Dedikasi demi Kedigdayaan Sumber Pangan
A
A
A
Menyebut diri sebagai pelayan budaya makanan Nusantara, Lisa Virgiano mengabdikan diri untuk kelestarian serta keberlangsungan makanan asli Indonesia.
Alumnus Malmo Hogskola, Swedia ini berupaya mempromosikan kuliner dan budaya Nusantara hingga level internasional. elain itu, Lisa juga menjadi pendidik petani kopi di lereng Merapi secara sukarela. Tujuannya membantu para petani kopi mencapai kehidupan lebih sejahtera dengan memahami apa dan bagaimana menjaga yang sudah mereka tanam.
Itu semua merupakan bagian dari citacita Lisa, yakni mewujudkan kedigdayaan sumber pangan bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana caranya? Berikut kutipan wawancara KORAN SINDO dengan peraih penghargaan L’Oreal Paris Women of Worth Indonesia 2014 ini:
Mengapa Anda menyebut diri sebagai “Pelayan Budaya Makanan Nusantara”?
Sejujurnya, saya masih bingung menjelaskan pekerjaan yang saya lakoni saat ini. Persoalannya, profesi yang lekat di benak orang di dunia kuliner sebatas pemilik restoran dan juru masak. Kemudian, saya melihat bahwa budaya Nusantara memerlukan banyak orang untuk mempromosikan dan melestarikannya.
Orang-orang tersebut harus memiliki jiwa “melayani” agar budaya Nusantara tak sekadar dikenal dan dipahami saja, tapi juga terlindungi dari efek negatif yang ditimbulkan lewat kegiatan pelestarian dan promosi itu sendiri. Oleh karenanya diperlukan jiwa-jiwa tanpa pamrih, kerendahan hati, dan penuh cinta untuk mau “melayani” budaya.
Bukan justru melihat budaya sebagai komoditas perdagangan atau trofi yang seksi dipandang. Jiwa pelayanan tanpa pamrih inilah yang bisa membuat budaya memiliki kedigdayaan dan kejayaan yang seutuhnya, yang tidak luntur dimakan tren zaman. Saya ingin orang mengenal saya sebagai seorang pelayan dan pengabdi budaya makanan Indonesia.
Sebagai “pelayan”, apa saja kegiatan Anda?
Wah beragam sekali, mulai dari membangun jiwa kritis asal-muasal sebuah budaya makanan serta faktorfaktor pendukungnya, berdialog dan melakukan penelitian untuk verifikasi informasi di lapangan. Juga mempromosikan fakta temuan mengenai budaya makanan Nusantara kepada banyak penikmat makanan lewat serangkaian acara cita rasa, konferensi internasional, komunitas peduli pangan lokal, dan menjalin hubungan dengan pelaku industri yang memiliki visi dalam melestarikan nilai-nilai budaya makanan Nusantara.
Apa yang membuat Anda ingin melestarikan makanan Nusantara?
Sederhana saja, karena saya orang Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, saya merasa punya tanggung jawab sosial untuk berbakti dan berbuat lebih bagi bangsa. Secara pribadi, saya suka sekali makanan. Oleh karena itu, saya pikir pasti ada sesuatu yang bisa saya lakukan untuk Indonesia sesuai dengan passion saya, yaitu makanan.
Saya sadar betul bangsa kita dijajah bukan karena minyak bumi, uranium, atau persoalan politik, melainkan rempahrempah. Bangsa Barat saja mengincar rempah-rempah hingga menyulut perang selama 350 tahun. Maka akan sangat rugi jika kita tidak memiliki kepedulian akan bumbu-bumbu dapur yang bangsa ini miliki.
Apalagi sekarang restoran siap saji dan bumbu instan makin marak ditemukan, bahkan di pedesaan. Apa yang saya lakukan ini beranjak dari kesukaan. Melalui hal-hal kecil dan sederhana, saya berharap bisa menjaga kelestarian dan keberlangsungan makanan Indonesia. Saya ingin agar makanan Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Mengapa makanan, padahal latar belakang akademis Anda bukan masak-memasak?
Sejak kecil saya memang gemar makan. Seiring beranjak dewasa dan kerap berkunjung ke berbagai daerah, saya menyadari Indonesia begitu kaya dengan makanan dan alamnya. Saya juga percaya bahwa makanan merupakan bahasa pemersatu yang bisa menjembatani tali persaudaraan dan membangun pemahaman antarmanusia lewat interaksi sosial yang tercipta melalui cita rasa.
Ada banyak penikmat makanan di Indonesia, namun hanya sedikit dari mereka yang memiliki pemahaman bijak mengenai makna makanan dan ruang lingkup yang mempengaruhinya. Dengan menikmati makanan bersama, saya berharap pemahaman yang utuh tentang makna sebuah makanan dapat direnungi kembali.
Apa tantangan terbesar yang Anda hadapi saat menggeluti bidang ini?
Tantangan terbesar datang karena saya bukan seorang yang berlatar belakang pendidikan di dunia masakmemasak. Saya juga bukan seorang chef atau pemilik restoran. Saya pun tidak belajar memasak secara profesional.
Justru tantangan tersebut yang memicu saya untuk terus menggali kekayaan kuliner, khususnya kuliner Indonesia. Bagi saya, mengerjakan sesuatu yang dikuasai dan berhasil merupakan sebuah kewajaran. Namun jika sukses mengerjakan sesuatu di luar bidang yang dikuasai, adalah suatu keajaiban.
Oleh karena itu, Anda kerap melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia untuk menggali kuliner setempat?
Jika ada waktu luang atau ada undangan dari warga setempat, saya akan berkunjung. Selain mencicipi kuliner khas setempat, saya kerap kali bertukar pikiran dengan para anak muda lokal mengenai potensi makanan Indonesia dan menengok aktivitas para warga saat memasak. Di sana, saya melihat besarnya pengaruh makanan dalam keseharian.
Seperti cara mereka tetap menjaga tradisi masakan serta keutuhan dan ketahanan pangan mereka. Selain itu, saya juga mengamati dan mempelajari seluk beluk pertanian, perkebunan, dan perikanan hingga jalur distribusinya karena makanan kita berasal dari mereka. Tanpa mengetahui hal seperti itu, sulit rasanya memahami makna utuh sebuah makanan yang tersaji.
Anda juga membantu petani kopi di lereng Merapi untuk lebih menyejahterakan kehidupan mereka. Bagaimana ceritanya?
Saya ingin membangun kepercayaan diri para petani dan nelayan di seluruh Indonesia bahwa mereka bisa hidup sejahtera dengan bertani atau melaut. Saya percaya bahwa menjaga budaya bisa dengan cara menghargai rasa dari makanan khas negara sendiri. Tiga tahun terakhir, saya membantu dan mendidik para petani kopi di lereng Merapi untuk mencapai hidup sejahtera.
Caranya, membuat mereka memahami apa yang ditanam serta mendapatkan kualitas yang baik dengan memanfaatkan alam dalam kegiatan pertanian. Sekarang harga kopi yang dihasilkan para petani di lereng Merapi mencapai Rp60.000 per kilogram, padahal dua tahun lalu harganya Rp20.000 per kilogram.
Saya ingin membawa masyarakat Indonesia memiliki kapabilitas dan keunggulan di dalam aspek sumber pangan, mempunyai sumber makanan berkualitas, dapat memproduksi pangan artisanal Indonesia yang bisa menyebar dan dikonsumsi oleh warga dunia. Dengan demikian, para petani, peternak, dan nelayan di Tanah Air bisa memiliki kesejahteraan independen.
Apa saja yang bisa kita lakukan untuk menjaga kelestarian makanan asli Indonesia?
Kita sendiri harus mau tahu esensi masakan Indonesia seperti apa. Jika sekadar tahu kulitnya saja, akan sulit untuk meneruskan warisan kuliner bangsa kepada anak-cucu kita. Cara yang paling mudah adalah menyisihkan waktu setidaknya seminggu sekali untuk memasak.
Kita pergi ke pasar tradisional, mengenal bumbu dapur asli Indonesia, dan memasaknya di rumah untuk kemudian dinikmati bersama keluarga. Memasak makanan Indonesia itu layaknya sebuah seni, di mana waktu adalah segalanya. Tidak bisa terburu-buru, tidak bisa ingin cepat matang, karena semua ada prosesnya.
Untuk sebuah proses pelestarian dibutuhkan kesinambungan antara pengayaan wawasan berbasis pengetahuan dasar, pengembangan teknologi teknik konservasi terkini, serta pemanfaatan objek pelestarian dengan dukungan promosi dan komunikasi.
Apa target jangka panjang dari yang Anda lakukan saat ini?
Saya ingin memiliki centre of excellence di bidang kuliner Indonesia, yaitu sebuah tempat bermuatan budaya bangsa dengan standar internasional. Wadah yang menjadi tujuan para juru masak muda dari seluruh dunia untuk menimba ilmu dan mengenal budaya kuliner Indonesia.
Para juru masak ini akan belajar langsung dari para ibu yang piawai mengolah makanan khas daerah masing-masing sambil menikmati indahnya Indonesia. Ketika juru masak tersebut kembali ke negaranya, mereka sudah memiliki bekal dasar pengenalan tentang masakan Indonesia dan diharapkan dapat mengembangkannya dengan sentuhan modern di banyak negara.
Ema malini
Alumnus Malmo Hogskola, Swedia ini berupaya mempromosikan kuliner dan budaya Nusantara hingga level internasional. elain itu, Lisa juga menjadi pendidik petani kopi di lereng Merapi secara sukarela. Tujuannya membantu para petani kopi mencapai kehidupan lebih sejahtera dengan memahami apa dan bagaimana menjaga yang sudah mereka tanam.
Itu semua merupakan bagian dari citacita Lisa, yakni mewujudkan kedigdayaan sumber pangan bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana caranya? Berikut kutipan wawancara KORAN SINDO dengan peraih penghargaan L’Oreal Paris Women of Worth Indonesia 2014 ini:
Mengapa Anda menyebut diri sebagai “Pelayan Budaya Makanan Nusantara”?
Sejujurnya, saya masih bingung menjelaskan pekerjaan yang saya lakoni saat ini. Persoalannya, profesi yang lekat di benak orang di dunia kuliner sebatas pemilik restoran dan juru masak. Kemudian, saya melihat bahwa budaya Nusantara memerlukan banyak orang untuk mempromosikan dan melestarikannya.
Orang-orang tersebut harus memiliki jiwa “melayani” agar budaya Nusantara tak sekadar dikenal dan dipahami saja, tapi juga terlindungi dari efek negatif yang ditimbulkan lewat kegiatan pelestarian dan promosi itu sendiri. Oleh karenanya diperlukan jiwa-jiwa tanpa pamrih, kerendahan hati, dan penuh cinta untuk mau “melayani” budaya.
Bukan justru melihat budaya sebagai komoditas perdagangan atau trofi yang seksi dipandang. Jiwa pelayanan tanpa pamrih inilah yang bisa membuat budaya memiliki kedigdayaan dan kejayaan yang seutuhnya, yang tidak luntur dimakan tren zaman. Saya ingin orang mengenal saya sebagai seorang pelayan dan pengabdi budaya makanan Indonesia.
Sebagai “pelayan”, apa saja kegiatan Anda?
Wah beragam sekali, mulai dari membangun jiwa kritis asal-muasal sebuah budaya makanan serta faktorfaktor pendukungnya, berdialog dan melakukan penelitian untuk verifikasi informasi di lapangan. Juga mempromosikan fakta temuan mengenai budaya makanan Nusantara kepada banyak penikmat makanan lewat serangkaian acara cita rasa, konferensi internasional, komunitas peduli pangan lokal, dan menjalin hubungan dengan pelaku industri yang memiliki visi dalam melestarikan nilai-nilai budaya makanan Nusantara.
Apa yang membuat Anda ingin melestarikan makanan Nusantara?
Sederhana saja, karena saya orang Indonesia. Sebagai warga negara Indonesia, saya merasa punya tanggung jawab sosial untuk berbakti dan berbuat lebih bagi bangsa. Secara pribadi, saya suka sekali makanan. Oleh karena itu, saya pikir pasti ada sesuatu yang bisa saya lakukan untuk Indonesia sesuai dengan passion saya, yaitu makanan.
Saya sadar betul bangsa kita dijajah bukan karena minyak bumi, uranium, atau persoalan politik, melainkan rempahrempah. Bangsa Barat saja mengincar rempah-rempah hingga menyulut perang selama 350 tahun. Maka akan sangat rugi jika kita tidak memiliki kepedulian akan bumbu-bumbu dapur yang bangsa ini miliki.
Apalagi sekarang restoran siap saji dan bumbu instan makin marak ditemukan, bahkan di pedesaan. Apa yang saya lakukan ini beranjak dari kesukaan. Melalui hal-hal kecil dan sederhana, saya berharap bisa menjaga kelestarian dan keberlangsungan makanan Indonesia. Saya ingin agar makanan Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Mengapa makanan, padahal latar belakang akademis Anda bukan masak-memasak?
Sejak kecil saya memang gemar makan. Seiring beranjak dewasa dan kerap berkunjung ke berbagai daerah, saya menyadari Indonesia begitu kaya dengan makanan dan alamnya. Saya juga percaya bahwa makanan merupakan bahasa pemersatu yang bisa menjembatani tali persaudaraan dan membangun pemahaman antarmanusia lewat interaksi sosial yang tercipta melalui cita rasa.
Ada banyak penikmat makanan di Indonesia, namun hanya sedikit dari mereka yang memiliki pemahaman bijak mengenai makna makanan dan ruang lingkup yang mempengaruhinya. Dengan menikmati makanan bersama, saya berharap pemahaman yang utuh tentang makna sebuah makanan dapat direnungi kembali.
Apa tantangan terbesar yang Anda hadapi saat menggeluti bidang ini?
Tantangan terbesar datang karena saya bukan seorang yang berlatar belakang pendidikan di dunia masakmemasak. Saya juga bukan seorang chef atau pemilik restoran. Saya pun tidak belajar memasak secara profesional.
Justru tantangan tersebut yang memicu saya untuk terus menggali kekayaan kuliner, khususnya kuliner Indonesia. Bagi saya, mengerjakan sesuatu yang dikuasai dan berhasil merupakan sebuah kewajaran. Namun jika sukses mengerjakan sesuatu di luar bidang yang dikuasai, adalah suatu keajaiban.
Oleh karena itu, Anda kerap melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia untuk menggali kuliner setempat?
Jika ada waktu luang atau ada undangan dari warga setempat, saya akan berkunjung. Selain mencicipi kuliner khas setempat, saya kerap kali bertukar pikiran dengan para anak muda lokal mengenai potensi makanan Indonesia dan menengok aktivitas para warga saat memasak. Di sana, saya melihat besarnya pengaruh makanan dalam keseharian.
Seperti cara mereka tetap menjaga tradisi masakan serta keutuhan dan ketahanan pangan mereka. Selain itu, saya juga mengamati dan mempelajari seluk beluk pertanian, perkebunan, dan perikanan hingga jalur distribusinya karena makanan kita berasal dari mereka. Tanpa mengetahui hal seperti itu, sulit rasanya memahami makna utuh sebuah makanan yang tersaji.
Anda juga membantu petani kopi di lereng Merapi untuk lebih menyejahterakan kehidupan mereka. Bagaimana ceritanya?
Saya ingin membangun kepercayaan diri para petani dan nelayan di seluruh Indonesia bahwa mereka bisa hidup sejahtera dengan bertani atau melaut. Saya percaya bahwa menjaga budaya bisa dengan cara menghargai rasa dari makanan khas negara sendiri. Tiga tahun terakhir, saya membantu dan mendidik para petani kopi di lereng Merapi untuk mencapai hidup sejahtera.
Caranya, membuat mereka memahami apa yang ditanam serta mendapatkan kualitas yang baik dengan memanfaatkan alam dalam kegiatan pertanian. Sekarang harga kopi yang dihasilkan para petani di lereng Merapi mencapai Rp60.000 per kilogram, padahal dua tahun lalu harganya Rp20.000 per kilogram.
Saya ingin membawa masyarakat Indonesia memiliki kapabilitas dan keunggulan di dalam aspek sumber pangan, mempunyai sumber makanan berkualitas, dapat memproduksi pangan artisanal Indonesia yang bisa menyebar dan dikonsumsi oleh warga dunia. Dengan demikian, para petani, peternak, dan nelayan di Tanah Air bisa memiliki kesejahteraan independen.
Apa saja yang bisa kita lakukan untuk menjaga kelestarian makanan asli Indonesia?
Kita sendiri harus mau tahu esensi masakan Indonesia seperti apa. Jika sekadar tahu kulitnya saja, akan sulit untuk meneruskan warisan kuliner bangsa kepada anak-cucu kita. Cara yang paling mudah adalah menyisihkan waktu setidaknya seminggu sekali untuk memasak.
Kita pergi ke pasar tradisional, mengenal bumbu dapur asli Indonesia, dan memasaknya di rumah untuk kemudian dinikmati bersama keluarga. Memasak makanan Indonesia itu layaknya sebuah seni, di mana waktu adalah segalanya. Tidak bisa terburu-buru, tidak bisa ingin cepat matang, karena semua ada prosesnya.
Untuk sebuah proses pelestarian dibutuhkan kesinambungan antara pengayaan wawasan berbasis pengetahuan dasar, pengembangan teknologi teknik konservasi terkini, serta pemanfaatan objek pelestarian dengan dukungan promosi dan komunikasi.
Apa target jangka panjang dari yang Anda lakukan saat ini?
Saya ingin memiliki centre of excellence di bidang kuliner Indonesia, yaitu sebuah tempat bermuatan budaya bangsa dengan standar internasional. Wadah yang menjadi tujuan para juru masak muda dari seluruh dunia untuk menimba ilmu dan mengenal budaya kuliner Indonesia.
Para juru masak ini akan belajar langsung dari para ibu yang piawai mengolah makanan khas daerah masing-masing sambil menikmati indahnya Indonesia. Ketika juru masak tersebut kembali ke negaranya, mereka sudah memiliki bekal dasar pengenalan tentang masakan Indonesia dan diharapkan dapat mengembangkannya dengan sentuhan modern di banyak negara.
Ema malini
(bbg)