Sumber Energi yang Belum Tergantikan
A
A
A
Sejak dunia mengenal minyak sebagai sumber energi, peradaban manusia mengalami kemajuan sangat pesat. Selama berabad-abad, seluruh negara di dunia begitu haus akan minyak.
Sialnya, sampai saat ini, “emas hitam” itu belum tergantikan. Akibatnya, arah ekonomi dan politik dunia disetir segelintir negara. Minyak berpeluang membuat bandar kaya raya dan berkuasa. Dalam skenario tertentu, bandar bisa mengendalikan dan mendominasi politik global.
Pasalnya, beberapa peralatan penting di dunia ini memerlukan minyak sebagai sumber energi. Pembangunan infrastruktur, pengembangan teknologi, dan transportasi tak akan berjalan mulus tanpa minyak. Arab Saudi merupakan negara penghasil minyak terbesar di dunia dan sering dituduh menjadi dalang politik dunia. Mereka bisa membolak-balikkan politik nasional dan internasional dengan mempermainkan harga minyak.
Setiap negara yang menentang kebijakan Arab Saudi atau menjadi pesaing Arab Saudi berpeluang menderita secara ekonomi. Dalam pertemuan Organisasi Negara- Negara Pengekspor Minyak (OPEC) di Wina, Austria, tahun lalu, OPEC memutuskan untuk mempertahankan produksi minyak 30 juta barel/ hari. Padahal, permintaan menurun.
Akibatnya, harga minyak ikut turun. Kebijakan itu didasarkan pada desakan Arab Saudi yang disebut para ahli ingin memukul Rusia dan Iran. Rusia, begitu juga Iran, merupakan negara yang hampir sebagian besar pendapatannya didasarkan pada penjualan minyak. Tingginya produksi dalam kondisi permintaan rendah mengancam kantong kas mereka pada 2015. Rusia kemudian berencana memangkas jumlah produksi untuk mengurangi kerugian.
Namun, mereka disebut kembali diancam Arab Saudi. “Jika Rusia memangkas produksi, Arab Saudi juga akan memangkas produksi dengan mengajak Kuwait dan Emirates melakukan hal yang sama,” ujar pakar energi Arthur Berman, dikutip Oilprice . Gesekan ini tidak terlepas dari konflik Suriah.
Arab Saudi mendukung kelompok separatis, sementara Rusia dan Iran mendukung pemerintah. Maklum, perang sipil di Suriah tidak terlepas dari wacana minyak. Suriah merupakan “pipa” minyak Arab Saudi dan Qatar menuju Eropa. Namun, Presiden Suriah Bashar al-Assad menolak membangun “pipa” tersebut. Kebijakan itu menampar Arab Saudi dan membantu Russia yang telah mendominasi pasar minyak Eropa dalam beberapa tahun terakhir.
Akibatnya, semuanya memanas. Arab Saudi, Amerika Serikat (AS), dan sekutunya berupaya menggeser Assad dan menggantinya dengan pemimpin yang bisa diajak kompromi. Mereka dinilai bermain di belakang topik senjata kimia dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Mereka mengorbankan banyak dana dan nyawa demi minyak. Namun, Suriah beserta Assad masih berdiri tegak karena mereka didukung Rusia.
Pada tahun lalu Rusia dilemahkan. Mereka dituduh terlibat memasok senjata kepada kelompok separatis dalam perang Ukraina Timur sekalipun tuduhan itu selalu dibantah Rusia. AS beserta sekutunya lalu memberikan sanksi ekonomi selama setahun kepada Rusia. Beberapa negara seperti Meksiko, Kolombia, Venezuela, China, India, mantan anggota Soviet Republik Asia Tengah, dan Nigeria juga kena getahnya dari masih tingginya produksi minyak di tengah lesunya permintaan yang mempengaruhi anjloknya harga.
Padahal, jika harga minyak tinggi, mereka bisa hidup lebih baik dan bisa memperbaiki infrastruktur yang terlanjur tua, termasuk pertahanan militer. Dampak besar ini menunjukkan betapa pentingnya minyak. Pertama, minyak berperan di setiap aspek kehidupan mulai dari teknologi sampai transportasi.
Kedua, minyak tidak bisa digantikan secara maksimal di bidang transportasi, baik sipil atau militer. Ketiga, minyak sangat langka dan akan habis. Pada 1900 penggunaan minyak dan gas sebagai sumber energi di seluruh dunia masih langka, baru sekitar 3%. Hampir 55% sumber energi berasal dari batu bara.
Satu abad kemudian, kontribusi minyak dan gas meningkat menjadi 63% sedangkan batu bara menurun menjadi 25%. Penggunaan minyak dan gas terus naik dari tahun ke tahun. Berdasarkan perhitungan Lembaga Energi International (IEA), penggunaan minyak pada tahun 2000 mencapai 75 juta barel/hari.
Dalam kurun 30 tahun ke depan IEA memperkirakan penggunaan minyak bisa dua kali lipat lebih banyak. Namun, tidak ada yang tahu dengan pasti kapan pasokan minyak dan gas akan habis di muka bumi.
Muh shamil
Sialnya, sampai saat ini, “emas hitam” itu belum tergantikan. Akibatnya, arah ekonomi dan politik dunia disetir segelintir negara. Minyak berpeluang membuat bandar kaya raya dan berkuasa. Dalam skenario tertentu, bandar bisa mengendalikan dan mendominasi politik global.
Pasalnya, beberapa peralatan penting di dunia ini memerlukan minyak sebagai sumber energi. Pembangunan infrastruktur, pengembangan teknologi, dan transportasi tak akan berjalan mulus tanpa minyak. Arab Saudi merupakan negara penghasil minyak terbesar di dunia dan sering dituduh menjadi dalang politik dunia. Mereka bisa membolak-balikkan politik nasional dan internasional dengan mempermainkan harga minyak.
Setiap negara yang menentang kebijakan Arab Saudi atau menjadi pesaing Arab Saudi berpeluang menderita secara ekonomi. Dalam pertemuan Organisasi Negara- Negara Pengekspor Minyak (OPEC) di Wina, Austria, tahun lalu, OPEC memutuskan untuk mempertahankan produksi minyak 30 juta barel/ hari. Padahal, permintaan menurun.
Akibatnya, harga minyak ikut turun. Kebijakan itu didasarkan pada desakan Arab Saudi yang disebut para ahli ingin memukul Rusia dan Iran. Rusia, begitu juga Iran, merupakan negara yang hampir sebagian besar pendapatannya didasarkan pada penjualan minyak. Tingginya produksi dalam kondisi permintaan rendah mengancam kantong kas mereka pada 2015. Rusia kemudian berencana memangkas jumlah produksi untuk mengurangi kerugian.
Namun, mereka disebut kembali diancam Arab Saudi. “Jika Rusia memangkas produksi, Arab Saudi juga akan memangkas produksi dengan mengajak Kuwait dan Emirates melakukan hal yang sama,” ujar pakar energi Arthur Berman, dikutip Oilprice . Gesekan ini tidak terlepas dari konflik Suriah.
Arab Saudi mendukung kelompok separatis, sementara Rusia dan Iran mendukung pemerintah. Maklum, perang sipil di Suriah tidak terlepas dari wacana minyak. Suriah merupakan “pipa” minyak Arab Saudi dan Qatar menuju Eropa. Namun, Presiden Suriah Bashar al-Assad menolak membangun “pipa” tersebut. Kebijakan itu menampar Arab Saudi dan membantu Russia yang telah mendominasi pasar minyak Eropa dalam beberapa tahun terakhir.
Akibatnya, semuanya memanas. Arab Saudi, Amerika Serikat (AS), dan sekutunya berupaya menggeser Assad dan menggantinya dengan pemimpin yang bisa diajak kompromi. Mereka dinilai bermain di belakang topik senjata kimia dan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Mereka mengorbankan banyak dana dan nyawa demi minyak. Namun, Suriah beserta Assad masih berdiri tegak karena mereka didukung Rusia.
Pada tahun lalu Rusia dilemahkan. Mereka dituduh terlibat memasok senjata kepada kelompok separatis dalam perang Ukraina Timur sekalipun tuduhan itu selalu dibantah Rusia. AS beserta sekutunya lalu memberikan sanksi ekonomi selama setahun kepada Rusia. Beberapa negara seperti Meksiko, Kolombia, Venezuela, China, India, mantan anggota Soviet Republik Asia Tengah, dan Nigeria juga kena getahnya dari masih tingginya produksi minyak di tengah lesunya permintaan yang mempengaruhi anjloknya harga.
Padahal, jika harga minyak tinggi, mereka bisa hidup lebih baik dan bisa memperbaiki infrastruktur yang terlanjur tua, termasuk pertahanan militer. Dampak besar ini menunjukkan betapa pentingnya minyak. Pertama, minyak berperan di setiap aspek kehidupan mulai dari teknologi sampai transportasi.
Kedua, minyak tidak bisa digantikan secara maksimal di bidang transportasi, baik sipil atau militer. Ketiga, minyak sangat langka dan akan habis. Pada 1900 penggunaan minyak dan gas sebagai sumber energi di seluruh dunia masih langka, baru sekitar 3%. Hampir 55% sumber energi berasal dari batu bara.
Satu abad kemudian, kontribusi minyak dan gas meningkat menjadi 63% sedangkan batu bara menurun menjadi 25%. Penggunaan minyak dan gas terus naik dari tahun ke tahun. Berdasarkan perhitungan Lembaga Energi International (IEA), penggunaan minyak pada tahun 2000 mencapai 75 juta barel/hari.
Dalam kurun 30 tahun ke depan IEA memperkirakan penggunaan minyak bisa dua kali lipat lebih banyak. Namun, tidak ada yang tahu dengan pasti kapan pasokan minyak dan gas akan habis di muka bumi.
Muh shamil
(bbg)