Kebijakan Efisiensi APBD Diprotes Daerah

Selasa, 27 Januari 2015 - 10:11 WIB
Kebijakan Efisiensi...
Kebijakan Efisiensi APBD Diprotes Daerah
A A A
JAKARTA - Kebijakan pemerintah pusat untuk efisiensi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diprotes oleh daerah. Banyak daerah yang mengaku keberatan dengan kebijakan ini.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengakui adanya protes yang dilayangkan daerah.“Tahuninimemangakan ada efisiensi. Ada pemotongan yang cukup besar. Itu kan kewenangan menteri. Tetapi banyak daerah yang protes. DPRDnya protes banyak yang dikurangi,” ungkap Tjahjo Kumolo di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta, kemarin.

Kemendagri beberapa saat lalu melakukan penertiban anggaran melalui evaluasi tahunan terhadap Rancangan Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Mendagri pun telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 37/2014 tentang Perlu dan Pentingnya Peningkatan Kualitas Belanja APBD. Dalam peraturan itu, Mendagri meminta adanya pengurangan belanja-belanja yang tidak perlu dan sifatnya pemborosan.

Bahkan sebelumnya, Direktur Jenderal (Dirjen) Keuangan Daerah (Keuda) Kemendagri juga mengakui adanya pemangkasan yang signifikan dalam pos perjalanan dinas. Di mana yang sebelumnya alokasi pos perjalanan dinas sebesar Rp1-2 juta per hari, kini dipotong menjadi Rp400.000- 500.000 per hari.

Kemendagri juga tidak memperbolehkan daerah melakukan perjalanan ke luar negeri dan menertibkan dana hibah bantuan sosial (bansos). Politikus PDIP ini mengatakan, kebijakan efisiensi anggaran merupakan kebijakan yang harus dilaksanakan dari pusat hingga daerah. Dia mengaku, dengan kebijakan ini, kementerian yang dipimpinnya dapat menghemat hingga Rp600 miliar.

“Karena rapat saja saya bisa tekan Rp600 miliar untuk pusat. Dengan Pak Sekjen, ayo kita tekan lalu sampai Rp600 miliar,” paparnya. Tjahjo mengatakan, efisiensi perlu dilakukan agar daerah terfokus pada pembangunan daerah dan infrastruktur, sebab anggaran daerah sebagian besar justru untuk belanja pegawai.

“Dulu anggaran pembangunan tidak sampai 20%. Saat Orde Baru (Orba) saja mencapai 40% hingga 60%. Sekarang 80% untuk belanja pegawai, ini yang harus dibalik,” tandasnya. Mantan sekjen DPP PDIP ini mengatakan, daerah yang protes merupakan daerah yang sudah mempersiapkan pembangunan gedung jauh-jauh hari.

Padahal sebagaimana kebijakan presiden, tidak ada anggaran pembangunan gedung baru pada tahun anggaran ini. “Sebelumnya sudah persiapan bangun gedung lalu tidak boleh bangun gedung. Seperti Sumatera Barat (Sumbar) sudah mengalokasikan Rp1,2 triliun. Ya menjerit dia. Kita harus clear semuanya untuk infrastruktur,” ujarnya. Menanggapi protes tersebut, Tjahjo mengaku telah menjelaskan kepada para kepala daerah.

Dia pun tidak akan menoleransi terkait efisiensi anggaran ini, meski diakuinya banyak kepala daerah yang protes merupakan teman satu partainya. “Tidak ada toleransi. Satu ditoleransi maka yang lain ikutan. Kebanyakan protes ke dirjen. Kalau yang kepala daerahnya kebetulan satu partai berani telepon tanya ‘gimana ini Mas?. Tapi tetap tak ada toleransi,” tandasnya.

Mengenai keterlambatan daerah dalam menetapkan APBD, Tjahjo menyatakan Kemendagri akan tetap memberikan sanksi. Namun, masih ada peluang diberikannya toleransi bagi daerah-daerah yang terlambat menetapkan APBD. “Saya kira harus ada toleransi. Ini kan baru pertama kali. Saya kira perlu. DKI saya toleransi dua minggu selesai,” ujarnya.

Selain baru pertama kali, toleransi dapat diberikan karena daerah bukan tidak mampu menyusun APBD. Keterlambatan yang terjadi ini lebih karena belum terselesaikannya Alat Kelengkapan Dewan (AKD) di masing- masing daerah. Hal ini sebagaimana yang terjadi di Aceh dan DKI Jakarta, di mana kedua provinsi inilah yang terlambat menetapkan APBD.

“DKI kemarin sudah clear kata DPRDnya dan Pak Ahok akan segera diproses termasuk juga di Aceh. Memang dua daerah ini terkendala bukan karena ketidakmampuan daerah atau keterlambatan pembahasan, tapi karena internal DPRD yang belum clear terkait AKD,” paparnya. Menurut Tjahjo, banyak daerah yang mengaku lamanya pembentukan AKD karena adanya dua koalisi di masing-masing DPRD.

Meski demikian, Kemendagri tidak serta-merta menerima alasan-alasan tersebut. Mendagri mengaku sudah meminta Dirjen Otda dan Dirjen Keuda melakukan pengecekan langsung ke lapangan. “Apa iya? Maka kami minta Dirjen Keuda dan Otda mengecek apa benar itu terjadi,” ujarnya.

Tjahjo menambahkan, untuk kabupaten/kota yang terlambat menetapkanAPBD, Kemendagri akan menjemput bola untuk melihat apa yang sebenarnya menyebabkan keterlambatan. Kalau ketidakmampuannya karena konflik dengan DPRD, akan diberikan toleransi waktu untuk segera menetapkan APBD.

Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi menilai, banyaknya kepala daerah dan anggota DPRD yang protes atas kebijakan efisiensi anggaran sebenarnya disebabkan kepentingan pribadi atau kepentingan politiknya terancam.

Menurut dia, dengan kebijakan ini maka kepentingan kepala daerah akan terganggu. “Biasanya dana bansos itu besar. Bisa digunakan seenaknya, apalagi menjelang pilkada tinggal kasih ke kampung-kampung. Dengan efisiensi ini maka akan menjadi sulit. Makanya banyak yang protes,” katanya.

Menurut dia, keberatan kepala daerah juga didasarkan atas dorongan pegawai negeri sipil (PNS) di daerah. Pasalnya, PNS juga cukup terganggu dengan adanya efisiensi tersebut. Biasanya ada saja oknum PNS yang terlibat memainkan anggaran. Apalagi, kepala daerah terkadang memiliki kepentingan untuk memberikan sumbangan yang diserahkan kepada SKPD di bawahnya.

Dita angga
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0739 seconds (0.1#10.140)