Segera Selamatkan KPK dan Polri

Sabtu, 24 Januari 2015 - 13:19 WIB
Segera Selamatkan KPK...
Segera Selamatkan KPK dan Polri
A A A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri kembali memanas terkait penangkapan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Polri kemarin.

Sejumlah pihak mendesak konflik segera diselesaikan untuk menyelamatkan dua lembaga itu. Pelaksana Tugas (Plt) Kapolri Komjen Pol Badrodin Haiti menegaskan, penangkapan Bambang Widjojanto sama sekali tidak terkait persaingan antara KPK dan Polri. Bambang menjadi tersangka karena diduga mengarahkan saksi memberikan kesaksian palsu saat dia menjadi kuasa hukum pada sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010.

Namun dalam pandangan pengamat hukum Asep Warlan Yusuf, Mudzakkir, dan Marwan Mas kasus ini sulit dipisahkan dari kejadian sebelumnya, yakni ketika KPK menetapkan calon kapolri Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka kasus dugaan suap dan penerimaan hadiah.

Penangkapan dan penetapan Bambang sebagai tersangka kemarin dinilai berbau balas dendam Polri kepada KPK. Asep Warlan Yusuf mengatakan, perseteruan dua lembaga kali ini takubahnya kasus Cicakvs Buaya yang melibatkan KPK dan Polri pada 2009. Bahkan, dosen pengajar pada Universitas Parahyangan Bandung ini menilai dampak penangkapan Bambang ini jauh lebih besar dalam memengaruhi hubungan kedua lembaga ke depan.

“Ini memprihatinkan, jauh lebih tragis dari Cicak vs Buaya yang dulu. Soalnya ini bukan lagi hanya melibatkan individu, melainkan institusi melawan institusi,” ujarnya kemarin. Asepmengatakan, yangpatut dikhawatirkan pada perseteruan kali ini adalah dugaan adanya desain besar yang menginginkan lembaga pemberantas korupsi tidak bisa bekerja maksimal.

KPK selama ini hanya beranggotakan empat orang, setelah Busyro Muqoddas pensiun. Dengan kehilangan Bambang, KPK kini praktis hanya beranggotakan tiga orang. “Ujungnya supaya KPK tidak lagi melakukan tindakan hukum karena komisionernya kan berkurang. Kalau itu benar, sebuah ironi di tengah gencarnya keinginan kita memberantas korupsi,” lanjutnya.

Asep mengatakan, perseteruan KPK dan Polri kali ini cukup rumit dan tidak mudah untuk diselesaikan dalam waktu cepat. Keinginan publik agar Presiden Joko Widodo atau DPR turun tangan untuk menyelesaikan konflik pun tidak bisa terlalu diharapkan. Menurut dia, ada indikasi bahwa apa yang terjadi saat ini justru sumbernya berasal dari dua lembaga tinggi negara tersebut yang tidak suka dengan tindak-tanduk KPK selama ini.

“Asumsinya, Presiden bisa turun tangan kalau netral. Tapi melihat kondisinya saat ini, kita tidak bisa berharap terlalu banyak,” imbuhnya. Asep menambahkan, untuk menghindari indikasi pelemahan KPK, Presiden dan DPR harus tetap berupaya mencari jalan keluar, salah satunya mendudukkan pihak yang bertikai untuk mencapai kesepakatan. Lebih penting dari itu, harus ada kepastian dan jaminan bahwa KPK tetap bisa bekerja dengan tiga komisioner yang tersisa pasca penangkapan Bambang.

“Situasi ini mungkin bisa diatasi dengan kemauan Presiden mengeluarkan perppu agar dengan tiga komisioner saja sudah sah. Tapi permasalahannya, apa Presiden mau melakukan itu,” ujarnya. Istilah Cicak vs Buaya pertama kali muncul saat bocornya penyadapan percakapan Susno Duaji yang saat itu menjabat sebagai kabareskrim Polri dalam kasus penyuapan oleh nasabah Bank Century.

Nomor Susno Duaji ikut tersadap KPK saat berhubungan dengan pihak nasabah bank tersebut. Kasus Cicak vs Buaya Jilid I ketika itu berlanjut dengan ditetapkannya dua komisioner KPK, yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, sebagai tersangka pada 7 Agustus 2009. Keduanya dinilai melakukan tindak pidana penyalahgunaan wewenang dan menerima uang dari Anggodo Widjojo.

Perseteruan Polri dengan KPK kembali terjadi pada Juli 2012. Kasus yang dikenal Cicak vs Buaya Jilid II ini berawal saat KPK menggeledah Gedung Korlantas Polri di Jalan MT Haryono, Jakarta guna mencari barang bukti kasus simulator SIM. Dalam kasus ini, KPK menetapkan dua jenderal polisi sebagai tersangka, yakni mantan Kakorlantas Irjen Pol Djoko Susilo dan mantan Wakorlatas Brigjen Pol Didik Purnomo.

Pengamat hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Mudzakkir mengatakan, solusi terbaik adalah dua lembaga harus memastikan penegakan hukum yang dilakukan berjalan objektif, profesional, dan jujur. “Itu cara yang seharusnya ditempuh apabila ingin menghentikan ketegangan di antara kedua lembaga,” ucapnya.

Dia juga menilai dibutuhkan sebuah lembaga khusus untuk menjadi pihak ketiga dalam upaya meredakan perselisihan antara KPK-Polri. “Harus ada lembaga yang mengawasi, sehingga apabila ada praktik yang tidak benar, itu bisa segera dibenahi. Saat ini lembaga-lembaga penegak hukum terkesan berjalan sendiri tanpa bisa dicegah,” ujarnya.

Pakar hukum pidana Universitas 45 Makassar Marwan Mas menyatakan, konflik KPKPolri ini merupakan yang ketiga dalam kurun lima tahun. Dia menilai penangkapan Bambang salah satu bentuk pelemahan dan bahkan penjagalan atas lembaga negara seperti KPK. "Yang kita dukung itu lembaganya, institusinya yakni KPK. Komisioner akanb erganti, tetapi dukungan terhadap lembaganya tidak boleh hilang," katanya.

Marwan menyebutkan, lembaga seperti KPK itu bisa sesuai dengancita-citanya jika individu-individu di dalamnya punya komitmen, dan jika itu terjadi maka dukungan juga akan mengalir pada individunya, dalam hal ini para komisioner KPK.

Dian ramdhani/Dita angga/Ant
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0579 seconds (0.1#10.140)