Bojonegoro Lumbung Pangan NEGERI
A
A
A
KABUPATEN Bojonegoro selama ini hanya dikenal sebagai daerah penghasil minyak dan gas bumi (migas) nasional.
Produksi minyak mentah di Kabupaten Bojonegoro menyumbang 20% kebutuhan minyak nasional. Namun, Kabupaten Bojonegoro tidak mau terlena hanya mengandalkan sumber daya alam yang suatu saat pasti akan habis tersebut. Karena itu, Kabupaten Bojonegoro kini juga mulai dikenal sebagai lumbung pangan negeri.
Bojonegoro sebagai lumbung pangan negeri bermakna bahwa Bojonegoro adalah daerah penghasil pangan meliputi pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang unggul dan terdepan dengan manajemen profesional.
Selain itu, Bojonegoro sebagai lumbung pangan Indonesia merupakan tempat penghasil, penyimpanan, pendistribusian, pengolahan, dan perdagangan pangan dalam arti luas meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan usaha produktif pengolahan hasil pertanian, serta penyediaan stok pangan secara berkelanjutan.
Menurut Bupati Bojonegoro Suyoto, untuk mewujudkan Bojonegoro sebagai lumbung pangan negeri, maka hasil panen padi yang semula 800.000 ton kini dinaikkan menjadi 900.000 ton. Dia menargetkan hasil panen padi dapat mencapai 1 juta ton nanti. Menurutnya, untuk mencapai Bojonegoro lumbung pangan negeri, kuncinya dengan menaikkan masa tanam padi yang semula hanya satu kali setahun menjadi dua kali setahun.
Kemudian hasil panen padi juga dinaikkan dari semula 5 ton per hektare menjadi 6 hingga 7 ton per hektare. “Selain itu, lahan pertanian yang ada di Bojonegoro juga tidak boleh dikurangi,” ujar Kang Yoto, sapaan akrab Suyoto. Dia mengatakan, untuk mendukung upaya Bojonegoro sebagai lumbung pangan negeri, kini juga dibangun 209 embung yang memakai lahan desa. Embung yang dibangun dengan anggaran sekitar Rp200 juta-Rp340 juta itu berfungsi menampung air saat musim hujan dan dipakai untuk pengairan pertanian saat musim kemarau.
Embung seluas seperempat hektare hingga satu hektare itu juga dapat dipakai untuk peternakan ikan, seperti lele dan jambal. Pembangunan embung itu ditargetkan mencapai 1.000 unit hingga tahun 2018. Kemudian kebutuhan pengairan persawahan juga dipenuhi dari Waduk Pacal di Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang. Waduk Pacal seluas 520 hektare dengan debit air 23 juta meter kubik ini mampu menyuplai persawahan seluas 16.688 hektare.
Selain itu, dalam waktu dekat juga akan dibangun Waduk Gongseng seluas 433 hektare dengan kemampuan menampung air 22 juta meter kubik di wilayah Kecamatan Temayang. Sementara kebutuhan pengairan persawahan di wilayah barat Bojonegoro dipenuhi dari air bendungan gerak Sungai Bengawan Solo.
Menurut Kang Yoto, juga telah mengeluarkan 11 kebijakan untuk mewujudkan Bojonegoro sebagai lumbung pangan negeri. Pertama, mengenai lahan harus dijaga ketersediaan lahan, optimalisasi penggunaan lahan, melokalisasi penggunaan lahan untuk nonpangan, serta mempromosikan rumah susun.
Kedua, mengenai bibit dan benih harus ditentukan kesesuaian benih/bibit dengan lahan dan cuaca. Ketiga, mengenai pola tanam/kelola ternak harus disosialisasikan pola tanam atau pola kelola terbaik menyangkut pola tanam maupun pengelolaan ternak. Selain itu. mendorong lahirnya kelembagaan pertanian/peternakan/perikanan yang menjamin perlindungan dan berkelanjutan usaha.
Keempat, sosialisasi dan mantapkan pola panen berkelanjutan, yakni mengusahakan mediasi hasil panen, promosikan hasil panen, dan dorong lahirnya usaha kecil maupun menengah dan besar dalam bidang pengelolaan hasil produksi. Kelima, mengenai sumber daya manusia, yakni meningkatkan kemampuan, keterampilan para pelaku usaha pertanian, serta peternakan dan perikanan agar mampu bertahan sehingga berdaya saing.
Keenam, sinergi inovasi dan pasar, yakni memfasilitasi penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta inovasi dengan berbagai pihak yang kompeten. Ketujuh, keuangan/pembiayaan, yakni memperkuat struktur permodalan lembaga keuangan Pemkab Bojonegoro dalam mendukung seluruh usaha bidang pertanian, peternakan, dan perikanan (agrobisnis).
Selain itu, juga menggalang sinergitas dengan berbagai lembaga keuangan lokal, regional, nasional, dan internasional. Kedelapan, organisasi pelayanan, peningkatan, pemberdayaan, dan pencapaian daya saing. Kesembilan, membangun dan mengembangkan kelompok belajar, baik yang berbasis masyarakat, pendidikan, dan profesi, untuk menciptakan suasana belajar dan kewirausahaan.
Kesepuluh, menggunakan dan sosialisasikan teknologi informasi untuk memperkuat seluruh proses mata rantai usaha agrobisnis.
Kesebelas, infrastruktur, yakni adakan, sediakan, dan kelola seluruh infrastruktur yang mendukung suksesnya lumbung pangan, terutama air, jalan, pergudangan, pasar, dan alat angkut.
Muhammad roqib/Adv
Produksi minyak mentah di Kabupaten Bojonegoro menyumbang 20% kebutuhan minyak nasional. Namun, Kabupaten Bojonegoro tidak mau terlena hanya mengandalkan sumber daya alam yang suatu saat pasti akan habis tersebut. Karena itu, Kabupaten Bojonegoro kini juga mulai dikenal sebagai lumbung pangan negeri.
Bojonegoro sebagai lumbung pangan negeri bermakna bahwa Bojonegoro adalah daerah penghasil pangan meliputi pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan yang unggul dan terdepan dengan manajemen profesional.
Selain itu, Bojonegoro sebagai lumbung pangan Indonesia merupakan tempat penghasil, penyimpanan, pendistribusian, pengolahan, dan perdagangan pangan dalam arti luas meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan usaha produktif pengolahan hasil pertanian, serta penyediaan stok pangan secara berkelanjutan.
Menurut Bupati Bojonegoro Suyoto, untuk mewujudkan Bojonegoro sebagai lumbung pangan negeri, maka hasil panen padi yang semula 800.000 ton kini dinaikkan menjadi 900.000 ton. Dia menargetkan hasil panen padi dapat mencapai 1 juta ton nanti. Menurutnya, untuk mencapai Bojonegoro lumbung pangan negeri, kuncinya dengan menaikkan masa tanam padi yang semula hanya satu kali setahun menjadi dua kali setahun.
Kemudian hasil panen padi juga dinaikkan dari semula 5 ton per hektare menjadi 6 hingga 7 ton per hektare. “Selain itu, lahan pertanian yang ada di Bojonegoro juga tidak boleh dikurangi,” ujar Kang Yoto, sapaan akrab Suyoto. Dia mengatakan, untuk mendukung upaya Bojonegoro sebagai lumbung pangan negeri, kini juga dibangun 209 embung yang memakai lahan desa. Embung yang dibangun dengan anggaran sekitar Rp200 juta-Rp340 juta itu berfungsi menampung air saat musim hujan dan dipakai untuk pengairan pertanian saat musim kemarau.
Embung seluas seperempat hektare hingga satu hektare itu juga dapat dipakai untuk peternakan ikan, seperti lele dan jambal. Pembangunan embung itu ditargetkan mencapai 1.000 unit hingga tahun 2018. Kemudian kebutuhan pengairan persawahan juga dipenuhi dari Waduk Pacal di Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang. Waduk Pacal seluas 520 hektare dengan debit air 23 juta meter kubik ini mampu menyuplai persawahan seluas 16.688 hektare.
Selain itu, dalam waktu dekat juga akan dibangun Waduk Gongseng seluas 433 hektare dengan kemampuan menampung air 22 juta meter kubik di wilayah Kecamatan Temayang. Sementara kebutuhan pengairan persawahan di wilayah barat Bojonegoro dipenuhi dari air bendungan gerak Sungai Bengawan Solo.
Menurut Kang Yoto, juga telah mengeluarkan 11 kebijakan untuk mewujudkan Bojonegoro sebagai lumbung pangan negeri. Pertama, mengenai lahan harus dijaga ketersediaan lahan, optimalisasi penggunaan lahan, melokalisasi penggunaan lahan untuk nonpangan, serta mempromosikan rumah susun.
Kedua, mengenai bibit dan benih harus ditentukan kesesuaian benih/bibit dengan lahan dan cuaca. Ketiga, mengenai pola tanam/kelola ternak harus disosialisasikan pola tanam atau pola kelola terbaik menyangkut pola tanam maupun pengelolaan ternak. Selain itu. mendorong lahirnya kelembagaan pertanian/peternakan/perikanan yang menjamin perlindungan dan berkelanjutan usaha.
Keempat, sosialisasi dan mantapkan pola panen berkelanjutan, yakni mengusahakan mediasi hasil panen, promosikan hasil panen, dan dorong lahirnya usaha kecil maupun menengah dan besar dalam bidang pengelolaan hasil produksi. Kelima, mengenai sumber daya manusia, yakni meningkatkan kemampuan, keterampilan para pelaku usaha pertanian, serta peternakan dan perikanan agar mampu bertahan sehingga berdaya saing.
Keenam, sinergi inovasi dan pasar, yakni memfasilitasi penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta inovasi dengan berbagai pihak yang kompeten. Ketujuh, keuangan/pembiayaan, yakni memperkuat struktur permodalan lembaga keuangan Pemkab Bojonegoro dalam mendukung seluruh usaha bidang pertanian, peternakan, dan perikanan (agrobisnis).
Selain itu, juga menggalang sinergitas dengan berbagai lembaga keuangan lokal, regional, nasional, dan internasional. Kedelapan, organisasi pelayanan, peningkatan, pemberdayaan, dan pencapaian daya saing. Kesembilan, membangun dan mengembangkan kelompok belajar, baik yang berbasis masyarakat, pendidikan, dan profesi, untuk menciptakan suasana belajar dan kewirausahaan.
Kesepuluh, menggunakan dan sosialisasikan teknologi informasi untuk memperkuat seluruh proses mata rantai usaha agrobisnis.
Kesebelas, infrastruktur, yakni adakan, sediakan, dan kelola seluruh infrastruktur yang mendukung suksesnya lumbung pangan, terutama air, jalan, pergudangan, pasar, dan alat angkut.
Muhammad roqib/Adv
(ars)