Melindungi Kemajemukan Umat Beragama

Senin, 05 Januari 2015 - 14:35 WIB
Melindungi Kemajemukan Umat Beragama
Melindungi Kemajemukan Umat Beragama
A A A
EKSPEKTASI publik cukup tinggi begitu Presiden Joko Widodo mengumumkan susunan kabinet, dan Lukman Hakim Saifuddin kembali ditunjuk sebagai menteri agama.

Jabatan yang diembannya beberapa bulan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono cukup dirasakan kehadirannya, terutama dalam hal komitmen mewujudkan harmoni antarumat beragama dan pembenahan penyelenggaraan haji. Berikut petikan wawancara KORAN SINDO dengan Lukman Hakim Saifuddin.

Publik begitu menaruh harapan besar terkait harmoni umat beragama. Bagaimana Anda memenuhi harapan itu?

Khusus yang terkait kerukunan, ini salah satu misi Kementerian Agama. Jadi selain misi meningkatkan kualitas kehidupan keagamaan, meningkatkan kualitas pendidikan, juga tingkatkan kualitas kerukunan.

Dan yang ketiga (meningkatkan kualitas kerukunan) dilakukan dengan berbagai cara. Awal saya di Kemenag, untuk yang utama masalahnya terkait regulasi, atau setidaknya persepsi kita terhadap regulasi yang ada belum sama. Makanya saya mencoba dengan berbagai kalangan, tokoh agama, majelis keagamaan, melakukan diskusi grup, yang kesimpulannya ada kebutuhan membuat RUU Perlindungan Antar Umat Beragama.

Tetapi wacana itu sudah pernah ada, dan ada penolakan. Adakah hal baru yang menguatkan RUU tersebut?

Dulu memang ada RUU Kerukunan, ya memang ditolak karena kesannya kok tidak rukun. Padahal, substansi yang dibutuhkan adalah perlindungannya. Makanya yang disiapkan adalah RUU Perlindungan.

Perlu UU yang bisa menjabarkan konstitusi terkait perlindungan umat beragama, karena sekarang belum memadai, baru mengatur tentang penistaan agama, itu pun UU sejak 1965, yang konteksnya seseorang tidak boleh sampaikan ke publik hal yang menyimpang dari pokok-pokok agama. Padahal isu terkait kerukunan dan perlindungan itu kan banyak. Sekarang kecenderungannya karena kebebasan, sosial media, dalam penyiaran agama ada yang provokatif dan menjelekkan satu sama lain yang akan menimbulkan gesekan. Ini perlu diatur.

Penjabarannya seperti apa?

Jangan sampai aturan itu nanti alih-alih melindungi, tetapi yang terjadi adalah dominasi mayoritas atas minoritas. Itu yang ditekankan, dan saya cermati betul jangan sampai itu terjadi. Jadi yang diperlukan adalah UU Perlindungan, itu yang semakin dibutuhkan. Seperti rumah ibadah, ada persepsi itu sebagai tempat ibadah. Kalau bentuknya rumah/bangunan, ini menjadi domain siapa?

Kalau ibadahnya tentu Kementerian Agama, tetapi kalau rumah itu kan harusnya kewenangan daerah, karena menyangkut izin IMB dan lain sebagainya. Ini yang masyarakat masih beda persepsi, antartokoh beda, dan aparat penegak hukum pun beda, sehingga ada kegamangan.

Sekarang yang terjadi selain antarumat, juga internal umat sering terjadi persoalan, bagaimana Kemenag menyikapinya?

Kemenag ini kan khas Indonesia, meski bukan negara Islam, Indonesia juga bukan negara sekuler yang memisahkan secara tegas relasi agama dengan negara. Indonesia menjunjung tinggi nilai agama dalam aktivitas kemasyarakatan kita, termasuk dalam bernegara. Makanya ruang lingkup negara seperti pengadilan, nilai agama juga masuk.

Jadi Kemenag ini adalah jaminan bahwa umat beragama menjadi tanggung jawab negara dalam hal pelayanan, pembinaan, dan perlindungan. Nah, sekarang yang mendapatkan itu hanya yang enam saja (agama yang diakui keabsahannya olehnegara), lalu bagaimana di luar yang enam?

Mereka menganggap tidak mendapatkan kehadiran negara. Mereka merasadidiskriminasi. Padahal negara berkewajiban memberikan itu. Melalui UU itulah nanti mereka diatur agar siapapun umat beragama juga mendapatkan pelayanan, perlindungan, dan pembinaan dari negara.

Bagaimana Anda melihatdan menyikapi radikalisme yang cenderung ada peningkatan?

Itu memang sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Globalisasi dan arus informasi tidak bisa lagi kita mencegah dengan melarang. Yang diperlukan adalah membentengi kita dengan paham keagamaan yang sesuai karakteristik keagamaan kita, yaitu beragama yang rahmatan lilalamin, ahlu sunah wal jamaah, yang plural, dan yang menghargai nilai tradisi.

Itu yang harus kita tanamkan, sehingga ketika ada yang masuk dan itu di luar corak kebangsaan kita, maka kita tidak akan terpengaruh. Dulu itu Islam dakwahnya adalah mengajak orang untuk berislam, untuk beragama dengan kepasrahan. Tetapi sekarang mengafirkan yang sudah Islam.

Tugas berat Anda sebagai menag juga membenahi persoalan penyelenggaraan haji ?

Masalah haji ini, yang paling dirasakan oleh masyarakat adalah daftar tunggu yang lama sekali. Kemenag saat ini sedang melakukan reformasi pada tiga tingkatan, yakni pendaftaran, reformasi fasilitas dan pelayanan di dalam negeri, dan reformasi pelayanan diluar negeri. Untuk pendaftaran yang kini daftar tunggunya lama, salah satunya karena kuota kita terbatas, sehingga kita harus menerapkan prinsip dasar keadilan.

Dan itu mulai penyelenggaraan haji tahun 2014 sudah terapkan, di mana tidak ada satu pun kuota yang digunakan bukan oleh pemiliknya. Hanya petugas dan calon jamaah saja yang bisa berangkat. Tak seperti sebelumnya. Keadilan itu bisa tegak kalau ada transparansi. Makanya, ke depan saya ingin semuanya bisa mengakses.

Kalau ada yang meninggal penggantinya siapa bisa dilihat secara jelas. Kalau dulu kan bisa dengan kenalannya si anu dan si itu. Ini masih transisi, tetapi nanti semuanya harus transparan.

Rahmat sahid/Hojin/ Khoirul muzakki/a Hakim
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6027 seconds (0.1#10.140)