Penunjukan Wakil Kepala Daerah Redam Potensi Konflik
A
A
A
JAKARTA - Posisi wakil kepala yang ditunjuk langsung oleh kepala daerah dinilai bisa mengakhiri konflik pemerintahan yang selama ini sering terjadi. Diketahui, kepala daerah dan wakilnya selama ini rawan konflik, terutama menjelang pilkada ketika keduanya samasama maju berkompetisi.
”Saya kira konflik karena kepentingan untuk maju dalam pilkada berikutnya, atau perebutan pengaruh politik ke depan lebih bisa dihindari,” kata analis politik dari CSIS, Arya Fernandes, kemarin. Menurut Arya, Peraturan Pemerintah (PP) No 102/2014 tentang Tata Cara Pengusulan dan Pengangkatan Wakil sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2014 tentang Pilkada Langsung, memberi peluang kepala daerah untuk memilih wakil yang dianggap loyal kepadanya.
Dengan demikian, kecil peluang munculnya istilah ”matahari kembar”. ”Karena wakil berada di bawah pengaruh dan kekuatan kepala daerah sehingga kecil kemungkinan untuk berbeda pendapat atau membangkang,” ujarnya. Selaindari sisipolitikyang tak lagi rawan konflik, lanjut dia, dengan aturan diperppu dan PP tersebut juga diharapkan efektivitas pemerintahan daerah bisa lebih ditingkatkan.
Sebab, nantinya jumlah wakil kepala daerah baik untuk provinsi maupun bupati/ wali kota dipengaruhi jumlah penduduk di suatu daerah. Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menandatangani PP No 102/2014 sejak 1 Desember 2014 lalu. PPitu untuk melaksanakan ketentuan Pasal 171 ayat (5) dan 176 ayat (4) Perppu Pilkada Langsung. PP ini mengatur bahwa suatu daerah baik itu provinsi maupun kabupaten/ kota dapat memiliki tiga wakil kepala daerah.
Suatu daerah juga dimungkinkan tidak memiliki wakil kepala daerah jika jumlah penduduknya tidak lebih dari 100.000 untuk kabupaten/ kota, dan tidak lebih dari 1 juta untuk provinsi. Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti menilai, meskipun dari sisi politik bisa mengurangi potensi konflik antara kepala dan wakil kepala daerah, substansi dari perppu dan PP tersebut banyak menyimpan masalah.
Menurut Ray, lahirnya Perppu Pilkada Langsung sebenarnya efek dari sikap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang melihat pilkada langsung dalam praktiknya adalah kelemahan. ”Itulah sebabnya mengapa sejak awal posisi pemerintah justru mendukung pilkada tidak langsung,” ujarnya.
Ray mengatakan, cara pandang pemerintahan SBY melihat berbagai konflik politik didaerah berkaitan erat dengan pelaksanaan pilkada. Dalam beberapa hal, penglihatan itu memang ada benarnya. Masalahnya, upaya revisi perppu justru berujung pada hilangnya semangat pilkada langsung dan tata cara pengelolaan daerah dalam konteks reformasi dan otonomi.
Itulah sebabnya mengapa pemerintahan SBY sangat ngotot agar pilkada tak langsung dikembalikan. Tapi karena besarnya penolakan masyarakat dengan pilkada lewat DPRD, kata dia, akhirnya itu ditunda. ”Dan tragedi lahirnya perppu adalah bagian dari itu. Pikiran-pikiran pemerintah SBY kembali dapat dimasukkan lewat perppu, setelah sebelumnya ditolak oleh DPR. Akibatnya, perppu kelebihan muatan. Pengaturan dalam perppu melebihi pokok soal yang diminta,” tukasnya.
Rahmat sahid
”Saya kira konflik karena kepentingan untuk maju dalam pilkada berikutnya, atau perebutan pengaruh politik ke depan lebih bisa dihindari,” kata analis politik dari CSIS, Arya Fernandes, kemarin. Menurut Arya, Peraturan Pemerintah (PP) No 102/2014 tentang Tata Cara Pengusulan dan Pengangkatan Wakil sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2014 tentang Pilkada Langsung, memberi peluang kepala daerah untuk memilih wakil yang dianggap loyal kepadanya.
Dengan demikian, kecil peluang munculnya istilah ”matahari kembar”. ”Karena wakil berada di bawah pengaruh dan kekuatan kepala daerah sehingga kecil kemungkinan untuk berbeda pendapat atau membangkang,” ujarnya. Selaindari sisipolitikyang tak lagi rawan konflik, lanjut dia, dengan aturan diperppu dan PP tersebut juga diharapkan efektivitas pemerintahan daerah bisa lebih ditingkatkan.
Sebab, nantinya jumlah wakil kepala daerah baik untuk provinsi maupun bupati/ wali kota dipengaruhi jumlah penduduk di suatu daerah. Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menandatangani PP No 102/2014 sejak 1 Desember 2014 lalu. PPitu untuk melaksanakan ketentuan Pasal 171 ayat (5) dan 176 ayat (4) Perppu Pilkada Langsung. PP ini mengatur bahwa suatu daerah baik itu provinsi maupun kabupaten/ kota dapat memiliki tiga wakil kepala daerah.
Suatu daerah juga dimungkinkan tidak memiliki wakil kepala daerah jika jumlah penduduknya tidak lebih dari 100.000 untuk kabupaten/ kota, dan tidak lebih dari 1 juta untuk provinsi. Sementara itu, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti menilai, meskipun dari sisi politik bisa mengurangi potensi konflik antara kepala dan wakil kepala daerah, substansi dari perppu dan PP tersebut banyak menyimpan masalah.
Menurut Ray, lahirnya Perppu Pilkada Langsung sebenarnya efek dari sikap pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang melihat pilkada langsung dalam praktiknya adalah kelemahan. ”Itulah sebabnya mengapa sejak awal posisi pemerintah justru mendukung pilkada tidak langsung,” ujarnya.
Ray mengatakan, cara pandang pemerintahan SBY melihat berbagai konflik politik didaerah berkaitan erat dengan pelaksanaan pilkada. Dalam beberapa hal, penglihatan itu memang ada benarnya. Masalahnya, upaya revisi perppu justru berujung pada hilangnya semangat pilkada langsung dan tata cara pengelolaan daerah dalam konteks reformasi dan otonomi.
Itulah sebabnya mengapa pemerintahan SBY sangat ngotot agar pilkada tak langsung dikembalikan. Tapi karena besarnya penolakan masyarakat dengan pilkada lewat DPRD, kata dia, akhirnya itu ditunda. ”Dan tragedi lahirnya perppu adalah bagian dari itu. Pikiran-pikiran pemerintah SBY kembali dapat dimasukkan lewat perppu, setelah sebelumnya ditolak oleh DPR. Akibatnya, perppu kelebihan muatan. Pengaturan dalam perppu melebihi pokok soal yang diminta,” tukasnya.
Rahmat sahid
(bbg)