Korban Minimnya Informasi soal ASI

Senin, 19 Januari 2015 - 10:44 WIB
Korban Minimnya Informasi soal ASI
Korban Minimnya Informasi soal ASI
A A A
KEGIGIHAN Utami menyebarkan informasi dan menyuarakan pentingnya ASI ekslusif, IMD, serta pemberian makanan bayi yang baik pendamping ASI bukan tanpa alasan.

Utami mengaku merupakan salah satu ”korban” minimnya informasi mengenai ASI pada 1970-an. Utami melahirkan kedua putranya pada 1972 dan 1974. Pada masa itu informasi mengenai ASI eksklusif belum banyak. Langsung memisahkan bayi baru lahir dari ibunya masih dianggap wajar bahkan justru dianggap prosedur penanganan ideal pascapersalinan. Banyak terjadi praktik pemberian susu formula kepada bayi baru lahir karena ASI belum keluar.

”Saya melahirkan di rumah sakit tempat ibu saya bekerja sebagai dokter spesialis anak selama 30 tahun. Saat itu, kami tidak terinformasikan dengan baik mengenai ASI. Saat itu saya juga tidak mengerti mengapa tidak bisa menyusui kedua putra saya,” kenang Utami. Dia merasa kegagalan menyusui tersebut seperti dosa besar yang harus ditanggung seumur hidup. Pada 1989, Utami didiagnosis mengidap kanker payudara.

Salah satu pendiri dan ketua pembina Sentra Laktasi Indonesia (Selasi) ini menerimanya sebagai ”imbalan” lantaran tidak menyusui dengan benar kedua buah hatinya. Utami bersyukur berhasil sembuh 100% setelah menjalani terapi penyinaran hampir 50 kali tanpa harus menjalani operasi pengangkatan kedua payudara.

Dia adalah perempuan pertama di Indonesia penderita kanker payudara yang sembuh tanpa menjalani pengangkatan payudara. Kini, Utami mengalami penyumbatan pembuluh darah 83% sehingga jantungnya harus dipasangi cincin. ”Andaikan dulu saya menyusui, mungkin sekarang saya tidak perlu pasang cincin di jantung,” ucap perempuan yang pernah mengikuti Fellow of Academic Breastfeeding Medicine(FABM )di American Academic Breastfeeding Medicine pada 2008 ini.

Utami menyebutkan, sebuah studi pada 2009 menunjukkan bahwa risiko gangguan jantung koroner pada perempuan semakin kecil apabila yang bersangkutan menyusui dengan benar. Berbagai penelitian pun, lanjut dia, menunjukkan bahwa menyusui dengan benar bisa mengurangi risiko kanker payudara, kanker rahim, tumor indung telur, diabetes, gangguan jantung koroner, hingga alzheimer.

Tak ingin peristiwa pahit terulang kepada para ibu lainnya, Utami giat melakukan edukasi dan sosialisasi terkait ASI eksklusif. Jangan sampai ada lagi ibu-ibu mengalami hal serupa dengannya lantaran tidak terinformasikan dengan baik mengenai ASI. Dia juga tak ingin ada lagi bayi baru lahir yang diberikan susu formula dengan alasan ASI si ibu tidak keluar. Utami mengungkapkan, dari 1.000 ibu yang mengaku air susunya kurang, hanya 1-2% yang air susunya benar-benar kurang.

Sementara 99% lainnya lantaran kurang mendapatkan informasi mengenai cara menyusui yang benar atau belum bertemu dengan orang yang bisa membantu mereka untuk memberi pengarahan yang benar. ”Apa yang saya lakukan saat ini sebagai wujud untuk menghapuskan atau mengurangi kesalahan saya di masa lalu,” ucap Utami.

Dia melanjutkan, mengenai pemberian susu formula, ada empat penelitian besar pada 2010 dan 12 penelitian besar pada 2012 yang menunjukkan bahwa pemberian DHA dan AA tidak meningkatkan kepandaian kognitif anak. Dengan kata lain, pemberian DHA dan AA susu formula pada bayi tidak meningkatkan kepandaian kognitif anak. ”Tak ada yang bisa menggantikan ASI. Pembeda ASI dan susu formula adalah ASI merupakan cairan hidup yang selalu berubah.

Sementara susu formula adalah cairan mati yang kandungannya tetap. Kandungan ASI hari ini dan besok tak akan pernah sama karena disesuaikan dengan kebutuhan bayi,” tegasnya. Utami juga mengatakan, seharusnya semua rumah sakit di seluruh Indonesia melakukan IMD. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33/2012 mengenai pemberian ASI eksklusif mencakup IMD.

Sayangnya, belum semua bidan dan pengelola rumah sakit paham mengenai IMD. Padahal, IMD bukan pilihan, tapi sudah seharusnya bayi yang baru lahir langsung diberi ASI. Hasil penelitian menunjukkan, proses IMD dapat menurunkan angka kematian bayi hingga 22%. Para ibu yang memberi bayinya kesempatan menyusui segera setelah lahir memiliki kemungkinan delapan kali lipat lebih besar mampu memberikan ASI eksklusif hingga enam bulan.

Meski tak bisa menyusui kedua buah hatinya, Utami bersyukur kedua putranya tumbuh menjadi anak-anak yang sehat mental dan spiritual. Dia merasakan begitu banyak kebaikan dan kemurahan yang telah Tuhan limpahkan kepada dirinya.

”Saya malu sekali dengan Tuhan. Walaupun saya sudah melakukan kesalahan, saya tetap diberi kesempatan hidup yang luar biasa. Begitu banyak kemurahan yang Dia berikan kepada saya. Kurang baik apa Tuhan kepada saya? Hal ini yang semakin membuat saya kuat untuk terus berbagi mengenai ASI kepada masyarakat terutama ibuibu,” pungkasnya.

Ema malini/ Dina angelina
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4937 seconds (0.1#10.140)