KY Didesak Segera Tuntaskan Investigasi
A
A
A
JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) didesak segera selesaikan investigasi dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan tiga hakim Mahkamah Agung (MA) terkait kasus sengketa Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
Pengamat hukum Universitas Negeri Semarang Arif Hidayat mengatakan, jika investigasi KY telah selesai maka akan terlihat tingkat kesalahan yang dibuat hakim agung tersebut. Jika mengandung pelanggaran etika, lanjutnya, maka KY bisa menindaklanjutinya. “Namun bila ditemukan unsur pidana maka bisa dialihkan ke kepolisian atau KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” tandas Arif saat dihubungi, kemarin.
Menurut dia, dari awal kasus ini sudah mengundang rasa curiga banyak kalangan sehingga dari segi etika perlu dikaji. KY, ujarnya, harus menyelidiki tiga hakim MA yang menolak permohonan peninjauan kembali (PK) terkait sengketa kepemilikan TPI, yaitu Mohammad Saleh, Hamdi, dan Abdul Manan.
Menurut Arif, tiga hakim agung itu dianggap sudah menabrak Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 karena telah memutus perkara antara PT Berkah Karya Bersama dan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dalam kasus kepemilikan TPI. Padahal, proses sengketa kepemilikan TPImasih berlangsung di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
“KY harus cepat cari kemungkinan ada suap hakim MA untuk kasus ini. Mestinya bulan ini harus selesai dan tidak menunggu tahun berikutnya yang kurang beberapa hari saja,” tandasnya. Pakar hukum acara Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Ibnu Sina mengatakan, putusan BANI dapat dijadikan pintu masuk KY dalam memeriksa hakim agung yang menangani sengketa TPI.
“Bisa menjadi bahan KY untuk mengadili hakim. Apakah hakim bermainmain atau tidak,” tandasnya. Menurut dia, hakim MA menggunakan celah tertentu untuk membuat putusan. Meskipun permasalahannya sama namun berbeda perspektif. “BANI memutuskan ini kasus wanprestasi sedangkan MA mengatakan ini perbuatan melawan hukum. Padahal, perkara ini terkait dengan investasi. BANI bisa jadi tolok ukur,” ungkapnya.
Ibnu mengatakan, seharusnya kasus sengketa kepemilikan TPI antara Tutut dan PT Berkah Karya Bersama tetap ditangani oleh BANI. Pasalnya, penyelesaian sengketa di BANI jelas ada dalam klausul perjanjian investasi. “Jika dalam perjanjian investasi seperti itu maka selama itu pula BANI lah yang berwenang mengadili. Jangan pengadilan melangkahi kewenangan BANI,” tandasnya.
Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Maruki menyatakan pihaknya masih terus menyelidiki dugaan pelanggaran etik yang dilakukan majelis PK TPI. “Sejauh ini kita masih dalam tahap penyelidikan, kita masih kesulitan menemukan sumber apalagi terkait dugaan pelanggaran etik (suap) Rp50 miliar itu,” ungkap Suparman.
Adapun Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan, perlawanan eksekusi putusan MA melalui permohonan PK kedua dimungkinkan untuk dilakukan, dengan catatan jika memang ada dua putusan yang berbeda. Memang, lanjut Ridwan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengajuan PK, hanya perkara pidana yang diperbolehkan pengajuan PK berkali-kali.
Namun untuk kasus perdata, pengajuan PK kedua juga sangat dimungkinkan karena itu diatur dalam peraturan MA (Perma). “Mungkin saja, tapi kita lihat dulu konten putusan BANI itu seperti apa, dan itu yang nantinya diuji majelis PK, bisa diterima atau tidak,” terangnya.
Pengamat hukum perdata Universitas Negeri Semarang Pujiono mengatakan, para hakim MA seharusnya tidak gegabah dalam memahami substansi sengketa kepemilikan TPI. Seharusnya, ujarnya, mereka tidak hanya mengindahkan prosedur saja, tapi juga kenyataan bahwa ada talangan dari PT Berkah Karya Bersama atas utang-utang Tutut di TPI yang mencapai triliunan rupiah.
Menurut Pujiono, dana talangan dari PT Berkah itu berjumlah sangat besar dan seharusnya diperhitungkan pada putusanMA.“Substansisengketa itu adalah pembayaran utang piutang dan kemudian disubstitusi pada saham,” kata Pujiono. Sengketa itu, lanjutnya, menyangkut investment agreement yang dibuat antara Tutut dan PT Berkah Karya Bersama untuk utang TPI milik Tutut sebesar Rp1,7 triliun.
“Substansinya itu dan sudah selesai di Badan Arbitrase Nasional Indonesia,” kata Pujiono. Pada putusan soal sengketa TPIminggu lalu, BANI berkeputusan bahwa PT Berkah Karya Bersama sudah memenuhi ketentuan dalam investment agreement dan suplemental agreement. BANI juga menganggap bahwa tindakan kubu Tutut membawa masalah arbitrase ke pengadilan sudah melanggar ketentuan hukum.
Utang Tutut di masa lalu tergolongbesar. Utang-utangitu antara lain utang Tutut ke Asian Ventura sebesar Rp125 miliar, utangkepada BadanPenyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebesar Rp60 miliar terkait utang ke Bank Yama, utang ke Citra Marga Nusaphala (CMNP) yaitu pengelola jalan tol sebesar Rp41 miliar, dan utang ke Perregrine senilai Rp22 miliar.
Begitu juga utang TPI lainnya seperti ke pemerintah, pajak, dan pemasok alat dan program yang seluruhnya mencapai Rp543 miliar. Atas utangutang yang dibayari PT Berkah, kesepakatan itu menegaskan bahwa pihak Tutut menyerahkan 75% saham TPI. Sebelumnya, majelis hakim MA menolak permohonan PK kasus sengketa kepemilikan TPI yang diajukan PT Berkah Karya Bersama.
Nurul adriyana/Dita angga/Danti Daniel
Pengamat hukum Universitas Negeri Semarang Arif Hidayat mengatakan, jika investigasi KY telah selesai maka akan terlihat tingkat kesalahan yang dibuat hakim agung tersebut. Jika mengandung pelanggaran etika, lanjutnya, maka KY bisa menindaklanjutinya. “Namun bila ditemukan unsur pidana maka bisa dialihkan ke kepolisian atau KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” tandas Arif saat dihubungi, kemarin.
Menurut dia, dari awal kasus ini sudah mengundang rasa curiga banyak kalangan sehingga dari segi etika perlu dikaji. KY, ujarnya, harus menyelidiki tiga hakim MA yang menolak permohonan peninjauan kembali (PK) terkait sengketa kepemilikan TPI, yaitu Mohammad Saleh, Hamdi, dan Abdul Manan.
Menurut Arif, tiga hakim agung itu dianggap sudah menabrak Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999 karena telah memutus perkara antara PT Berkah Karya Bersama dan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) dalam kasus kepemilikan TPI. Padahal, proses sengketa kepemilikan TPImasih berlangsung di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).
“KY harus cepat cari kemungkinan ada suap hakim MA untuk kasus ini. Mestinya bulan ini harus selesai dan tidak menunggu tahun berikutnya yang kurang beberapa hari saja,” tandasnya. Pakar hukum acara Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Ibnu Sina mengatakan, putusan BANI dapat dijadikan pintu masuk KY dalam memeriksa hakim agung yang menangani sengketa TPI.
“Bisa menjadi bahan KY untuk mengadili hakim. Apakah hakim bermainmain atau tidak,” tandasnya. Menurut dia, hakim MA menggunakan celah tertentu untuk membuat putusan. Meskipun permasalahannya sama namun berbeda perspektif. “BANI memutuskan ini kasus wanprestasi sedangkan MA mengatakan ini perbuatan melawan hukum. Padahal, perkara ini terkait dengan investasi. BANI bisa jadi tolok ukur,” ungkapnya.
Ibnu mengatakan, seharusnya kasus sengketa kepemilikan TPI antara Tutut dan PT Berkah Karya Bersama tetap ditangani oleh BANI. Pasalnya, penyelesaian sengketa di BANI jelas ada dalam klausul perjanjian investasi. “Jika dalam perjanjian investasi seperti itu maka selama itu pula BANI lah yang berwenang mengadili. Jangan pengadilan melangkahi kewenangan BANI,” tandasnya.
Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Maruki menyatakan pihaknya masih terus menyelidiki dugaan pelanggaran etik yang dilakukan majelis PK TPI. “Sejauh ini kita masih dalam tahap penyelidikan, kita masih kesulitan menemukan sumber apalagi terkait dugaan pelanggaran etik (suap) Rp50 miliar itu,” ungkap Suparman.
Adapun Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur mengatakan, perlawanan eksekusi putusan MA melalui permohonan PK kedua dimungkinkan untuk dilakukan, dengan catatan jika memang ada dua putusan yang berbeda. Memang, lanjut Ridwan, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengajuan PK, hanya perkara pidana yang diperbolehkan pengajuan PK berkali-kali.
Namun untuk kasus perdata, pengajuan PK kedua juga sangat dimungkinkan karena itu diatur dalam peraturan MA (Perma). “Mungkin saja, tapi kita lihat dulu konten putusan BANI itu seperti apa, dan itu yang nantinya diuji majelis PK, bisa diterima atau tidak,” terangnya.
Pengamat hukum perdata Universitas Negeri Semarang Pujiono mengatakan, para hakim MA seharusnya tidak gegabah dalam memahami substansi sengketa kepemilikan TPI. Seharusnya, ujarnya, mereka tidak hanya mengindahkan prosedur saja, tapi juga kenyataan bahwa ada talangan dari PT Berkah Karya Bersama atas utang-utang Tutut di TPI yang mencapai triliunan rupiah.
Menurut Pujiono, dana talangan dari PT Berkah itu berjumlah sangat besar dan seharusnya diperhitungkan pada putusanMA.“Substansisengketa itu adalah pembayaran utang piutang dan kemudian disubstitusi pada saham,” kata Pujiono. Sengketa itu, lanjutnya, menyangkut investment agreement yang dibuat antara Tutut dan PT Berkah Karya Bersama untuk utang TPI milik Tutut sebesar Rp1,7 triliun.
“Substansinya itu dan sudah selesai di Badan Arbitrase Nasional Indonesia,” kata Pujiono. Pada putusan soal sengketa TPIminggu lalu, BANI berkeputusan bahwa PT Berkah Karya Bersama sudah memenuhi ketentuan dalam investment agreement dan suplemental agreement. BANI juga menganggap bahwa tindakan kubu Tutut membawa masalah arbitrase ke pengadilan sudah melanggar ketentuan hukum.
Utang Tutut di masa lalu tergolongbesar. Utang-utangitu antara lain utang Tutut ke Asian Ventura sebesar Rp125 miliar, utangkepada BadanPenyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebesar Rp60 miliar terkait utang ke Bank Yama, utang ke Citra Marga Nusaphala (CMNP) yaitu pengelola jalan tol sebesar Rp41 miliar, dan utang ke Perregrine senilai Rp22 miliar.
Begitu juga utang TPI lainnya seperti ke pemerintah, pajak, dan pemasok alat dan program yang seluruhnya mencapai Rp543 miliar. Atas utangutang yang dibayari PT Berkah, kesepakatan itu menegaskan bahwa pihak Tutut menyerahkan 75% saham TPI. Sebelumnya, majelis hakim MA menolak permohonan PK kasus sengketa kepemilikan TPI yang diajukan PT Berkah Karya Bersama.
Nurul adriyana/Dita angga/Danti Daniel
(bbg)