Terkendala Penerbitan Visa Pendidikan

Senin, 26 Januari 2015 - 11:53 WIB
Terkendala Penerbitan Visa Pendidikan
Terkendala Penerbitan Visa Pendidikan
A A A
Indonesia belum menjadi tujuan utama para mahasiswa mancanegara untuk belajar. Padahal, beberapa kampus di Tanah Air sudah menunjukkan kualitasnya sebagai perguruan tinggi berstandar global.

Prosedur mendapatkan visa pendidikan yang berbelit-belit menjadi salah satu keengganan calon mahasiswa dari luar negeri untuk menimba ilmu di sini.

Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmaloka mengatakan, jika pemerintah Indonesia menerbitkan visa pendidikan, tentu akan menarik mahasiswa luar negeri untuk kuliah di Tanah Air.

Sama halnya dengan negara destinasi pendidikan lain di Asia, calon mahasiswa akan tertarik belajar ke sini karena ada kemudahan birokrasi. ITB sejak 10 tahun lalu sudah menyurati Kementerian Pendidikan serta Kementerian Hukum dan HAM agar visa pendidikan diadakan. Namun, sampai saat ini tidak ada kelanjutannya.

Akhmaloka menyatakan, sering kali mahasiswa asing mesti bolak-balik mengurus perpanjangan izin tinggal. Apalagi jika mereka hanya mempunyai visa turis yang jangka waktunya hanya bulanan. Tidak hanya waktu, mereka pun mengeluhkan pungutan liar ketika mengurus izin tinggal tersebut. “Kasihan sekali anak-anak itu. Kadang ada oknum yang minta duit ke mereka jika izinnya mau diurus cepat,” kata dia.

Akhmaloka menjelaskan, Indonesia membutuhkan visa pendidikan jika tidak mau pasar mahasiswa asing diserap negara tetangga seperti Malaysia. Berdasarkan data, jumlah mahasiswa asing di Malaysia ada 100.000 orang yang didominasi oleh mahasiswa China dan Indonesia. Padahal, dari sisi mutu, pendidikan tinggi di Indonesia jauh lebih baik daripada Malaysia.

Selain itu, jika Indonesia mau bersaing secara global, maka mengundang sebanyak-banyaknya mahasiswa asing bakal menguntungkan mahasiswa kita karena bisa belajar sikap, sifat, dan budaya dari mereka. ITB, lanjut Akhmaloka, tidak berdiam diri walau surat permohonan visa pendidikan ke pemerintah itu tidak dibalas sampai sekarang. Akhmaloka menjelaskan, ITB gencar melakukan promosi ke luar negeri, misalnya mengikuti pameran pendidikan, mengisi ceramah, dan melakukan rekrutmen mahasiswa asing di luar negeri.

“Di ITB ada yang namanya cross culture interaction. Kami ingin anakanak ITB mengenal budaya lain dengan berinteraksi dengan mahasiswa asing,” tuturnya. Hasilnya, ada 500 mahasiswa asing dari 30 negara belajar di kampus yang berlokasi di Bandung. Misalnya, dari Eropa Timur kebanyakan kuliah di jurusan teknik mesin dan kedirgantaraan, lalu 12 negara ASEAN yang merata di seluruh jurusan, dan mahasiswa dari Timur Tengah yang kuliah di program studi teknik perminyakan dan farmasi.

Rektor Universitas Indonesia (UI) Muhammad Anis juga menyayangkan pemerintah Indonesia yang belum mengubah sistem izin tinggal bagi mahasiswa asing. Padahal, jika Indonesia ingin memperbanyak jumlah mahasiswa asing, maka perlu adanya visa pendidikan.

Sebab, mahasiswa asing mengungkap bahwa biaya kuliah di Indonesia menjadi lebih mahal gara-gara ongkos memperpanjang izin tinggal. Anis menyampaikan, total mahasiswa asing di UI kurang lebih 1.000 orang dan mayoritas belajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, khususnya jurusan Bahasa Indonesia.

“Memang selama ini mahasiswa asing memakai visa kunjungan budaya. Lalu, setelah tiga bulan mengurus kitas. Kalau mahasiswa masih memakai kedua dokumen tersebut, ongkos mengurusnya itu yang mahal dibandingkan visa pendidikan yang jauh lebih murah,” ungkapnya. Dirjen Pendidikan Dasar (Dikdas) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hamid Muhammad mengatakan, Indonesia harus realistis belum dapat menjadi destinasi pendidikan karena kualitasnya yang masih belum baik.

Bahkan dia memprediksi, tiga hingga empat tahun ke depan Indonesia pun belum siap menjadi destinasi pendidikan. Kendala kualitas inilah yang menjadi alasan mengapa warga asing meragukan Indonesia dapat mendidik anaknya dengan bagus. Jangankan warga internasional, ujarnya, orang tua dari kalangan atas di Indonesia pun hanya mengincar sekolah yang berkualitas bagus untuk anak mereka.

Mereka lebih memilih sekolah dengan kurikulum Cambridge untuk anak, padahal metode pengajarannya susah bukan main. Hamid mengakui, pemerintah belum membuat kebijakan khusus seperti menerbitkan visa pendidikan agar makin banyak warga asing yang bersekolah di sini. Pasalnya, persoalan di dunia pendidikan Tanah Air saja masih luar biasa banyak.

Maka, Kemendikbud pun hanya mendorong institusi pendidikan yang sudah berstatus satuan pendidikan kerja sama (SPK) seperti yang sudah dilakukan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) saja untuk memperbanyak siswa asing. “Kayaknya sih belum ada (kebijakan khusus). Rencana pasti ada, tapi kita harus realistis bahwa persoalan internal kita saja masih belum beres,” ungkapnya.

Sementara, Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemenristek-Dikti Illah Sailah menyatakan, di Kemenristek-Dikti hanya ada program Darmasiswa untuk mengundang mahasiswa asing belajar budaya dan bahasa Indonesia. Selain itu, Ditjen Dikti memulainya dengan membuat kebijakan kolaborasi dengan institusi asing sehingga ada pertukaran pelajar antarbangsa.

Misalnya, sudah ada program ASEAN International Mobility for Student (AIMS). Dia pun mengapresiasi kreativitas dari masing-masing perguruan tinggi di Tanah Air untuk membuat program internasional dan mempromosikan kampus mereka di luar negeri. Illah mengungkapkan, dari sisi birokrasi administrasi seperti visa, belum ada kebijakan baru.

Tapi, Illah sepakat perlu ada visa pelajar agar jumlah mahasiswa asing dapat terus bertambah. Sekaligus, sebagai salah satu promosi bahwa Indonesia merupakan destinasi yang bagus bagi para pemburu sekolah.

Neneng zubaidah
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9853 seconds (0.1#10.140)