Menanti Rupiah Naik Kelas

Minggu, 28 Desember 2014 - 13:29 WIB
Menanti Rupiah Naik...
Menanti Rupiah Naik Kelas
A A A
Di dunia ini hanya ada kurang dari dua ribu orang yang kekayaannya mencapai miliaran dolar AS (USD) dan belasan juta orang jutawan (USD). Jika ukurannya mata uang lokal, Indonesia ternyata negara dengan jutawan dan miliarder terbanyak.

Jika di luar negeri hanya kekayaan yang nilainya dalam satuan juta, di sini gaji kita sudah dalam jutaan rupiah. Bedanya, jutawan di luar negeri begitu makmur hidupnya tanpa masalah keuangan berarti, di sini banyakjutawanmasihbelummampu membeli rumah.

Jika saat ini kita semuanya jutawan karena berpenghasilan dalam jutaan rupiah per bulan, tanpa redenominasi rupiah, dua dekade lagi para jutawan Indonesia ini akan menjadi miliarder. Pada waktunya kita semua akan menjadi miliarder. Seorang manajer dapat mencapainya dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, sedangkan seorang petugas kebersihan mungkin perlu 20 tahun.

Dengan kenaikan tahunan 10%, seorang karyawan yang sekarang bergaji Rp10 juta, akan menjadi Rp67,3 juta per bulan dalam20tahun. Sedangkanupah minimum provinsi DKI Jakarta yang Rp2,73 juta per bulan, pada 2035 angkanya menjadi Rp18,4 juta. Disetahunkan penghasilan ini menjadi Rp220,4 juta. Karena itu, para pekerja rendah pun akan menjadi miliarder dalam rupiah.

Terendah Keempat

Sayangnya, rupiah kita itu tidak laku di luar negeri. Jangankan di benua Amerika, Eropa, dan Afrika, di Australia dan Asia saja mata uang kita tidak dapat ditransaksikan karena nilainya yang sangat rendah yaitu kurang dari 0,0001 dolar AS. Bersama dengan Rial Iran (IRR), Dong Vietnam (VND) dan Dobra Sao Tome (STD), Rupiah Indonesia (IDR) masuk empat matauangterburuknilainya alias mata uang “sampah”.

Mata uang kita masih kalah dari Rubel Belarusia (BYR) yang bernilai 11.000 BYR per USD dan Kip Laos (LAK) yang berharga 8.100 LAK untuk setiap satu USD. Belarusia adalah negara pecahan Uni Soviet yang mengalami pemburukan ekonomi hingga mata uangnya kehilangan 65% nilainya sejak dua tahun lalu.

Sementara Laos adalah negara kecil yang masih tertinggal dalam perekonomian karena 75% penduduknya masih bertani. Di dunia, uang kita saat ini hanya menang dari Iran (27.072 IRR/USD), Vietnam (21.388 VND/USD), dan Sao Tome (20.073 STD/USD). Mata uang Iran (IRR) terus melemah setelah negara ini mendapatkan sanksi internasional atas program nuklirnya, hampir sama seperti tekanan dunia terhadap Rusia saat ini. Sementara, Sao Tome adalah negara dengan infrastruktur yang minim dan masih bergantung pada hasil pertanian dan surga kecil di lepas pantai Afrika.

Uang Baru Rp200.000

Sesuai dengan nilainya yang sangat rendah, uang kertas Vietnam ada yang nominalnya sampai 200.000 dong dan 500.000 dong yang nilainya hanya setara dengan USD9,4 dan USD23,4 masing-masingnya. Bank Sentral Iran bahkan sudah mengedarkan bank notes 500.000 IRR (18,5 USD) dan 1 juta IRR (USD37) sejak tahun 2008 lalu.

Bandingkan dengan negara kita yang baru mempunyai uang kertas Rp20.000 pada tahun 1992 dan kemudian Rp50.000 setahun berikutnya. Seiring dengan merosotnya nilai rupiah, uang kertas Rp100.000 diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1999 atau enam tahun setelah uang kertas Rp50.000.

Dengan inflasi rata-rata 7% per tahun dalam 15 tahun terakhir, kini sudah waktunya kita memiliki uang kertas Rp200.000 mengingat uang kertas Rp100.000 saat ini hanya ekuivalendenganUSD8. Uang baru Rp200.000 itu setara denganUSD16. Jikapenurunan rupiah ini berlanjut di tahuntahun mendatang, sekitar tahun 2025 atau 2030, Bank Indonesia sangat mungkin akan mencetak uang kertas Rp500.000 juga seperti diVietnam.

Untuk jumlah miliarder, Indonesia sekarang juara dunianya setelah sebelumnya dipegang Zimbabwe, sebuah negara dekat Afrika Selatan. Di sana telur pernah berharga 35 miliar dolar Zimbabwe. Uang kertas ada yang berdenominasi seratus triliun Z$ dan saya masih memiliki dan menyimpan beberapa lembar. Tetapi, Zimbabwe kemudian melakukan redenominasi sehingga USD1 kini setara dengan Z$0,82.

Sukses redenominasi tidak hanya dialami Zimbabwe tetapi juga Jerman yang memangkas 12 angka nol, Turki (6 nol), Rumania (4 nol), dan Bulgaria (3 nol). Brasil bahkan tercatat melakukan redenominasi sampai 6 kali untuk memotong 18 angka nol dan Argentina hingga 4 tahapan untuk membuang 13 angka nol. Selama seabad terakhir, sekitar 60 negara di dunia telah melakukan redenominasi dan hanya beberapa negara yang tidak sukses dalam menerapkannya.

Ribuan Triliun = Kuadriliun

Membaca angka dalam APBN kita dan dana pihak ketiga (DPK) di perbankan nasional serta kapitalisasi pasar saham di BEI yang disebutkan dalam satuan ribuan triliun, kita menjadi bingung. Mestinya tidak ada istilah ribuan triliun karena seribu ribu menjadi juta, seribu juta menjadi miliar, dan seribu miliar menjadi triliun.

Seharusnya ribuan triliun menjadi kuadriliun sehingga yang benar adalah Rp4 kuadriliun DPK, APBN 2015 sebesar Rp2 kuadriliun, dan kapitalisasi pasar BEI menembus Rp5,2 kuadriliun. Nilai rupiah yang begitu rendahnya ini juga menyulitkan perhitungan mengingat kalkulator ilmiah dan kalkulator finansial hanya ber-digit 10 sehingga tidak dapat menghitung sampai belasan hingga puluhan miliar.

Selain itu, redenominasi akan menghemat banyak angka dalam semua dokumen kita. Penggunaan tinta dan kertas juga akan lebih irit. Kesimpulannya, redenominasi rupiah akan membuat mata uang kita naik kelas dari mata uang sampah nomor empat saat ini, mempermudah perhitungan, serta menghemat kertas dan tinta. Tanpa redenominasi, kita saat ini sudah memerlukan uang kertas baru Rp200.000 dan Rp500.000 belasan tahun lagi.

Budi frensidy
Staf Pengajar FEUI dan Perencana Keuangan,
www.fund-and-fun.com
@BudiFrensidy
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6877 seconds (0.1#10.140)