Menkumham Diminta Jernih Pahami UU Parpol
A
A
A
JAKARTA - Partai Golkar kubu Munas Bali menilai tidak ada alasan legal bagi Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) untuk menanggapi kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Ancol yang diselenggarakan Agung Laksono.
Sebaliknya, Menkumham justru harus menempatkan kepengurusan hasil Munas Ancol sebagai kepengurusan ilegal karena dinilai menyalahgunakan identitas Partai Golkar. Sekretaris Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan Menkumham hendaknya tetap berpijak pada pasal 24 dan pasal 25 Undang-undang (UU) Nomor 2/ 2011 tentang Partai Politik (Parpol) yang mengatur tentang perselisihan khusus dan umum di tubuh parpol dan pengesahan kepengurusan parpol.
“Menkumham harus jernih memahami persoalan. Sebab, apa yang disebut dengan Presidium Penyelamat Partai Golkar itu pun ilegal,” kata Bambang Soesatyo di Jakarta kemarin. Bambang mengatakan, dalam Pasal 25 UU Parpol ada empat indikator yang harus terpenuhi secara kumulatif untuk mengualifikasi telah terjadinya perselisihan khusus dalam kepengurusan parpol.
Pertama, perselisihan karena penolakan untuk mengganti kepengurusan. Kedua, penolakan pergantian kepengurusan harus disampaikan secara resmi dalam penyelenggaraan forum pengambilan keputusan tertinggi parpol, seperti munas, kongres, atau muktamar. Ketiga, tentang subjek di mana penolakan pergantian kepengurusan haruslah anggota parpol peserta munas, kongres, atau muktamar.
Keempat, penolakan pergantian kepengurusan harus disuarakan minimal oleh 2/3 peserta munas, kongres, atau muktamar. Ketua DPP Partai Golkar versi Munas Ancol, TB Ace Hasan Syadzily, tidak mau ikut menekan Menkumham dalam menyikapi dualisme kepengurusan Golkar.
Dia meyakini Menkumham akan objektif melihat konflik internal partai berlambang pohon beringin itu. “Kemenkumham tak bisa ditekantekan dalam pengesahan hasil Munas Partai Golkar itu. Apalagi dalam pengesahan itu ditekan- tekan dengan membawa-bawa rakyat,” katanya.
Tuntutan Rekonsiliasi Menguat
Mantan Ketua DPP Partai Golkar Hajriyanto Y Thohari mengusulkan digelar munas rekonsiliasi sebagai penyelesaian atas konflik dua kubu kepengurusan Golkar. Pasalnya, perpecahan antardua kubu dalam Partai Golkar yang semula masih sangat elitis, kini mulai mengalami masifikasi.
“Lihat saja, sudah mulai masuk ke Fraksi Partai Golkar di DPR. Bayangkan jika fraksi yang merupakan perpanjangan tangan partai sudah mulai terbelah juga. Bagaimana nanti kalau menyikapi wacana penggunaan hak interpelasi, Perppu Pilkada, dan lainlainnya,” kata Hajriyanto. Usulan tersebut juga didukung sejumlah kader Golkar lainnya.
Fungsionaris Partai Golkar Taufiq Hidayat mengharapkan adanya rekonsiliasi antara dua pihak di tubuh partai berlambang beringin. Kedua pihak diharapkan bisa menurunkan ego masing-masing. “Melihat perkembangan yang terjadi, saya berpandangan jalan rekonsiliasi adalah sangat baik, kalau berjalan efektif ini akan jalan cepat. Ini akan berdampak baik terhadap proses penyatuan,” ujar Taufiq kemarin.
Meski ada jalan lain yang bisa ditempuh, yakni jalur hukum, rekonsiliasi merupakan jalan yang aman untuk perbaikan dan menyatukan kembali. “Jalan lain ada, menempuh jalur hukum, ini juga ada masalah waktu dan tak dapat diprediksi hasilnya. Oleh karena itu saya mendorong jalan rekonsiliasi untuk kedua kubu,” terangnya.
Harapan adanya rekonsiliasi ini, menurut mantan Ketua Umum PB HMI itu, didasarkan keinginan kuat sebagian besar kader di Partai Golkar. Mayoritas kader ingin rekonsiliasi dan segera bisa melakukan konsolidasi internal untuk menghadapi agenda pilkada di 245 daerah yang semakin dekat.
Rahmat sahid
Sebaliknya, Menkumham justru harus menempatkan kepengurusan hasil Munas Ancol sebagai kepengurusan ilegal karena dinilai menyalahgunakan identitas Partai Golkar. Sekretaris Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan Menkumham hendaknya tetap berpijak pada pasal 24 dan pasal 25 Undang-undang (UU) Nomor 2/ 2011 tentang Partai Politik (Parpol) yang mengatur tentang perselisihan khusus dan umum di tubuh parpol dan pengesahan kepengurusan parpol.
“Menkumham harus jernih memahami persoalan. Sebab, apa yang disebut dengan Presidium Penyelamat Partai Golkar itu pun ilegal,” kata Bambang Soesatyo di Jakarta kemarin. Bambang mengatakan, dalam Pasal 25 UU Parpol ada empat indikator yang harus terpenuhi secara kumulatif untuk mengualifikasi telah terjadinya perselisihan khusus dalam kepengurusan parpol.
Pertama, perselisihan karena penolakan untuk mengganti kepengurusan. Kedua, penolakan pergantian kepengurusan harus disampaikan secara resmi dalam penyelenggaraan forum pengambilan keputusan tertinggi parpol, seperti munas, kongres, atau muktamar. Ketiga, tentang subjek di mana penolakan pergantian kepengurusan haruslah anggota parpol peserta munas, kongres, atau muktamar.
Keempat, penolakan pergantian kepengurusan harus disuarakan minimal oleh 2/3 peserta munas, kongres, atau muktamar. Ketua DPP Partai Golkar versi Munas Ancol, TB Ace Hasan Syadzily, tidak mau ikut menekan Menkumham dalam menyikapi dualisme kepengurusan Golkar.
Dia meyakini Menkumham akan objektif melihat konflik internal partai berlambang pohon beringin itu. “Kemenkumham tak bisa ditekantekan dalam pengesahan hasil Munas Partai Golkar itu. Apalagi dalam pengesahan itu ditekan- tekan dengan membawa-bawa rakyat,” katanya.
Tuntutan Rekonsiliasi Menguat
Mantan Ketua DPP Partai Golkar Hajriyanto Y Thohari mengusulkan digelar munas rekonsiliasi sebagai penyelesaian atas konflik dua kubu kepengurusan Golkar. Pasalnya, perpecahan antardua kubu dalam Partai Golkar yang semula masih sangat elitis, kini mulai mengalami masifikasi.
“Lihat saja, sudah mulai masuk ke Fraksi Partai Golkar di DPR. Bayangkan jika fraksi yang merupakan perpanjangan tangan partai sudah mulai terbelah juga. Bagaimana nanti kalau menyikapi wacana penggunaan hak interpelasi, Perppu Pilkada, dan lainlainnya,” kata Hajriyanto. Usulan tersebut juga didukung sejumlah kader Golkar lainnya.
Fungsionaris Partai Golkar Taufiq Hidayat mengharapkan adanya rekonsiliasi antara dua pihak di tubuh partai berlambang beringin. Kedua pihak diharapkan bisa menurunkan ego masing-masing. “Melihat perkembangan yang terjadi, saya berpandangan jalan rekonsiliasi adalah sangat baik, kalau berjalan efektif ini akan jalan cepat. Ini akan berdampak baik terhadap proses penyatuan,” ujar Taufiq kemarin.
Meski ada jalan lain yang bisa ditempuh, yakni jalur hukum, rekonsiliasi merupakan jalan yang aman untuk perbaikan dan menyatukan kembali. “Jalan lain ada, menempuh jalur hukum, ini juga ada masalah waktu dan tak dapat diprediksi hasilnya. Oleh karena itu saya mendorong jalan rekonsiliasi untuk kedua kubu,” terangnya.
Harapan adanya rekonsiliasi ini, menurut mantan Ketua Umum PB HMI itu, didasarkan keinginan kuat sebagian besar kader di Partai Golkar. Mayoritas kader ingin rekonsiliasi dan segera bisa melakukan konsolidasi internal untuk menghadapi agenda pilkada di 245 daerah yang semakin dekat.
Rahmat sahid
(ars)