Januari
A
A
A
Jarum detik jam dinding melintasi angka 12. Orang-orang meniup terompet, berteriak, dan bertepuk tangan. Mereka merasa telah melewati tahun lama, 2014. Pesta diadakan agar tahun berlalu sebagai nostalgia.
Pesta juga untuk menumpahkan harapan dan semangat saat mengalami tahun baru, diakui berbeda dengan hari-hari kemarin. Jam telah berganti angka, bergerak terus tanpa lelah. Kalender di dinding dan meja telah berganti judul: 2015. Halaman pertama bernama Januari. Jam dan kalender masih panutan waktu. Kita pun mengerti bahwa waktu memerlukan penjelasan angka dan kata.
Waktu berlanjut menjadi peristiwa, tokoh, dan cerita. Bagi Joko Pinurbo, waktu adalah kata terjalin sebagai puisi. Kita simak puisi berjudul Meditasi Jam (1990), dua bait mengenai waktu dan kata: Ziarah sepanjang waktu/ mengitari lingkaran bisu/ Kata demi kata tak habis diburu/Saban kali terasa asing dan baru.
Pujangga mengalami waktu dengan kata. Waktu memang berlalu, tapi kata-kata masih memungkinkan untuk mengerti diri. Meditasi itu tak berlaku dalam puisi gubahan Dina Octaviani berjudul Prosa Tahun Baru (2006). Puisi mengandung sikap mengalami waktu untuk “pengakuan dosa” dan kangen.
Kita simak: saya tak akan sempat meniup terompet/ atau menyalakan lilin malam ini/ tapi tolong percayalah, saya telah membuat/ semacam pengakuan dosa lewat semacam surat cinta/ yang saya akhiri dengan cap bibir hitam gemetaran. Pergantian waktu malah memunculkan adegan dramatis, perasaan-perasaan menjadi pertaruhan meski getir.
Di ujung puisi, pembaca semakin berhadapan kemauan manusia mengartikan waktu. Dina Octaviani menulis: saya akan hancur dalam kangen/ yang menyayat ribuan tahun baru ini/ yang membuatmu selalu mampu menguraikan saya/ bahkan jika saya pernah sampai kepadamu. Berperistiwa dalam waktu tak ingin menghilangkan diri dengan kehancuran, tapi berharap terpenuhi cerita bertaburan makna. Hari pun berganti. Tahun baru tak bisa ditolak.
Peristiwa dan makna saat tahun lama mungkin tak terpenuhi. Diri telah berada dalam waktu melaju , tak bisa kembali ke kemarin. W a k t u masih mengandung pengertian diri dan peristiwa melalui puisi berjudul Hari Pun Tiba (1967) gubahan Sapardi Djoko Damono. Puisi apik dan menjauhi klise: hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa/ kita berkemas sementara djarum djam melewati angka-angka... tiba-tiba terasa kita tak sangg up menjelesaikan kata/tibatiba terasa bahwa hanja tersisa gema/ sewaktu hari pun merapat/ djarum djam hibuk membilang saat-saat terlambat.
Kita selalu berkemas. Waktu tak mau menunggu. Kita harus bergerak jika tak mau ditinggalkan waktu, memberi sesalan dan kemustahilan pengulangan. Tahun telah berganti angka. Judul bulan awal adalah Januari. Hari pun tiba untuk membedakan dengan kemari. Waktu tak rampung dimaknai dengan pelbagai doa dan halhal tak tergapai. Desember berpamit untuk selesai. Kita mengalami Januari.
Octavio Paz, pujangga asal Meksiko, mengingatkan kita dengan puisi berjudul Januari Pertama . Puisi tentang waktu: Tadi malam kau bilang padaku:/besok, kami harus menemukan isyarat-isyarat,/ menggambar sebuah pemandangan,/membuat rancangan/ di halaman ganda/ hari dan kertas/Besok, kita mesti menjumpai,/sekali lagi/ kenyataan dunia ini. Kita memasuki Januari, berikhtiar terus memberi arti meski tak sampai tuntas. Ikhtiar menulis waktu oleh para pujangga menghendaki ada acuan menggunakan nama.
Januari adalah nama bulan. Bagi pujangga, Januari dimungkinkan menjadi pusat pengisahan tentang segala hal. Bermula dari nama, pujangga menata kata untuk berbagi cerita tentang manusia, asmara, kesibukan, keseharian, tempat, dan keadaan. Januari dalam puisi pernah digoda dengan pemaknaan Januari dalam lagu-lagu.
Kita bisa turut mengenang Januari melalui lagu-lagu dilantunkan oleh Iwan Fals, Glenn Fredly, dan Gigi. Januari adalah sentimentalitas dan sedih dalam lirik lagu Glenn: “.... berakhir di Januari.” Bagi Iwan Fals, Januari adalah jejak kronologis pertemuan dan jalinan asmara. Kita tentu mengerti ekspresi perasaan asmara itu melalui lagu berjudul 22 Januari.
Tahun berganti tahun, Gigi turut mengisahkan asmara berkonteks Januari. Kita bisa mengutip lirik lagu berjudul 11 Januari , lirik untuk kaum pencinta: “11 Januari bertemu...” Lagu-lagu berkisah Januari sering lebih moncer ketimbang puisi-puisi. Kita tak ingin mengadu puisi dan lagu. Dua hal memang berbeda.
Kita cuma ingin ada ajakan agar mengenang dan mengisahkan Januari tak melulu ke lagu. Kita masih bisa melacak kerja para pujangga menggubah puisi untuk mengisahkan Januari. Puisi memang milik kaum tak ramai, tapi memberi rangsangan agar Januari tak terlupakan atau terlewati dengan sia-sia. Begitu.
Bandung mawardi
Pengelola Jagat Abjad Solo
Pesta juga untuk menumpahkan harapan dan semangat saat mengalami tahun baru, diakui berbeda dengan hari-hari kemarin. Jam telah berganti angka, bergerak terus tanpa lelah. Kalender di dinding dan meja telah berganti judul: 2015. Halaman pertama bernama Januari. Jam dan kalender masih panutan waktu. Kita pun mengerti bahwa waktu memerlukan penjelasan angka dan kata.
Waktu berlanjut menjadi peristiwa, tokoh, dan cerita. Bagi Joko Pinurbo, waktu adalah kata terjalin sebagai puisi. Kita simak puisi berjudul Meditasi Jam (1990), dua bait mengenai waktu dan kata: Ziarah sepanjang waktu/ mengitari lingkaran bisu/ Kata demi kata tak habis diburu/Saban kali terasa asing dan baru.
Pujangga mengalami waktu dengan kata. Waktu memang berlalu, tapi kata-kata masih memungkinkan untuk mengerti diri. Meditasi itu tak berlaku dalam puisi gubahan Dina Octaviani berjudul Prosa Tahun Baru (2006). Puisi mengandung sikap mengalami waktu untuk “pengakuan dosa” dan kangen.
Kita simak: saya tak akan sempat meniup terompet/ atau menyalakan lilin malam ini/ tapi tolong percayalah, saya telah membuat/ semacam pengakuan dosa lewat semacam surat cinta/ yang saya akhiri dengan cap bibir hitam gemetaran. Pergantian waktu malah memunculkan adegan dramatis, perasaan-perasaan menjadi pertaruhan meski getir.
Di ujung puisi, pembaca semakin berhadapan kemauan manusia mengartikan waktu. Dina Octaviani menulis: saya akan hancur dalam kangen/ yang menyayat ribuan tahun baru ini/ yang membuatmu selalu mampu menguraikan saya/ bahkan jika saya pernah sampai kepadamu. Berperistiwa dalam waktu tak ingin menghilangkan diri dengan kehancuran, tapi berharap terpenuhi cerita bertaburan makna. Hari pun berganti. Tahun baru tak bisa ditolak.
Peristiwa dan makna saat tahun lama mungkin tak terpenuhi. Diri telah berada dalam waktu melaju , tak bisa kembali ke kemarin. W a k t u masih mengandung pengertian diri dan peristiwa melalui puisi berjudul Hari Pun Tiba (1967) gubahan Sapardi Djoko Damono. Puisi apik dan menjauhi klise: hari pun tiba. Kita berkemas senantiasa/ kita berkemas sementara djarum djam melewati angka-angka... tiba-tiba terasa kita tak sangg up menjelesaikan kata/tibatiba terasa bahwa hanja tersisa gema/ sewaktu hari pun merapat/ djarum djam hibuk membilang saat-saat terlambat.
Kita selalu berkemas. Waktu tak mau menunggu. Kita harus bergerak jika tak mau ditinggalkan waktu, memberi sesalan dan kemustahilan pengulangan. Tahun telah berganti angka. Judul bulan awal adalah Januari. Hari pun tiba untuk membedakan dengan kemari. Waktu tak rampung dimaknai dengan pelbagai doa dan halhal tak tergapai. Desember berpamit untuk selesai. Kita mengalami Januari.
Octavio Paz, pujangga asal Meksiko, mengingatkan kita dengan puisi berjudul Januari Pertama . Puisi tentang waktu: Tadi malam kau bilang padaku:/besok, kami harus menemukan isyarat-isyarat,/ menggambar sebuah pemandangan,/membuat rancangan/ di halaman ganda/ hari dan kertas/Besok, kita mesti menjumpai,/sekali lagi/ kenyataan dunia ini. Kita memasuki Januari, berikhtiar terus memberi arti meski tak sampai tuntas. Ikhtiar menulis waktu oleh para pujangga menghendaki ada acuan menggunakan nama.
Januari adalah nama bulan. Bagi pujangga, Januari dimungkinkan menjadi pusat pengisahan tentang segala hal. Bermula dari nama, pujangga menata kata untuk berbagi cerita tentang manusia, asmara, kesibukan, keseharian, tempat, dan keadaan. Januari dalam puisi pernah digoda dengan pemaknaan Januari dalam lagu-lagu.
Kita bisa turut mengenang Januari melalui lagu-lagu dilantunkan oleh Iwan Fals, Glenn Fredly, dan Gigi. Januari adalah sentimentalitas dan sedih dalam lirik lagu Glenn: “.... berakhir di Januari.” Bagi Iwan Fals, Januari adalah jejak kronologis pertemuan dan jalinan asmara. Kita tentu mengerti ekspresi perasaan asmara itu melalui lagu berjudul 22 Januari.
Tahun berganti tahun, Gigi turut mengisahkan asmara berkonteks Januari. Kita bisa mengutip lirik lagu berjudul 11 Januari , lirik untuk kaum pencinta: “11 Januari bertemu...” Lagu-lagu berkisah Januari sering lebih moncer ketimbang puisi-puisi. Kita tak ingin mengadu puisi dan lagu. Dua hal memang berbeda.
Kita cuma ingin ada ajakan agar mengenang dan mengisahkan Januari tak melulu ke lagu. Kita masih bisa melacak kerja para pujangga menggubah puisi untuk mengisahkan Januari. Puisi memang milik kaum tak ramai, tapi memberi rangsangan agar Januari tak terlupakan atau terlewati dengan sia-sia. Begitu.
Bandung mawardi
Pengelola Jagat Abjad Solo
(bbg)