Larangan Rapat PNS di Hotel Dikaji Ulang

Selasa, 09 Desember 2014 - 11:05 WIB
Larangan Rapat PNS di...
Larangan Rapat PNS di Hotel Dikaji Ulang
A A A
JAKARTA - Pemerintah akhirnya bersedia mengkaji kembali keputusan larangan rapat di hotel. Langkah ini diambil untuk merespons keluhan yang disampaikan para pengusaha hotel.

Pemerintah pun menjamin pengusaha hotel nantinya tidak akan merugi. Komitmen itu disampaikan langsung Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Yuddy Chrisnandi setelah mendengar aspirasi dari Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), terutamadari para pekerja hotel dan restoran, melalui Menteri Pariwisata Arief Yahya.

MenurutYuddy, MenteriPariwisatasudahmenyampaikanberbagai alasan keberatan dari kalangan perhotelan menyusul adanya larangan tersebut. ”Kita akan bentuk tim untuk membahas masalah ini. Tim terdiri atas pejabat Kemenpan dan RB serta pejabat Kementerian Pariwisata,” ujar Yuddy di Jakarta kemarin.

Tim yang dibentuk tersebut bersama-sama mengkaji buktibukti otentik mengenai kerugian hotel dan membandingkan dengan kerugian negara akibat banyaknya rapat instansi pemerintah di hotel dan hal-hal lain terkait. Yuddy berjanji akan membicarakan dampak negatif larangan rapat di hotel ini dengan Presiden dan Wakil Presiden.

Kepala Biro Hukum, Humas dan Informasi Publik Kemenpan dan RB Herman Suryatman mengungkapkan pengkajian sudah dilakukan sejak Jumat pekan lalu dan masih berlangsung hingga kini. Dia pun meminta pengusaha tidak khawatir. Meski pemerintah tetap akan melakukan penghematan, usaha perhotelan akan tetap berjalan dengan baik.

Sebelumnya, Kemenpan dan RB mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 10/2011 tentang Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi Kerja, SE Nomor 11/2014 tentang Pembatasan Kegiatan Pertemuan/Rapat di Luar Kantor, dan SE Nomor 13/2014 tentang Gerakan Hidup Sederhana.

SE tersebut yang berisi larangan bagi seluruh jajaran aparatur sipil negara melakukan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan di luar instansi pemerintahan berlaku mulai 1 Desember 2014. SE itu sendiri sudah berlaku efektif. Sekjen Kementerian Perdagangan (Kemandag), misalnya, sejak 1 Desember sudah tidak menggelar rapat di hotel. Sekjen Gunaryo menandaskan, sebagai gantinya Kemendag memaksimalkan penggunaan sarana kantor yang ada.

”Untuk di Jakarta saja ada di empat lokasi. Yang terbesar aula berkapasitas 250 orang. Kita usahakan juga (memanfaatkan) ruang pertemuan punya BUMN,” ujarnya. Tak hanya di pusat, Kemendag juga sudah minta kantor-kantor cabang dan dinas-dinas perdagangan di daerah mengikuti aturan main yang sama. Jika nantinya ada rapat yang melibatkan lebih dari 250 orang, Kemendag juga akan mempertimbangkan efisiensi.

”Awal tahun depan Kemendag akan ada pertemuan besar yang melibatkan semua kepala kantor cabang perdagangan di daerah. Kalau jumlahnya sampai 500 orang, mungkin kami harus bagi dua, di Jakarta dan Surabaya,” ungkapnya. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Aziz mengatakan, setelah pemerintah mengeluarkan larangan, penyelenggaraan rapat dinas di hotel termasuk kegiatan yang merugikan keuangan negara.

”Kalau peraturannya melarang rapat di hotel, maka jika masih ada pemerintah daerah yang rapat di hotel, akan kami masukkan sebagai kerugian negara,” kata Harry seusai acara ”Sosialisasi BPK: Pengelolaan Keuangan Negara dan Kesejahteraan Rakyat” di Kampus Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) kemarin.

Namun, BPK masih memerlukan aturan resmi untuk dapat mengaudit serta memutuskan bahwa penyelenggaraan rapat di hotel oleh pemerintah daerah sebagai kerugian negara. Menurut Harry, kebijakan itu perlu memiliki landasan surat keputusan (SK) yang jelas yang disesuaikan dengan perundangundangan atau APBN Perubahan 2014 karena upaya penghematan belanja dinas juga berkaitan dengan APBN.

Keluhan Hotel


Badan Pimpinan Pusat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (BPP PHRI) telah bersurat kepada Presiden Republik Indonesia mengenai kebijakan larangan menggelar pertemuan dan rapat di hotel. Ketua PHRI Nusa Tenggara Barat I Gusti Lanang Patra di Mataram, Senin, mengungkapkan hal tersebut terkait dengan kondisi yang terjadi saat ini sudah berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah hotel dan restoran di wilayahnya.

”Pengajuan surat sudah dilakukan, tujuannya agar kebijakan itu dapat dipertimbangkan kembali karena dampaknya secara langsung sudah dirasakan oleh produk pariwisata di sejumlah daerah,” katanya. Dia mengaku kebijakan tersebut telah memengaruhi okupansi dan pendapatan produk pariwisata, terutama untuk meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE). Di NTB, penurunan mencapai 30-40%.

Akibat penurunan tersebut, banyak pengusaha hotel dan restoran kesulitan membayar gaji. ”Gaji tidak mungkin diturunkan karena sudah ada batasan yang ditetapkan pemerintah. Oleh sebab itu, sejumlah pihak perhotelan dan restoran terpaksa melakukan PHK kepada karyawannya. Mau tidak mau, tindakan itu dilakukan. Kalau dipertahankan, perusahaan akan rugi,” ujarnya.

Lebih jauh Gusti Lanang mengaku menerima laporan dari sejumlah pihak perhotelan di wilayah NTB yang kecewa karena banyak instansi pemerintah membatalkan pesanan. Padahal, kata dia, bulan Desember biasanya menjadi ajang pihak perhotelan dan restoran untuk meningkatkan okupansi dan pendapatannya.

”Tutup tahun biasanya ramai, tetapi kebijakan itu membuat pihak perhotelan dan restoran harus lebih kerja keras lagi dalam mempertahankan pasarnya,” ucapnya. Senada, Ketua PHRI Kota Batu, Jawa Timur, Uddy Syaifuddin mengaku aturan pemerintah tersebut telah mengakibatkan penurunan omzet hingga 40% lebih. Bahkan, seluruh agenda PNS rapat di hotel tahun 2015 dibatalkan.

Jika pendapatan hotel terus menurun, tidak menutup kemungkinan akan terjadi PHK karyawan karena pengusaha (pemilik) tidak mampu lagi menggaji karyawan dan memenuhi kebutuhan biaya operasional lainnya. ”Saat ini jumlah karyawan yang tersebar di sejumlah hotel d Kota Batu mencapai 4.500 orang. Kalau hotel tutup atau dijual, bagaimana nasib mereka, sebab selama ini kebutuhan hidup mereka menggantungkan penghasilan dari hotel,” katanya.

Dia lantas menuturkan, berdasarkan data PHRI, sebelum ada SE Menpan dan RB, hotelhotel yang memiliki ruang pertemuan setiap Senin hingga Kamis selalu penuh agenda rapat, untuk hari Sabtu dan Minggu untuk kegiatan wisata. ”Kami akan memperjuangkan hakhak kami untuk berusaha sekaligus keberlangsungan kerja karyawan,” tegasnya.

Uddy berharap sambil mencari jalan keluar yang tidak merugikan dan berbuah PHK, penerapan SE Menpan dan RB diundur dan diberlakukan pada 2016. ”Kalau tetap diberlakukan, kami minta diberi waktu agar tidak mendadak seperti ini. Bayangkan kegiatan Desember yang sudah terjadwal dibatalkan semua,” tegasnya.

Ketua PHRI Kota Malang Herman Sediyono meminta SE tersebut dikaji ulang karena berpotensi banyak hotel gulung tikar. ”Pendapatan hotel dari agenda rapat dan kegiatan pemerintah (PNS) cukup besar. Namun dengan adanya larangan ini, pendapatan hotel akan turun drastis, bahkan tidak menutup kemungkinan banyak hotel yang gulung tikar,” tandasnya.

Kalaupun masih ada sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) menggelar acara di hotel, lanjutnya, itu karena reservasinya dilakukan jauh-jauh hari sebelum SE Menteri turun. ”Tapi yang reservasi pada Desember ini sudah tidak ada, padahal menjelang akhir tahun yang biasanya banyak kegiatan di pemerintahan,” ujarnya.

Sementara itu Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang MICE Toton Hutomi mengatakan pelarangan PNS rapat di hotel memang pasti akan menimbulkan gejolak, setidaknya dalam enam bulan pertama. Tapi, ia meyakini setelah itu semua pihak akan bisa menyesuaikan. ”Kalau saat ini hotel-hotel pada menjerit itu wajar, tapi nanti kan pasti ada adjustment,” ujarnya kepada KORAN SINDO.

Toton berempati terhadap kondisi hotel-hotel yang dikabarkan telah merugi akibat kebijakan ini. Namun di sisi lain kebijakan ini juga bisa menjadi semacam otokritik bagi perhotelan yang mungkin selama ini terlena atau ada ketergantungan yang besar pada pasar dari kalangan instansi pemerintahan.

”Ini bisa menjadi momen bagi perhotelan untuk melakukan perubahan mindset bahwa masih ada pasar di luar pemerintahan, baik itu perusahaan swasta, seminar-seminar internasional maupun lainnya yang selama ini mungkin belum tersentuh. Apalagi di era penuh persaingan seperti sekarang, hotel dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif mengemas produk dan jasanya,” tuturnya.

Neneng zubaedah/Inda susanti/Ant
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0747 seconds (0.1#10.140)