DPR Minta Tahapan Pilkada Diperpendek
A
A
A
JAKARTA - Komisi II DPR meminta kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memperpendek tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Jadwal harus disesuaikan dengan revisi Undang- Undang Pilkada yang baru saja disahkan.
Wakil Ketua Komisi II DPR Riza Patria dapat memahami Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (RPKPU) yang telah dibuat oleh KPU. Namun, khusus PKPU mengenai tahapan dan jadwal pelaksanaan pilkada harus disesuaikan seiring dengan revisi UU Pilkada atas Perppu No 1/2014 yang tengah berjalan di DPR.
“UU tersebut akan ditetapkan paling lama pada masa persidangan DPR tahun sidang 2014-2015 tanggal 18 Februari 2015,” kata Riza saat membacakan kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR bersama dengan KPU dan Bawaslu di Gedung DPR kemarin. Lebih lanjut Riza mengungkapkan, Komisi II juga meminta kepada KPU dan Bawaslu agar tidak membuat PKPU dan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) terkait substansi UU penetapan Perppu No 1/2014 tentang Pilkada.
Pasalnya, masih ada sejumlah hal yang masih akan direvisi Komisi II bersama pemerintah. “DPR meminta agar menunggu sampai ada penetapan terhadap revisi UU tentang Pilkada ini selesai,” imbuh politikus Partai Gerindra itu. Adapun masukan perbaikan UU Pilkada dari KPU dan Bawaslu, ujar dia, Komisi II menerima masukan tersebut yang akan dijadikan sebagai masukan dalam pembahasan UU tentang penetapan Perppu No 1/2014.
Selain itu, lanjutnya, Komisi II juga mendorong agar KPU dan Bawaslu dapat menjadi lembaga yang kuat dalam menjalankan kewenangannya, seperti terhadap Bawaslu dalam penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, usulan Bawaslu yang ingin agar diberi kewenangan menangani proses sengketa pilkada dapat dimungkinkan.
Terlebih, Bawaslu sudah menyampaikan kesiapannya, Bawaslu pun sudah memiliki pengalaman, dan didukung oleh Polri dan kejaksaan. “Harus dibedakan ya, bukan hasil, tapi proses sengketa pilkada. Kalau hasil, mungkin di peradilan,” ujar Riza. Sejumlah kalangan mengusulkan agar tahapan pilkada serentak 2015 bisa disederhanakan baik proses maupun waktu pelaksanaannya.
Undang-Undang Pilkada yang berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2014 dipandang masih memuat aturan pilkada dalam tahapan yang panjang dan memakan waktu. “Misalnya uji publik, waktunya sekitar 3 sampai 4 bulan itu kepanjangan.
Saya berpandangan uji publik itu jangan menjadi tahapan, tapi menjadi urusan internal partai politik, agar mereka bertanggung jawab dalam mengusulkan orang,” ujar pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra. Menurut Saldi, apabila uji publik diserahkan kepada partai, nantinya di dalam UU Pemilu yang baru hanya ditambahkan norma saja. Dengan begitu, KPU menurut Saldi bisa memiliki waktu yang cukup untuk mengurusi tahapan pilkada lain.
“Tinggal lihat kalau parpol tidak melakukan proses yang secara terbuka, transparan, dan akuntabel, KPU dapat menolak calon yang diajukan atau hak parpoluntukmeng-ajukandapat dihilangkan,” saran Saldi. Usulan lainnya adalah soal penyederhanaan penyelesaian sengketa pilkada.
Diketahui saat ini proses sengketa dikembalikan kepada Mahkamah Agung (MA), setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk menyelenggarakannya. Menurut Saldi, apabila tetap dilaksanakan MA maka harus dipastikan prosesnya berjalan tepat waktu dan diatur secara ketat.
Senada, pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf sepakat apabila penyelesaian sengketa pilkada dilakukan secara tertata dan tepat waktu. Untuk itu, dia mengusulkan agar sidang penyelesaian sengketa dipimpin oleh hakim khusus pemilu.“Hakim khusus itu harus ada lima kriteria, kompeten, integritas moral baik, adhoc, tidak boleh menjalankan tugas lain selain pilkada dan harus punya judicial activism,” kata Asep.
Usulan KPU
Ketua KPU Husni Kamil Manik telah memberikan sejumlah masukan untuk revisi UU Pilkada. Dia berpendapat DPR perlu mempertimbangkan soal waktu dan desain jadwal pilkada. KPU berpikir alangkah baiknya kepala daerah yang berakhir masa jabatannya 2015 dan 2016 pilkadanya digabung, begitu juga yang berakhir di 2017 dan 2018 juga digabung pada pilkada serentak 2019.
“Yang berakhir 2019, kami mengusulkan dilakukan pada jadwal berikutnya setelah pemilu serentak 2019 dilaksanakan,” ujar Husni. Dengan desain tersebut, lanjutnya, KPU menyarankan agar pilkada serentak dimulai di 2016. Sementara untuk pilkada serentak di 2018, menurut dia bisa mengganggu persiapan KPU dalam melaksanakan Pemilu 2019. Jumlah pekerjaan KPU di 2018 akan meningkat drastis.
“Perlu dipertimbangkan penggabungan 2017-2018 bisa digabungkan di 2017,” jelasnya. Kemudian, Husni juga menyarankan agar aturan pilkada pada daerah khusus penting untuk dipertegas. Karena Indonesia memiliki lima provinsi khusus, dari lima provinsi khusus, empat di antaranya kepala daerahnya dipilih secara demokratis, yakni Aceh, DKI Jakarta, Papua, dan Papua Barat. Sementara di DIY tidak ada pemilihan.
Dian ramadhani/Kiswondari
Wakil Ketua Komisi II DPR Riza Patria dapat memahami Rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (RPKPU) yang telah dibuat oleh KPU. Namun, khusus PKPU mengenai tahapan dan jadwal pelaksanaan pilkada harus disesuaikan seiring dengan revisi UU Pilkada atas Perppu No 1/2014 yang tengah berjalan di DPR.
“UU tersebut akan ditetapkan paling lama pada masa persidangan DPR tahun sidang 2014-2015 tanggal 18 Februari 2015,” kata Riza saat membacakan kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II DPR bersama dengan KPU dan Bawaslu di Gedung DPR kemarin. Lebih lanjut Riza mengungkapkan, Komisi II juga meminta kepada KPU dan Bawaslu agar tidak membuat PKPU dan Peraturan Bawaslu (Perbawaslu) terkait substansi UU penetapan Perppu No 1/2014 tentang Pilkada.
Pasalnya, masih ada sejumlah hal yang masih akan direvisi Komisi II bersama pemerintah. “DPR meminta agar menunggu sampai ada penetapan terhadap revisi UU tentang Pilkada ini selesai,” imbuh politikus Partai Gerindra itu. Adapun masukan perbaikan UU Pilkada dari KPU dan Bawaslu, ujar dia, Komisi II menerima masukan tersebut yang akan dijadikan sebagai masukan dalam pembahasan UU tentang penetapan Perppu No 1/2014.
Selain itu, lanjutnya, Komisi II juga mendorong agar KPU dan Bawaslu dapat menjadi lembaga yang kuat dalam menjalankan kewenangannya, seperti terhadap Bawaslu dalam penyelesaian sengketa. Oleh karena itu, usulan Bawaslu yang ingin agar diberi kewenangan menangani proses sengketa pilkada dapat dimungkinkan.
Terlebih, Bawaslu sudah menyampaikan kesiapannya, Bawaslu pun sudah memiliki pengalaman, dan didukung oleh Polri dan kejaksaan. “Harus dibedakan ya, bukan hasil, tapi proses sengketa pilkada. Kalau hasil, mungkin di peradilan,” ujar Riza. Sejumlah kalangan mengusulkan agar tahapan pilkada serentak 2015 bisa disederhanakan baik proses maupun waktu pelaksanaannya.
Undang-Undang Pilkada yang berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2014 dipandang masih memuat aturan pilkada dalam tahapan yang panjang dan memakan waktu. “Misalnya uji publik, waktunya sekitar 3 sampai 4 bulan itu kepanjangan.
Saya berpandangan uji publik itu jangan menjadi tahapan, tapi menjadi urusan internal partai politik, agar mereka bertanggung jawab dalam mengusulkan orang,” ujar pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra. Menurut Saldi, apabila uji publik diserahkan kepada partai, nantinya di dalam UU Pemilu yang baru hanya ditambahkan norma saja. Dengan begitu, KPU menurut Saldi bisa memiliki waktu yang cukup untuk mengurusi tahapan pilkada lain.
“Tinggal lihat kalau parpol tidak melakukan proses yang secara terbuka, transparan, dan akuntabel, KPU dapat menolak calon yang diajukan atau hak parpoluntukmeng-ajukandapat dihilangkan,” saran Saldi. Usulan lainnya adalah soal penyederhanaan penyelesaian sengketa pilkada.
Diketahui saat ini proses sengketa dikembalikan kepada Mahkamah Agung (MA), setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk menyelenggarakannya. Menurut Saldi, apabila tetap dilaksanakan MA maka harus dipastikan prosesnya berjalan tepat waktu dan diatur secara ketat.
Senada, pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Bandung Asep Warlan Yusuf sepakat apabila penyelesaian sengketa pilkada dilakukan secara tertata dan tepat waktu. Untuk itu, dia mengusulkan agar sidang penyelesaian sengketa dipimpin oleh hakim khusus pemilu.“Hakim khusus itu harus ada lima kriteria, kompeten, integritas moral baik, adhoc, tidak boleh menjalankan tugas lain selain pilkada dan harus punya judicial activism,” kata Asep.
Usulan KPU
Ketua KPU Husni Kamil Manik telah memberikan sejumlah masukan untuk revisi UU Pilkada. Dia berpendapat DPR perlu mempertimbangkan soal waktu dan desain jadwal pilkada. KPU berpikir alangkah baiknya kepala daerah yang berakhir masa jabatannya 2015 dan 2016 pilkadanya digabung, begitu juga yang berakhir di 2017 dan 2018 juga digabung pada pilkada serentak 2019.
“Yang berakhir 2019, kami mengusulkan dilakukan pada jadwal berikutnya setelah pemilu serentak 2019 dilaksanakan,” ujar Husni. Dengan desain tersebut, lanjutnya, KPU menyarankan agar pilkada serentak dimulai di 2016. Sementara untuk pilkada serentak di 2018, menurut dia bisa mengganggu persiapan KPU dalam melaksanakan Pemilu 2019. Jumlah pekerjaan KPU di 2018 akan meningkat drastis.
“Perlu dipertimbangkan penggabungan 2017-2018 bisa digabungkan di 2017,” jelasnya. Kemudian, Husni juga menyarankan agar aturan pilkada pada daerah khusus penting untuk dipertegas. Karena Indonesia memiliki lima provinsi khusus, dari lima provinsi khusus, empat di antaranya kepala daerahnya dipilih secara demokratis, yakni Aceh, DKI Jakarta, Papua, dan Papua Barat. Sementara di DIY tidak ada pemilihan.
Dian ramadhani/Kiswondari
(bbg)