Setiap Saya Mendengar Suara Pesawat, Saya Merasa Ketakutan

Kamis, 15 Januari 2015 - 10:55 WIB
Setiap Saya Mendengar Suara Pesawat, Saya Merasa Ketakutan
Setiap Saya Mendengar Suara Pesawat, Saya Merasa Ketakutan
A A A
Poster kartun Donald Bebek terpajang di dinding ruangan Panti Asuhan al-Amal di Kota Gaza, Palestina. Sementara, boneka Teddy Bear tertata rapi di atas tempat tidur.

Anak-anak yang menghuni panti asuhan tersebut sekilas memang terlihat ceria, meski sebenarnya perasaan mereka selalu dihantui dengan situasi perang. Mereka membuat sketsa roket, pesawat tempur Israel, dan gambar orang-orang yang hancur terkena serangan musuh. Hal-hal inilah yang selalu terekam dalam memori mereka. Anak-anak ini terjebak dalam situasi konflik berkepanjangan.

“Setiap saya mendengar suara pesawat, saya merasa ketakutan,” ungkap Aisha al-Shinbary, 8, penghuni Panti Asuhan Al-Amal yang ditinggal mati kedua orangtua dan kakak laki-lakinya, seperti dilansir Al Jazeera . “Saya kehilangan rumah selama perang. Saya tidak mau mengingat rumah lagi. Saya berharap untuk mati supaya dapat bertemu kembali dengan ibu saya,” tambah Aisha.

Ayahnya meninggal secara alami dan kakak lelakinya terbunuh oleh serangan udara militer Israel. Hal ini membuat ibunya tidak dapat memberi nafkah untuk semua anaknya. Panti asuhan ini telah menjadi rumah Aisha selama beberapa tahun terakhir. Selama perang berlangsung pada 2014 lalu, panti asuhan mengirim semua anak asuhnya untuk tinggal bersama kerabatnya, sementara tempat ini digunakan untuk tempat penampungan bagi ratusan pengungsi Gaza.

Aisha akhirnya dapat kembali lagi tinggal dengan ibunya, namun tak lama setelahnya, serangan udara militer Israel menyebabkan ibunya meninggal. Kini, Aisha mengaku kerap didatangi ibunya dalam mimpi. Sang ibu mencium dan memeluk putri kecilnya, kemudian menghilang. Manal Abu Taiema, 11, anak yatim lainnya, mengaku mengingat jelas kematian ayahnya.

Dia ingat ketika ayahnya mengatakan, “Jangan berada dekat jendela.” Beberapa saat kemudian, dua misil menghantam rumah mereka. “Satu misil mengenai sepupu dan menghancurkannya, satu lagi membuat luka sangat parah pada kepala ayah saya,” ungkap Taiema. Ketika bercerita, Taiema terlihat berulang kali meremas tangannya sendiri.

“Setiap kali saya mendengar suara mobil ambulans, saya menangis karena saya mendengar begitu banyak selama perang. Saya aman di sini (panti), tapi tidak di Gaza. Di sana saya selalu menunggu hadirnya perang baru,” tambah Taiema. Cerita Aisha dan Taiema bukan cerita yang langka di Jalur Gaza, di mana serangan Israel berlangsung selama 51 hari tanpa henti dan menewaskan lebih dari 2.200 warga Palestina pada musim panas lalu.

Sementara, jumlah korban luka lebih banyak lagi. Abed Almajed Alkhodary, ketua Panti Asuhan al-Amal, mengatakan, serangan Israel pada 2014 lalu membuat lebih dari 1.500 anak menjadi yatim piatu, ditambah puluhan ribu anak yang lebih dulu bermukim di Gaza. Panti asuhan yang sudah berdiri lebih dari 60 tahun lalu itu menjadi satu-satunya penampungan yatim piatu di Kota Gaza.

Mereka hanya bisa menampung anak-anak yang sangat membutuhkan pertolongan saja. Keterbatasan berbagai sarananya membuat panti asuhan ini tidak dapat menerima seluruh anak yatim piatu di seluruh Gaza. “Beberapa anak yatim piatu di sini menjadi saksi mata dari keluarga dan ibu-ibu mereka yang tewas di hadapan mereka,” tambah Alkhodary.

Setelah perang usai, jumlah anak-anak yatim yang bermukim di Panti Asuhan al- Amal melonjak hampir dua kali lipatnya, menjadi 150 orang. Jumlah ini yang tertinggi sepanjang sejarah panti asuhan berdiri. Terdapat 50 orang pekerja di panti asuhan yang bertugas mengawasi, mengajar, memberi makan, dan teman bermain sehingga para penghuninya merasa nyaman. Rumah yatim yang didanai secara pribadi ini sekarang sedang direnovasi dan diperluas.

“Psikis anak-anak yang orang tuanya terbunuh saat mereka sedang keluar rumah, dan ketika kembali mereka mendapati keluarganya sudah meninggal, ini hal yang terburuk yang Anda lihat,” ujar Meqbin, seorang psikolog. Ia menambahkan, banyak dari anak-anak ini berjuang dengan masalah psikologis yang mendalam dan rasa kecemasan tinggi.

Rewayda Kassab, seorang pekerja administrasi di panti asuhan menjelaskan, berbagai upaya meredam gejolak psikologis si anak dilakukan. Dia mencontohkan, ada seorang ibu yang mencoba menjelaskan kepada anaknya bahwa ayahnya tewas sebagai pahlawan perang dengan sedikit mengarang cerita.

Hal ini dilakukan agar si anak menganggap kepergian ayahnya sebagai seorang pahlawan. Meski sebenarnya ayah anak ini tewas karena sepihan ledakan misil yang menancap tepat di jantungnya, dan ketika ayahnya dilarikan ke rumah sakit, mobil yang membawanya dijatuhi bom.
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5908 seconds (0.1#10.140)