dasarnya mengatakan presiden sebagai kepala pemerintahan,” ungkap Denny Indrayana seusai mendaftarkan uji materi di Gedung MK, Jakarta, kemarin.

Pasal yang dipersoalkan adalah Pasal 11 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian dan Pasal 13 ayat (2), (5), (6), (7), (8), dan (9) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal-pasal tersebut secara garis besar mengatur keterlibatan DPR dalam memberikan persetujuan bagi pengangkatan dan pemberhentian kapolri dan panglima TNI.

Denny mengatakan, meski Indonesia menganut sistem presidensial, kenyataannya dalam implementasi masih jauh dari ciri-ciri negara presidensial. Bahkan, setelah reformasi dan perubahan UUD 1945, justru presiden bisa dikatakan sesungguhnya tidak memiliki hak prerogatif layaknya negara dengan sistem presidensial.

Denny pun menilai hak prerogatif yang selama ini didengungkan berbagai pihak tidak lebih dari kiasan semata. Menurut dia, sangat aneh ketika negara menganut sistem presidensial namun hak prerogatif presiden justru zero . Atas itu, dirinya bersama lembaga pegiat hukum lainnya ingin mengembalikan hak prerogatif yang dimiliki presiden, khususnya dalam pengangkatan kapolri dan panglima TNI.

“Intinya, pelibatan dan persetujuan DPR dihilangkan. Jadi, apa pun kondisinya konsepnya benar, kita kembali ke konsep pengangkatan kapolri dan panglima TNI sebagai hak prerogatif presiden tanpa persetujuan DPR,” tandasnya.

Denny mengatakan, posisi persetujuan yang dimiliki DPR pun berbeda ketika presiden meminta pertimbangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pencalonan kapolri. Ini terlihat dari persetujuan DPR yang bertentangan dengan konstitusi.

Sementara jika presiden meminta pertimbangan pada KPK, itu atas nama moralitas hukum sehingga tidak bisa disamakan persetujuan DPR dengan pertimbangan KPK. Denny pun mengungkapkan, jika permohonan ini dikabulkan MK maka diharapkan bisa menjadi solusi dalam kesemrawutan pengangkatan calon kapolri.

“Presiden Jokowi mungkin, barangkali, sedang dalam posisi tidak mudah untuk membatalkan Budi Gunawan karena sudah ada persetujuan DPR. Jika dikabulkan maka bisa segera mengangkat kapolri baru. Yang pasti tetap harus dipastikan mekanismenya dengan cara yang baik sehingga yang terpilih kapolri yang bersih dengan melibatkan KPK, PPATK,” ujarnya.

Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin menyatakan, pihaknya hanya menjalankan kewenangan berdasarkan UU mengenai persetujuan calon kapolri. “Kita tunggu saja putusan MK. Nanti bisa kita lihat putusannya bagaimana. Kita hanya melaksanakan kewenangan berdasarkan kewenangan yang diberi UU,” tandasnya.

Nurul adriyana
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7073 seconds (0.1#10.140)