Hukum Syariat Lahir dari Aspirasi Rakyat Aceh
A
A
A
JAKARTA - Para duta besar negara Uni Eropa (UE) dianggap tak pahami hukum syariat Islam yang diterapkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Pasalnya, NAD punya dasar yang kuat dalam penerapan syariat ini.
Hal itu dikatakan Juru Bicara (Jubir) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto. Menurutnya Ismail, setelah Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki, pelaksanaan syariat di NAD mulai dilakukan.
"Munculnya pelaksanaan aturan ini didasarkan dari deklarasi Helsinski antara Pemerintah Pusat dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), yang menginginkan dibukannya syariat Islam di Aceh," kata Ismail saat dihubungi Sindonews, Selasa (23/12/2014).
Lebih lanjut Ismail mengatakan, pelaksanaan hukum syariat di NAD merupakan aspirasi dari rakyat Aceh.
"Jadi ada masalah apa, kenapa dipersoalkan, aturan ini memang aspirasi dari rakyat Aceh sendiri. Jika ada yang mempersoalkan hukum syariah di Aceh, berarti menginginkan ada kekacauan di Aceh," pungkasnya.
Sebelumnya, para duta besar negara Uni Eropa (UE) mengkritik hukum syariat yang saat ini berlaku di Aceh. Menurut mereka, penerapan hukum itu masih memiliki banyak kekurangan.
Salah satunya adalah subjek hukum tersebut. Menurut Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Witschel, subjek hukum syariat di Aceh masih belum jelas.
“Kami (Duta Besar Negara anggota UE) mempertanyakan apakah hukum tersebut diterapkan hanya kepada warga Muslim di Aceh, atau kepada seluruh warga Aceh, termasuk di dalamnya warga non-Muslim,” ucap Witschel di Kantor Kedutaan Besar Jerman, di Jakarta, Senin 22 Desember 2014.
Hal itu dikatakan Juru Bicara (Jubir) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto. Menurutnya Ismail, setelah Memorandum of Understanding (MOU) Helsinki, pelaksanaan syariat di NAD mulai dilakukan.
"Munculnya pelaksanaan aturan ini didasarkan dari deklarasi Helsinski antara Pemerintah Pusat dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka), yang menginginkan dibukannya syariat Islam di Aceh," kata Ismail saat dihubungi Sindonews, Selasa (23/12/2014).
Lebih lanjut Ismail mengatakan, pelaksanaan hukum syariat di NAD merupakan aspirasi dari rakyat Aceh.
"Jadi ada masalah apa, kenapa dipersoalkan, aturan ini memang aspirasi dari rakyat Aceh sendiri. Jika ada yang mempersoalkan hukum syariah di Aceh, berarti menginginkan ada kekacauan di Aceh," pungkasnya.
Sebelumnya, para duta besar negara Uni Eropa (UE) mengkritik hukum syariat yang saat ini berlaku di Aceh. Menurut mereka, penerapan hukum itu masih memiliki banyak kekurangan.
Salah satunya adalah subjek hukum tersebut. Menurut Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Witschel, subjek hukum syariat di Aceh masih belum jelas.
“Kami (Duta Besar Negara anggota UE) mempertanyakan apakah hukum tersebut diterapkan hanya kepada warga Muslim di Aceh, atau kepada seluruh warga Aceh, termasuk di dalamnya warga non-Muslim,” ucap Witschel di Kantor Kedutaan Besar Jerman, di Jakarta, Senin 22 Desember 2014.
(maf)