Pemerintah Diminta Libatkan MK dan MA
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta untuk tetap melibatkan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyusun peraturan pemerintah (PP) pengajuan upaya hukum peninjauan kembali (PK) pidana.
Hal ini perlu dilakukan mengingat posisi MK sebagai pemutus dan MA sebagai pelaksana putusan. Pakar hukum tata negara Universitas Brawijaya Ali Syafaat menyatakan, dilibatkannya MA dan MK dalam perumusan substansi PP bukan untuk mencampuri kewenangan pemerintah dalam membentuk aturan.
Pasalnya, bagaimanapun pembentukan PP merupakan otoritas mutlak kewenangan pemerintah. Akan tetapi, keberadaan MA dan MK hanya sebatas pada memberikan pandangan atas substansi PP tersebut, apalagi PP ini diterbitkan untuk mengakomodasi Putusan MK Nomor 34 Tahun 2013.
“Tapi secara substansi bisa melibatkan kedua lembaga ini (MK dan MA). Jadi, apakah aspeknya sudah memenuhi putusan MK dan MA sebagai pelaksana. Jangan sampai (PP) sebabkan kebanjiran PK,” terang Ali di Jakarta kemarin.
Namun yang paling penting, substansi yang diatur dalam PP harus benar-benar merujuk pada putusan MK di mana tidak ada pembatasan pengajuan PK khusus pidana. Sementara untuk aturan kriteria novum (bukti baru), memang diperlukan agar tidak sembarang orang bisa mengajukan PK sebab MK tidak merumuskan dengan jelas dalam putusannya.
“Misalnya bukti itu belum pernah diajukan dalam PK sebelumnya ataupun proses peradilan. Pembatasan untuk novum itu boleh, tapi tidak boleh memberikan batasan waktu untuk pengajuan PK,” paparnya. Dia menilai jika waktu pengajuan PK dibatasi maka sama saja melanggar hak para pencari keadilan, sebab munculnya novum tidak terduga sehingga tidak bisa dibatasi oleh waktu.
Sebelumnya, untuk mengakhiri pro dan kontra pengajuan upaya hukum PK khususnya pidana pascaputusan MK, sejumlah lembaga yakni Kementerian Hukum dan HAM, Menko Polhukam, Kejaksaan Agung, Komnas HAM, KPK, Kabareskrim Polri, MK, dan MA telah menyetujui keputusan bersama untuk menyelesaikan polemik tersebut.
Salah satu poin keputusan bersama adalah membentuk peraturan pelaksana (PP) tentang permohonan PK untuk menindaklanjuti Putusan MK Nomor 34 Tahun 2013. Ketua MA Hatta Ali belum bisa memberikan pandangannya atas substansi yang akan diatur dalam PP. Dia mengatakan, pandangan MA saat itu telah disampaikan melalui ketua kamar pidana saat menyepakati keputusan bersama.
“Kita belum tahu isi PP, MA sudah diikutsertakan memberikan pandangannya, kan ketua kamar pidana saya utus waktu itu,” ungkap Hatta . Meski demikian, dia berharap MA bisa dilibatkan secara langsung dalam membuat PP bersama pemerintah. Masukan MA, ujarnya, tetap p e n t i n g mengingat posisinya sebagai pelaksana PP.
Nurul adriyana
Hal ini perlu dilakukan mengingat posisi MK sebagai pemutus dan MA sebagai pelaksana putusan. Pakar hukum tata negara Universitas Brawijaya Ali Syafaat menyatakan, dilibatkannya MA dan MK dalam perumusan substansi PP bukan untuk mencampuri kewenangan pemerintah dalam membentuk aturan.
Pasalnya, bagaimanapun pembentukan PP merupakan otoritas mutlak kewenangan pemerintah. Akan tetapi, keberadaan MA dan MK hanya sebatas pada memberikan pandangan atas substansi PP tersebut, apalagi PP ini diterbitkan untuk mengakomodasi Putusan MK Nomor 34 Tahun 2013.
“Tapi secara substansi bisa melibatkan kedua lembaga ini (MK dan MA). Jadi, apakah aspeknya sudah memenuhi putusan MK dan MA sebagai pelaksana. Jangan sampai (PP) sebabkan kebanjiran PK,” terang Ali di Jakarta kemarin.
Namun yang paling penting, substansi yang diatur dalam PP harus benar-benar merujuk pada putusan MK di mana tidak ada pembatasan pengajuan PK khusus pidana. Sementara untuk aturan kriteria novum (bukti baru), memang diperlukan agar tidak sembarang orang bisa mengajukan PK sebab MK tidak merumuskan dengan jelas dalam putusannya.
“Misalnya bukti itu belum pernah diajukan dalam PK sebelumnya ataupun proses peradilan. Pembatasan untuk novum itu boleh, tapi tidak boleh memberikan batasan waktu untuk pengajuan PK,” paparnya. Dia menilai jika waktu pengajuan PK dibatasi maka sama saja melanggar hak para pencari keadilan, sebab munculnya novum tidak terduga sehingga tidak bisa dibatasi oleh waktu.
Sebelumnya, untuk mengakhiri pro dan kontra pengajuan upaya hukum PK khususnya pidana pascaputusan MK, sejumlah lembaga yakni Kementerian Hukum dan HAM, Menko Polhukam, Kejaksaan Agung, Komnas HAM, KPK, Kabareskrim Polri, MK, dan MA telah menyetujui keputusan bersama untuk menyelesaikan polemik tersebut.
Salah satu poin keputusan bersama adalah membentuk peraturan pelaksana (PP) tentang permohonan PK untuk menindaklanjuti Putusan MK Nomor 34 Tahun 2013. Ketua MA Hatta Ali belum bisa memberikan pandangannya atas substansi yang akan diatur dalam PP. Dia mengatakan, pandangan MA saat itu telah disampaikan melalui ketua kamar pidana saat menyepakati keputusan bersama.
“Kita belum tahu isi PP, MA sudah diikutsertakan memberikan pandangannya, kan ketua kamar pidana saya utus waktu itu,” ungkap Hatta . Meski demikian, dia berharap MA bisa dilibatkan secara langsung dalam membuat PP bersama pemerintah. Masukan MA, ujarnya, tetap p e n t i n g mengingat posisinya sebagai pelaksana PP.
Nurul adriyana
(ars)