PN Punya Daya Paksa Sita Aset Tutut
A
A
A
JAKARTA - Pengadilan negeri (PN) memiliki daya paksa untuk mengeksekusi atau menyita aset Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) mengingat putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam sengketa kepemilikan saham TPI telah berkekuatan hukum tetap.
Tidak ada alasan bagi pengadilan untuk tidak melakukan penyitaan aset jika Tutut nanti menolak mematuhi putusan BANI untuk membayar kerugian utang sebesar Rp510 miliar kepada PT Berkah Karya Bersama. “Pengadilan bisa memaksa Tutut untuk membayar atau melakukan penyitaan aset yang dimilikinya,” ungkap pakar hukum bisnis Frans Hendra Winata di Jakarta kemarin.
Frans menyatakan, nantinya dalam proses eksekusi, pengadilan sepenuhnya hanya menjalankan putusan BANI sehingga tidak ada kewenangan pengadilan untuk memuat perintah lain selain apa yang menjadi putusan badan arbitrase tersebut. Lebih lanjut Frans mengatakan, aset Tutut yang berhasil disita pengadilan nantinya bisa dilelang sebagai upaya menutupi utangnya terhadap PT Berkah.
Dia berpandangan, jika pengadilan tidak melakukan penyitaan aset, itu justru akan memperburuk citra peradilan. Apalagi diketahui hingga saat ini sudah hampir sebulan Tutut mengelak dari kewajibannya untuk menjalankan putusan arbitrase. Kendati ini hanya melibatkan para pihak yang bersengketa, sikap tegas pengadilan untuk melakukan penyitaan aset menjadi pertaruhan wibawa peradilan.
Frans menambahkan, jika PT Berkah sudah mendaftarkan putusan BANI ke pengadilan, perintah eksekusi harus segera dijatuhkan terhadap Tutut. Dia mengingatkan, layaknya vonis pengadilan, putusan BANI juga merupakan jalur penyelesaian sengketa yang diakui hukum negara sehingga para pihak wajib mematuhi apa yang menjadi ketetapan BANI.
“Putusan BANI sama tingginya dengan pengadilan dan bersifat final-binding (mengikat) sehingga tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan. Sebaiknya Tutut menerimanya dan melakukan semua kewajiban yang sudah diputuskan,” kata Frans. Menurut dia, tidak ada alasan bagi pihak Tutut menghindari keputusan BANI karena sebelumnya telah menyepakati untuk menyelesaikan melalui BANI jika dalam perjanjian kedua pihak ditemukan permasalahan di kemudian hari.
Frans juga mengingatkan, pada Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) telah mengatur bahwa jika para pihak telah memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa (party autonomy ), pengadilan negeri tidak diperbolehkan mengintervensi proses ini.
Sesuai putusan BANI, eksekusi terhadap Tutut itu berupa pengakuan atas 75% saham milik PT Berkah dan kewajiban Tutut membayar kelebihan bayar yang dilakukan PT Berkah. BANI menilai pihak Tutut terbukti melakukan iktikad buruk dan melanggar penjanjian bisnis karenanya dia diminta membayar kerugian utang sebesar Rp510 miliar kepada PT Berkah.
Tutut juga diwajibkan membayar Rp2,3 miliar sebagai bagian dari biaya sengketa di BANI yang ketika di awal sidang telah dibayarkan terlebih dahulu oleh PT Berkah sebesar Rp4,6 miliar. Setelah putusan BANI dijatuhkan pada 12 Desember 2014, kubu Tutut terkesan tidak mau menjalankan putusan arbitrase itu. Salah satu putusan BANI itu adalah Tutut bersalah karena dianggap melakukan wanprestasi atas surat kuasa yang telah diberikan kepada PT Berkah.
Putusan BANI dalam kasus sengketa kepemilikan saham TPI ini berbeda dengan putusan Mahkamah Agung (MA) sebelumnya yang memenangkan kubu Tutut. Namun diduga ada kejanggalan dalam putusan MA yang diketuai hakim agung M Saleh dengan hakim anggota Hamdi dan Abdul Manan tersebut.
Langkah MA yang memutus kasus TPI tersebut kontroversial dan dinilai melanggar UU Nomor 30/1999 sebab kasus yang telah ditangani BANI seharusnya tidak lagi ditangani pengadilan negeri. Pascaputusan BANI, pihak PT Berkah mulai melakukan penagihan terhadap pihak Tutut.
Menurut kuasa hukum PT Berkah, Andi F Simangunsong, beban utang Rp510 miliar seperti yang termaktub dalam putusan BANI telah berkekuatan hukum tetap sehingga pihak Tutut harus menerima konsekuensi dengan menjalankan putusan tersebut.
Bahkan, menurut Andi, PT Berkah berencana melakukan pailit terhadap Tutut jika dinilai tidak kooperatif dalam melunasi utangnya. Dia mengakui saat ini proses penagihan sedang berjalan. “Pailit merupakan salah satu opsi yang akan diambil oleh PT Berkah jika tidak ada niat baik pihak Tutut untuk melunasi utangnya,” ungkap Andi.
Nurul adriyana/Danti Daniel
Tidak ada alasan bagi pengadilan untuk tidak melakukan penyitaan aset jika Tutut nanti menolak mematuhi putusan BANI untuk membayar kerugian utang sebesar Rp510 miliar kepada PT Berkah Karya Bersama. “Pengadilan bisa memaksa Tutut untuk membayar atau melakukan penyitaan aset yang dimilikinya,” ungkap pakar hukum bisnis Frans Hendra Winata di Jakarta kemarin.
Frans menyatakan, nantinya dalam proses eksekusi, pengadilan sepenuhnya hanya menjalankan putusan BANI sehingga tidak ada kewenangan pengadilan untuk memuat perintah lain selain apa yang menjadi putusan badan arbitrase tersebut. Lebih lanjut Frans mengatakan, aset Tutut yang berhasil disita pengadilan nantinya bisa dilelang sebagai upaya menutupi utangnya terhadap PT Berkah.
Dia berpandangan, jika pengadilan tidak melakukan penyitaan aset, itu justru akan memperburuk citra peradilan. Apalagi diketahui hingga saat ini sudah hampir sebulan Tutut mengelak dari kewajibannya untuk menjalankan putusan arbitrase. Kendati ini hanya melibatkan para pihak yang bersengketa, sikap tegas pengadilan untuk melakukan penyitaan aset menjadi pertaruhan wibawa peradilan.
Frans menambahkan, jika PT Berkah sudah mendaftarkan putusan BANI ke pengadilan, perintah eksekusi harus segera dijatuhkan terhadap Tutut. Dia mengingatkan, layaknya vonis pengadilan, putusan BANI juga merupakan jalur penyelesaian sengketa yang diakui hukum negara sehingga para pihak wajib mematuhi apa yang menjadi ketetapan BANI.
“Putusan BANI sama tingginya dengan pengadilan dan bersifat final-binding (mengikat) sehingga tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan. Sebaiknya Tutut menerimanya dan melakukan semua kewajiban yang sudah diputuskan,” kata Frans. Menurut dia, tidak ada alasan bagi pihak Tutut menghindari keputusan BANI karena sebelumnya telah menyepakati untuk menyelesaikan melalui BANI jika dalam perjanjian kedua pihak ditemukan permasalahan di kemudian hari.
Frans juga mengingatkan, pada Pasal 3 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase) telah mengatur bahwa jika para pihak telah memilih arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa (party autonomy ), pengadilan negeri tidak diperbolehkan mengintervensi proses ini.
Sesuai putusan BANI, eksekusi terhadap Tutut itu berupa pengakuan atas 75% saham milik PT Berkah dan kewajiban Tutut membayar kelebihan bayar yang dilakukan PT Berkah. BANI menilai pihak Tutut terbukti melakukan iktikad buruk dan melanggar penjanjian bisnis karenanya dia diminta membayar kerugian utang sebesar Rp510 miliar kepada PT Berkah.
Tutut juga diwajibkan membayar Rp2,3 miliar sebagai bagian dari biaya sengketa di BANI yang ketika di awal sidang telah dibayarkan terlebih dahulu oleh PT Berkah sebesar Rp4,6 miliar. Setelah putusan BANI dijatuhkan pada 12 Desember 2014, kubu Tutut terkesan tidak mau menjalankan putusan arbitrase itu. Salah satu putusan BANI itu adalah Tutut bersalah karena dianggap melakukan wanprestasi atas surat kuasa yang telah diberikan kepada PT Berkah.
Putusan BANI dalam kasus sengketa kepemilikan saham TPI ini berbeda dengan putusan Mahkamah Agung (MA) sebelumnya yang memenangkan kubu Tutut. Namun diduga ada kejanggalan dalam putusan MA yang diketuai hakim agung M Saleh dengan hakim anggota Hamdi dan Abdul Manan tersebut.
Langkah MA yang memutus kasus TPI tersebut kontroversial dan dinilai melanggar UU Nomor 30/1999 sebab kasus yang telah ditangani BANI seharusnya tidak lagi ditangani pengadilan negeri. Pascaputusan BANI, pihak PT Berkah mulai melakukan penagihan terhadap pihak Tutut.
Menurut kuasa hukum PT Berkah, Andi F Simangunsong, beban utang Rp510 miliar seperti yang termaktub dalam putusan BANI telah berkekuatan hukum tetap sehingga pihak Tutut harus menerima konsekuensi dengan menjalankan putusan tersebut.
Bahkan, menurut Andi, PT Berkah berencana melakukan pailit terhadap Tutut jika dinilai tidak kooperatif dalam melunasi utangnya. Dia mengakui saat ini proses penagihan sedang berjalan. “Pailit merupakan salah satu opsi yang akan diambil oleh PT Berkah jika tidak ada niat baik pihak Tutut untuk melunasi utangnya,” ungkap Andi.
Nurul adriyana/Danti Daniel
(bbg)