Pelaksanaan Hukum Syariat Aceh Jadi Tanggung Jawab Pemda
A
A
A
JAKARTA - Berlakunya hukum syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) secara kaffah merupakan dambaan masyarakat Aceh sejak lama dan telah diperjuangkan selama puluhan tahun ke Pemerintah Pusat di Jakarta.
Hal tersebut seperti dikutip Sindonews dari situs Mahkamah Syariah Aceh. Yang ditulis oleh Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, Armia Ibrahim.
"Namun hal ini secara formil baru terlaksana dan diakui oleh negara sejak disahkannya Undang-undang (UU) Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 4 Oktober 1999," kata Armia, Selasa (23/12/2014).
Menurutnya, hukum syariat Islam yang dicanangkan berlaku di bumi Aceh pada tanggal 1 Muharram 1423 hijriah, adalah hukum syariat Islam secara kaffah (menyeluruh atau sempurna).
Armia menjelaskan, timbul pertanyaan mengapa harus ditambah kata kaffah. Bukankah ketika berikrar melaksanakan syariat Islam berarti harus melaksanakan secara sempurna dan menyeluruh, meski tanpa menyebut kata kaffah seperti tertera di Alquran surat Al Baqarah ayat 208.
"Penyebutan kata kaffah dianggap perlu dan penting secara politis, karena akan menentukan bagaimana peranan dan keterlibatan negara (Pemerintah Daerah) dalam upaya pelaksanaan Syariat Islam di Aceh," ucapnya.
"Dengan demikian terlaksananya Syariat Islam di Aceh bukan hanya urusan pribadi pemeluk Agama Islam, tetapi telah menjadi tugas dan tanggung jawab Negara (Pemerintah Daerah)," pungkasnya.
Sebelumnya, para duta besar negara Uni Eropa (UE) mengkritik hukum syariat yang saat ini berlaku di Aceh. Menurut mereka, penerapan hukum itu masih memiliki banyak kekurangan.
Salah satunya adalah subjek hukum tersebut.
Menurut Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Witschel, subjek hukum syariah di Aceh masih belum jelas.
“Kami (Duta Besar Negara anggota UE) mempertanyakan apakah hukum tersebut diterapkan hanya kepada warga Muslim di Aceh, atau kepada seluruh warga Aceh, termasuk di dalamnya warga non-Muslim,” ucap Witschel di Kantor Kedutaan Besar Jerman, di Jakarta, Senin 22 Desember 2014.
Hal tersebut seperti dikutip Sindonews dari situs Mahkamah Syariah Aceh. Yang ditulis oleh Wakil Ketua Mahkamah Syar’iyah Provinsi NAD, Armia Ibrahim.
"Namun hal ini secara formil baru terlaksana dan diakui oleh negara sejak disahkannya Undang-undang (UU) Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada tanggal 4 Oktober 1999," kata Armia, Selasa (23/12/2014).
Menurutnya, hukum syariat Islam yang dicanangkan berlaku di bumi Aceh pada tanggal 1 Muharram 1423 hijriah, adalah hukum syariat Islam secara kaffah (menyeluruh atau sempurna).
Armia menjelaskan, timbul pertanyaan mengapa harus ditambah kata kaffah. Bukankah ketika berikrar melaksanakan syariat Islam berarti harus melaksanakan secara sempurna dan menyeluruh, meski tanpa menyebut kata kaffah seperti tertera di Alquran surat Al Baqarah ayat 208.
"Penyebutan kata kaffah dianggap perlu dan penting secara politis, karena akan menentukan bagaimana peranan dan keterlibatan negara (Pemerintah Daerah) dalam upaya pelaksanaan Syariat Islam di Aceh," ucapnya.
"Dengan demikian terlaksananya Syariat Islam di Aceh bukan hanya urusan pribadi pemeluk Agama Islam, tetapi telah menjadi tugas dan tanggung jawab Negara (Pemerintah Daerah)," pungkasnya.
Sebelumnya, para duta besar negara Uni Eropa (UE) mengkritik hukum syariat yang saat ini berlaku di Aceh. Menurut mereka, penerapan hukum itu masih memiliki banyak kekurangan.
Salah satunya adalah subjek hukum tersebut.
Menurut Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Georg Witschel, subjek hukum syariah di Aceh masih belum jelas.
“Kami (Duta Besar Negara anggota UE) mempertanyakan apakah hukum tersebut diterapkan hanya kepada warga Muslim di Aceh, atau kepada seluruh warga Aceh, termasuk di dalamnya warga non-Muslim,” ucap Witschel di Kantor Kedutaan Besar Jerman, di Jakarta, Senin 22 Desember 2014.
(maf)