Revisi Tak Boleh Perlemah Kualitas Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Rencana revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang dilakukan DPR harus tetap memperhatikan kualitas penyelenggaraan pilkada.
Karena itu, DPR harus cermat dan komprehensif dalam melakukan revisi dengan memanfaatkan waktu yang tersisa. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan pihaknya khawatir DPR tidak melibatkan masyarakat dalam proses revisi. Pasalnya waktu dua bulan sangat singkat sehingga kecil kemungkinan dalam revisi tersebut, masyarakat dilibatkan secara intens.
“Dewan harus memikirkan revisi ini jangan memperlemah kualitas pilkada dan memperlemah keterlibatan pemilih. Itu yang harus diutamakan dalam melakukan revisi,” ujarnya kepada KORAN SINDO kemarin. Adanya keinginan untuk memperpendek tahapan pilkada juga harus dikaji secara baik. Pasalnya panjang dan pendeknya tahapan tidak sertamerta menentukan suatu pilkada berkualitas atau tidak.
“Betul harus dikaji lagi. Revisi ini jangan sampai melemahkan peran pemilih di dalam penyelenggaraan. Jangan sampai juga memperlemah pengaturan pilkada yang berkualitas. Jadi aturan yang sejatinya positif tidak perlu diubah,” ujarnya. Menurut dia, salah satunya yang perlu diperhatikan adalah soal tahapan uji publik. DPR harus melihat efektivitas terhadap tahapan tersebut. Bagi dia, uji publik memang tahapan panjang, tapi jika ditempatkan sebagai ruang pendidikan pemilih, hal itu akan positif.
“Dimanfaatkan sehingga pemilih dapat mengenali latar belakang dan rekam jejak calonnya. Pemilih kan sering tidak kenal calonnya. Kalau uji publik bisa dijadikan momen mengenal kandidat, itu tidak terlalu panjang,” ujar dia. Namun jika uji publik tidak dimaknai secara efektif dan tidak bermanfaat bagi pemilih akan menjadi tidak ada artinya.
Misalnya saja uji publik hanya dijadikan formalitas belaka, tentu tidak akan ada manfaatnya bagi pemilih. “Dilakukan hanya di tingkat Ibu Kota tanpa di segmen pemilih lain. Tidak adanya jangkauan ke wilayah lainnya, maka tahapan ini akan sangat panjang tanpa makna,” kata dia. Hal senada juga diungkapkan Peneliti LIPI Siti Zuhro.
Dia mengaku cukup khawatir dengan waktu yang singkat, revisi tidak akan maksimal. “Sebelumnya UU Pilkada itu dibahas bertahun-tahun tidak selesai. Tapi ini hanya beberapa bulan saja. Apalagi sekarang 10 fraksi di DPR dan animo pascapemilu kemarin masih kuat. Tidak mudah merevisi sebuah UU,” tuturnya.
Siti mengatakan revisi seharusnya bukan hanya soal mengakomodasi kepentingan elite semata. Tapi bagaimana menghasilkan pilkada yang berkualitas. “Itu yang harus dipikirkan. Pilkada ini jangan sampai mengulang yang sebelumnya. Banyak kepala daerah yang terjerat kasus hukum,” kata dia. Menurut dia, pilkada merupakan bagian dari penataan daerah dan penentuan masa depan daerah. Ketika sistem yang dibangun buruk, pemimpin yang dihasilkan pun demikian.
“Kalau pemimpin yang dihasilkan buruk, lalu bagaimana nasib daerah? Lagi-lagi rakyatlah yang menjadi korban,” ujar dia. Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menyampaikan, revisi UU Pilkada akan sesuai dengan alokasi waktunya. Meski singkat waktunya, tapi kalangan internal fraksi telah menyepakati sejumlah agenda. “Jadi cepat bisa terselesaikan,” ujarnya.
Dita angga/kiswondari
Karena itu, DPR harus cermat dan komprehensif dalam melakukan revisi dengan memanfaatkan waktu yang tersisa. Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan pihaknya khawatir DPR tidak melibatkan masyarakat dalam proses revisi. Pasalnya waktu dua bulan sangat singkat sehingga kecil kemungkinan dalam revisi tersebut, masyarakat dilibatkan secara intens.
“Dewan harus memikirkan revisi ini jangan memperlemah kualitas pilkada dan memperlemah keterlibatan pemilih. Itu yang harus diutamakan dalam melakukan revisi,” ujarnya kepada KORAN SINDO kemarin. Adanya keinginan untuk memperpendek tahapan pilkada juga harus dikaji secara baik. Pasalnya panjang dan pendeknya tahapan tidak sertamerta menentukan suatu pilkada berkualitas atau tidak.
“Betul harus dikaji lagi. Revisi ini jangan sampai melemahkan peran pemilih di dalam penyelenggaraan. Jangan sampai juga memperlemah pengaturan pilkada yang berkualitas. Jadi aturan yang sejatinya positif tidak perlu diubah,” ujarnya. Menurut dia, salah satunya yang perlu diperhatikan adalah soal tahapan uji publik. DPR harus melihat efektivitas terhadap tahapan tersebut. Bagi dia, uji publik memang tahapan panjang, tapi jika ditempatkan sebagai ruang pendidikan pemilih, hal itu akan positif.
“Dimanfaatkan sehingga pemilih dapat mengenali latar belakang dan rekam jejak calonnya. Pemilih kan sering tidak kenal calonnya. Kalau uji publik bisa dijadikan momen mengenal kandidat, itu tidak terlalu panjang,” ujar dia. Namun jika uji publik tidak dimaknai secara efektif dan tidak bermanfaat bagi pemilih akan menjadi tidak ada artinya.
Misalnya saja uji publik hanya dijadikan formalitas belaka, tentu tidak akan ada manfaatnya bagi pemilih. “Dilakukan hanya di tingkat Ibu Kota tanpa di segmen pemilih lain. Tidak adanya jangkauan ke wilayah lainnya, maka tahapan ini akan sangat panjang tanpa makna,” kata dia. Hal senada juga diungkapkan Peneliti LIPI Siti Zuhro.
Dia mengaku cukup khawatir dengan waktu yang singkat, revisi tidak akan maksimal. “Sebelumnya UU Pilkada itu dibahas bertahun-tahun tidak selesai. Tapi ini hanya beberapa bulan saja. Apalagi sekarang 10 fraksi di DPR dan animo pascapemilu kemarin masih kuat. Tidak mudah merevisi sebuah UU,” tuturnya.
Siti mengatakan revisi seharusnya bukan hanya soal mengakomodasi kepentingan elite semata. Tapi bagaimana menghasilkan pilkada yang berkualitas. “Itu yang harus dipikirkan. Pilkada ini jangan sampai mengulang yang sebelumnya. Banyak kepala daerah yang terjerat kasus hukum,” kata dia. Menurut dia, pilkada merupakan bagian dari penataan daerah dan penentuan masa depan daerah. Ketika sistem yang dibangun buruk, pemimpin yang dihasilkan pun demikian.
“Kalau pemimpin yang dihasilkan buruk, lalu bagaimana nasib daerah? Lagi-lagi rakyatlah yang menjadi korban,” ujar dia. Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria menyampaikan, revisi UU Pilkada akan sesuai dengan alokasi waktunya. Meski singkat waktunya, tapi kalangan internal fraksi telah menyepakati sejumlah agenda. “Jadi cepat bisa terselesaikan,” ujarnya.
Dita angga/kiswondari
(ars)