Jokowi Dinilai Belum Pegang Kendali
A
A
A
JAKARTA - Pemerintahan 100 Hari Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dinilai tidak berjalan secara maksimal sesuai harapan publik bahkan terjadi kekisruhan. Ada kesan pemerintahan belum dikendalikan sepenuhnya oleh Presiden Jokowi.
Wasekjen DPP Partai Golkar Nurul Arifin mengatakan, kekisruhan pada pemerintahan Jokowi tidak terjadi karena dijegal oleh Koalisi Merah Putih (KMP), justru dihambat oleh partai koalisinya yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
“KMP malah justru membuktikan posisinya mendukung pemerintahan yang sah dan mengkritik secara konstruktif. Yang kisruh justru dari keluarga KIH sendiri,” jelas kata Nurul dalam diskusi publik Universitas Paramadina bertajuk “Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Jokowi” di Jakarta kemarin.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, Presiden Jokowi terlihat belum memegang kendali atas pemerintahan dengan terlihat sering diintervensi pihak lain, tetapi Nurul tidak tahu apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Yang jelas, kata Nurul, intervensi itu tidak hanya dari partai Jokowi bernaung, tetapi juga dari partai pendukung lainnya.
“Saya kira ini yang jadi koreksi. Sering kali komunikasi politik tidak berjalan baik, apakah karena komposisi struktur pemerintahan begitu berwarna ada muda-tua, senior-junior, saya tidak tahu,” kata dia. Nurul menekankan bahwa partai KMP tidak seperti yang dibayangkan selama ini, bahkan Nurul mengikuti kabar bahwa pemerintah lebih mudah bekerja sama dengan KMP. Nurul juga menilai Presiden Joko Widodo belum mampu menjadi seorang panglima bagi pemerintahannya.
“Kami lihat sekarang sedang terjadi kekisruhan, kegalauan, banyak hal yang sepertinya tidak terintegrasi dalam pemerintahan Pak Jokowi. Saya menyebutnya Presiden sebagai kepala pemerintahan belum mampu menjadi panglima di pemerintahannya,” kata Nurul. Nurul mengatakan seharusnya Jokowi bisa merasa nyaman dalam mengambil segala keputusan karena banyaknya dukungan rakyat kepada dia.
“Kami berharap Pak Jokowi bisa lebih tampil untuk mengintegrasikan kekuatan yang dimiliki. Dengan gayanya, kita harap Pak Jokowi bisa jadi panglima pemerintahan ini, misalnya ada kasus hukum yang aroma politiknya kuat, kami harap jangan ada intervensi politik,” ujar dia.
Politikus PDIP Effendi Simbolon mempertanyakan peran Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada pemerintahan Jokowi-JK dalam merekomendasikan solusi atas persoalan KPK dan Polri. “Ketika Presiden ingin menyelesaikan masalah KPK dan Polri, yang dipanggil Wantimpres dong. Artinya ring dalam dong dimanfaatkan, tetapi ini malah dipanggil orang di luar sistem (tim independen),” kata dia.
Menurut Effendi, seharusnya Presiden Jokowi mengajak bicara orang-orang dalam sistem pemerintahannya, dan jika Presiden lebih meminta bantuan orang-orang di luar sistem untuk menjaring rekomendasi maka posisi Wantimpres hanya menjadi stempel.
“Wantimpres jangan hanya menjadi stempel. Oleh karena itu, tempatkan orang-orang yang punya kapabilitas sesuai dengan bidangnya. Jangan ambivalen, paradoks, ketika alami suatu masalah, perangkat kepresidenan jadi tidak berdaya,” ujar dia. Effendi juga mengkritik Sekretaris Kabinet Jokowi Andi Widjajanto yang dinilainya masih terlalu muda. Dia menilai level pengalaman Andi masih prematur dan berupaya mengatur Presiden yang disebut Effendi juga prematur.
Effendi mengingatkan kalau tidak segera dievaluasi, bukan tidak mungkin 100 hari ke depan akan ada presiden baru. “Harus evaluasi, apalagi JK saya lihat pasif. Bisa saja 100 hari berikutnya kita sudah bicara tentang presiden baru karena teman- teman di seberang lautan sana bukan berarti diam saja, mereka sedang menunggu memonitor,” ujar dia.
Dia menilai bisa kembali terjadi peristiwa yang dulu pernah melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena politikus KMP tidak akan tahan tanpa kekuasaan. Mantan Wakil Ketua KPK Bibid Samad Rianto mengatakan, belum terlihatnya kinerja pemerintahan baru saat ini karena Jokowi harus menari dalam empat kepentingan, yakni kepentingan para pendukungnya, partai pendukungnya PDIP, kemudian pendampingnya dalam pemerintahan yakni Jusuf Kalla, dan partai koalisi pendukungnya.
“Itu semua merupakan batu karang,” ucapnya. Pakar komunikasi politik Putut Widjanarko menilai, problem komunikasi politik Jokowi hingga kini tengah mencari pola yang tepat. Pasalnya, ada pola leadership yang berbeda dari wali kota, gubernur, dan kini menjadi presiden.
“Presiden tengah mencari pola komunikasi politik yang tepat sehingga diperlukan waktu untuk adaptasi, waktu jadi gubernur komunikasi politiknya dengan kehadiran langsung di tengahtengah masyarakat,” jelasnya.
Sucipto/ant
Wasekjen DPP Partai Golkar Nurul Arifin mengatakan, kekisruhan pada pemerintahan Jokowi tidak terjadi karena dijegal oleh Koalisi Merah Putih (KMP), justru dihambat oleh partai koalisinya yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
“KMP malah justru membuktikan posisinya mendukung pemerintahan yang sah dan mengkritik secara konstruktif. Yang kisruh justru dari keluarga KIH sendiri,” jelas kata Nurul dalam diskusi publik Universitas Paramadina bertajuk “Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Jokowi” di Jakarta kemarin.
Lebih lanjut dia mengungkapkan, Presiden Jokowi terlihat belum memegang kendali atas pemerintahan dengan terlihat sering diintervensi pihak lain, tetapi Nurul tidak tahu apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Yang jelas, kata Nurul, intervensi itu tidak hanya dari partai Jokowi bernaung, tetapi juga dari partai pendukung lainnya.
“Saya kira ini yang jadi koreksi. Sering kali komunikasi politik tidak berjalan baik, apakah karena komposisi struktur pemerintahan begitu berwarna ada muda-tua, senior-junior, saya tidak tahu,” kata dia. Nurul menekankan bahwa partai KMP tidak seperti yang dibayangkan selama ini, bahkan Nurul mengikuti kabar bahwa pemerintah lebih mudah bekerja sama dengan KMP. Nurul juga menilai Presiden Joko Widodo belum mampu menjadi seorang panglima bagi pemerintahannya.
“Kami lihat sekarang sedang terjadi kekisruhan, kegalauan, banyak hal yang sepertinya tidak terintegrasi dalam pemerintahan Pak Jokowi. Saya menyebutnya Presiden sebagai kepala pemerintahan belum mampu menjadi panglima di pemerintahannya,” kata Nurul. Nurul mengatakan seharusnya Jokowi bisa merasa nyaman dalam mengambil segala keputusan karena banyaknya dukungan rakyat kepada dia.
“Kami berharap Pak Jokowi bisa lebih tampil untuk mengintegrasikan kekuatan yang dimiliki. Dengan gayanya, kita harap Pak Jokowi bisa jadi panglima pemerintahan ini, misalnya ada kasus hukum yang aroma politiknya kuat, kami harap jangan ada intervensi politik,” ujar dia.
Politikus PDIP Effendi Simbolon mempertanyakan peran Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada pemerintahan Jokowi-JK dalam merekomendasikan solusi atas persoalan KPK dan Polri. “Ketika Presiden ingin menyelesaikan masalah KPK dan Polri, yang dipanggil Wantimpres dong. Artinya ring dalam dong dimanfaatkan, tetapi ini malah dipanggil orang di luar sistem (tim independen),” kata dia.
Menurut Effendi, seharusnya Presiden Jokowi mengajak bicara orang-orang dalam sistem pemerintahannya, dan jika Presiden lebih meminta bantuan orang-orang di luar sistem untuk menjaring rekomendasi maka posisi Wantimpres hanya menjadi stempel.
“Wantimpres jangan hanya menjadi stempel. Oleh karena itu, tempatkan orang-orang yang punya kapabilitas sesuai dengan bidangnya. Jangan ambivalen, paradoks, ketika alami suatu masalah, perangkat kepresidenan jadi tidak berdaya,” ujar dia. Effendi juga mengkritik Sekretaris Kabinet Jokowi Andi Widjajanto yang dinilainya masih terlalu muda. Dia menilai level pengalaman Andi masih prematur dan berupaya mengatur Presiden yang disebut Effendi juga prematur.
Effendi mengingatkan kalau tidak segera dievaluasi, bukan tidak mungkin 100 hari ke depan akan ada presiden baru. “Harus evaluasi, apalagi JK saya lihat pasif. Bisa saja 100 hari berikutnya kita sudah bicara tentang presiden baru karena teman- teman di seberang lautan sana bukan berarti diam saja, mereka sedang menunggu memonitor,” ujar dia.
Dia menilai bisa kembali terjadi peristiwa yang dulu pernah melengserkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena politikus KMP tidak akan tahan tanpa kekuasaan. Mantan Wakil Ketua KPK Bibid Samad Rianto mengatakan, belum terlihatnya kinerja pemerintahan baru saat ini karena Jokowi harus menari dalam empat kepentingan, yakni kepentingan para pendukungnya, partai pendukungnya PDIP, kemudian pendampingnya dalam pemerintahan yakni Jusuf Kalla, dan partai koalisi pendukungnya.
“Itu semua merupakan batu karang,” ucapnya. Pakar komunikasi politik Putut Widjanarko menilai, problem komunikasi politik Jokowi hingga kini tengah mencari pola yang tepat. Pasalnya, ada pola leadership yang berbeda dari wali kota, gubernur, dan kini menjadi presiden.
“Presiden tengah mencari pola komunikasi politik yang tepat sehingga diperlukan waktu untuk adaptasi, waktu jadi gubernur komunikasi politiknya dengan kehadiran langsung di tengahtengah masyarakat,” jelasnya.
Sucipto/ant
(ars)