Nomenklatur Desa Harus Segera Tuntas
A
A
A
JAKARTA - Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menuntaskan nomenklatur desa di bawah langsung Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dan Transmigrasi.
Molornya penataan tersebut bisa menghambat program pembangunan desa sebagaimana yang diamanahkan undang- undang. Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng mengatakan sumber dari ketidakjelasan nomenklatur desa disebabkan aturan yang dibuat Presiden Jokowi cenderungmendua.
Menurutdia, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 165/2014 memberikan ruang untuk tarik-menarik terkait dengan urusan desa. “Jokowi harus tegas mengenai nomenklatur desa. Jangan dibiarkan berlarut-larut karena akan mengganggu jalannya pemerintahan,” ujar Direktur Eksekutif Komite Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng kepada KORAN SINDO kemarin.
Lebih lanjut dia mengatakan, pada Perpres 165/2015 Pasal 6 disebutkan bahwa Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi memimpin serta mengoordinasikan penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang desa yang meliputi kelembagaan dan pelatihan masyarakat desa, pemberdayaan adat dan sosial budaya masyarakat desa, usaha ekonomi masyarakat desa, serta sumber daya alam dan teknologi tepat guna perdesaan yang dilaksanakan Kementerian Dalam Negeri.
“Aturan tersebut langsung merujuk pada urusan-urusan di desa. Kementerian Desa serasa kontraktor proyek nasional di desa. Tidak ada disebutkan kementerian itu menjadi koordinator kebijakan nasional tentang desa. Maka dari itu tidak bisa disalahkan jika masih ada tarik-menarik tentang nomenklatur ini,” ujar dia.
Menurut dia, akan lebih baik jika Presiden Jokowi melakukan revisi atas peraturan tersebut. Hal ini perlu dilakukan sebagai langkah mengakhiri ketidakjelasan nasib nomenklatur desa. Apalagi adanya permasalahan ini memperlihatkan adanya aroma kontestasi sektoral. “Saya melihat menteri desa meminta teman-teman PKB maju. Aroma kontestasi di dalam pemerintah cukup kental. Kuncinya ada di Jokowi karena bentuknya peraturan presiden. Ini seperti persaingan antarkementerian,” ujarnya.
Endi menilai jika pemerintahan Jokowi konsisten menjalankan UU Desa dan program Nawacitanya untuk membangun dari desa, seharusnya segala urusan desa diserahkan kepada Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi. Apalagi semangat UU Desa mengurangi intervensi pemda ke desa. “UU Desa jelas ada di Kementerian Desa. Jadi semua urusan ada di kementerian terkait. Bahwa penyalurannya di rekening daerah dan pusat, itu hanya persoalan administrasi,” katanya.
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasan mengatakan sudah memprediksi bakal terjadinya tarik-menarik kepentingan. Menurut dia, Kemendagri tidak tulus melepaskan kewenangan desa ke Kemen-terian Desa, PDT, dan Transmigrasi. “Publik perlu mafhum bahwa berlarutnya penyusunan SOTK ini karena tarik-menarik kepentingan antarelite partai politik. PDI Perjuangan dan NasDem berkepentingan agar sebagian urusan desa, khususnya urusan pemerintahan desa, tetap ditangani Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri),” ujarnya.
Adapun Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, tambah dia, berpedoman pada UU Desa yang menegaskan agar urusan desa ditangani secara holistis oleh Menteri Desa sebagai kementerian yang dibentuk secara khusus untuk menangani implementasi UU Desa.
“Perlu diingat bahwa selama puluhan tahun, desa di bawah Kemendagri telah menjadi alas kaki kekuasaan penopang kekuasaan pemerintah tanpa otonomi yang jelas. Kemendagri, khususnya Direktorat Jenderal PMD, juga telah menjadi agen pemberdayaan kemiskinan yang terus-menerus menggunakan kemiskinan sebagai komoditas tanpa penyelesaian serius,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan pihaknya tetap menginginkan urusan pemerintahan desa berada di bawah kementeriannya. Pasalnya urusan penyelenggaraan pemerintahan desa lebih tepat berada di Kemendagri. “Sekarang kalau di media ada pemred, redpel, reporter. Itu kan satu mata rantai. Sekarang kalau pemred, redpel, reporter lalu reporternya tidak di bawah koordinasi redpel, tapi di bawah bagian pemasaran bagaimana? Tidak nyambung,” ujar dia.
Menanggapi keinginan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi agar semua urusan terkait desa diserahkan, Tjahjo mengatakan pihaknya menunggu keputusan dari Presiden. Menurut dia, nasib urusan desa terkait pemerintahan apakah akan berada di Kemendagri atau di Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi sepenuhnya berada di tangan Presiden.
“Kita tunggu keppresnya, ini sedang dibahas di Kemenpan-RB. Kami taat dan patuh terhadap apa yang diputuskan Bapak Presiden, apa yang dipersiapkan Kemenpan-RB, nomenklatur,” ungkapnya. Dia juga membantah bahwa persoalan nomenklatur dilatarbelakangi perebutan anggaran desa yang jumlahnya sangat besar.
Menurut dia, dalam hal anggaran, dana untuk desa sama sekali tidak melalui Kemendagri. Sebelumnya DPP PKB mendesak agar Presiden Joko Widodo segera mengalihkan kewenangan pengelolaan desa kepada kementerian desa, PDT, dan Transmigrasi. Molornya penataan desa bisa berdampak buruk pada pembangunan.
Dita angga
Molornya penataan tersebut bisa menghambat program pembangunan desa sebagaimana yang diamanahkan undang- undang. Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng mengatakan sumber dari ketidakjelasan nomenklatur desa disebabkan aturan yang dibuat Presiden Jokowi cenderungmendua.
Menurutdia, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 165/2014 memberikan ruang untuk tarik-menarik terkait dengan urusan desa. “Jokowi harus tegas mengenai nomenklatur desa. Jangan dibiarkan berlarut-larut karena akan mengganggu jalannya pemerintahan,” ujar Direktur Eksekutif Komite Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng kepada KORAN SINDO kemarin.
Lebih lanjut dia mengatakan, pada Perpres 165/2015 Pasal 6 disebutkan bahwa Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi memimpin serta mengoordinasikan penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang desa yang meliputi kelembagaan dan pelatihan masyarakat desa, pemberdayaan adat dan sosial budaya masyarakat desa, usaha ekonomi masyarakat desa, serta sumber daya alam dan teknologi tepat guna perdesaan yang dilaksanakan Kementerian Dalam Negeri.
“Aturan tersebut langsung merujuk pada urusan-urusan di desa. Kementerian Desa serasa kontraktor proyek nasional di desa. Tidak ada disebutkan kementerian itu menjadi koordinator kebijakan nasional tentang desa. Maka dari itu tidak bisa disalahkan jika masih ada tarik-menarik tentang nomenklatur ini,” ujar dia.
Menurut dia, akan lebih baik jika Presiden Jokowi melakukan revisi atas peraturan tersebut. Hal ini perlu dilakukan sebagai langkah mengakhiri ketidakjelasan nasib nomenklatur desa. Apalagi adanya permasalahan ini memperlihatkan adanya aroma kontestasi sektoral. “Saya melihat menteri desa meminta teman-teman PKB maju. Aroma kontestasi di dalam pemerintah cukup kental. Kuncinya ada di Jokowi karena bentuknya peraturan presiden. Ini seperti persaingan antarkementerian,” ujarnya.
Endi menilai jika pemerintahan Jokowi konsisten menjalankan UU Desa dan program Nawacitanya untuk membangun dari desa, seharusnya segala urusan desa diserahkan kepada Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi. Apalagi semangat UU Desa mengurangi intervensi pemda ke desa. “UU Desa jelas ada di Kementerian Desa. Jadi semua urusan ada di kementerian terkait. Bahwa penyalurannya di rekening daerah dan pusat, itu hanya persoalan administrasi,” katanya.
Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasan mengatakan sudah memprediksi bakal terjadinya tarik-menarik kepentingan. Menurut dia, Kemendagri tidak tulus melepaskan kewenangan desa ke Kemen-terian Desa, PDT, dan Transmigrasi. “Publik perlu mafhum bahwa berlarutnya penyusunan SOTK ini karena tarik-menarik kepentingan antarelite partai politik. PDI Perjuangan dan NasDem berkepentingan agar sebagian urusan desa, khususnya urusan pemerintahan desa, tetap ditangani Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri),” ujarnya.
Adapun Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, tambah dia, berpedoman pada UU Desa yang menegaskan agar urusan desa ditangani secara holistis oleh Menteri Desa sebagai kementerian yang dibentuk secara khusus untuk menangani implementasi UU Desa.
“Perlu diingat bahwa selama puluhan tahun, desa di bawah Kemendagri telah menjadi alas kaki kekuasaan penopang kekuasaan pemerintah tanpa otonomi yang jelas. Kemendagri, khususnya Direktorat Jenderal PMD, juga telah menjadi agen pemberdayaan kemiskinan yang terus-menerus menggunakan kemiskinan sebagai komoditas tanpa penyelesaian serius,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan pihaknya tetap menginginkan urusan pemerintahan desa berada di bawah kementeriannya. Pasalnya urusan penyelenggaraan pemerintahan desa lebih tepat berada di Kemendagri. “Sekarang kalau di media ada pemred, redpel, reporter. Itu kan satu mata rantai. Sekarang kalau pemred, redpel, reporter lalu reporternya tidak di bawah koordinasi redpel, tapi di bawah bagian pemasaran bagaimana? Tidak nyambung,” ujar dia.
Menanggapi keinginan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi agar semua urusan terkait desa diserahkan, Tjahjo mengatakan pihaknya menunggu keputusan dari Presiden. Menurut dia, nasib urusan desa terkait pemerintahan apakah akan berada di Kemendagri atau di Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi sepenuhnya berada di tangan Presiden.
“Kita tunggu keppresnya, ini sedang dibahas di Kemenpan-RB. Kami taat dan patuh terhadap apa yang diputuskan Bapak Presiden, apa yang dipersiapkan Kemenpan-RB, nomenklatur,” ungkapnya. Dia juga membantah bahwa persoalan nomenklatur dilatarbelakangi perebutan anggaran desa yang jumlahnya sangat besar.
Menurut dia, dalam hal anggaran, dana untuk desa sama sekali tidak melalui Kemendagri. Sebelumnya DPP PKB mendesak agar Presiden Joko Widodo segera mengalihkan kewenangan pengelolaan desa kepada kementerian desa, PDT, dan Transmigrasi. Molornya penataan desa bisa berdampak buruk pada pembangunan.
Dita angga
(bbg)