Joglo Tani: Ojo Gelo Dadi Petani

Minggu, 07 Desember 2014 - 10:52 WIB
Joglo Tani: Ojo Gelo Dadi Petani
Joglo Tani: Ojo Gelo Dadi Petani
A A A
Mengusung wahana pembelajaran pertanian terpadu Joglo Tani, TO berupaya mencetak petani ahli. Sejak didirikan pada 2008, Joglo Tani dikunjungi sekitar seribu petani per bulan.

Para petani tersebut datang dari berbagai daerah di Indonesia bahkan luar negeri untuk studi banding. Metode pertanian terpadu yang diterapkan Joglo Tani memicu daerah lain untuk meniru metode serupa. Sebut saja Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Medan, Aceh, Lampung, sepanjang Jawa Barat hingga Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, serta Papua.

Joglo Tani, jelas TO, merupakan singkatan dari ojo geloh dadi petani(jangan kecewa jadi petani). Di sini, para petani dilatih untuk mengembangkan hasil pertanian dan berbisnis. Dengan begitu, mereka bisa hidup lebih sejahtera. Melalui wadah ini, TO ingin menyebarkan “virus” bahwa menjadi petani di Indonesia itu sangat menjanjikan.

Saking giatnya melakukan berbagai program sebagai implementasi visi memerdekakan petani, TO pernah menomorduakan keluarga. Pada 1999-2007, TO berkeliling Indonesia mencari banyak anak muda guna dikuliahkan di Institut Pertanian Yogyakarta. “Saya hanya satu-dua hari di rumah kemudian keliling lagi,” tutur pria kelahiran Sleman, 30 Januari 1957 ini.

Untunglah Tutik, sang istri, benarbenar mengerti visi suaminya. Dia sangat mendukung perjuangan TO dan rela sering ditinggal bepergian sepanjang delapan tahun. Tutik bahkan tak mempermasalahkan keputusan TO untuk berhenti bekerja sebagai guru kemudian beralih mengurusi petani di Indonesia yang tidak jelas penghasilannya.

“Istri saya sosok yang luar biasa. Dia hanya mengingatkan agar saya bisa menjadi imam dan kepala keluarga yang bertanggungjawab. Menjadi ayah dan suami yang bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga,” ucap ayah dari Amboro dan Bagus ini. Meski begitu, TO pernah mendapat protes dari anak bungsunya, Bagus.

Karena jarang bertemu ayahnya di rumah, Bagus yang saat itu masih duduk di bangku SMP sempat mempertanyakan pekerjaan TO. “Istri saya hanya menjawab ‘Bapak sering ikut rapat’. Bagus nyeletuk ‘ganti saja pekerjaan bapak di KTP jadi rapat’. Secara batin, saya sempat terpukul mendengarnya. He he,” tutur pria yang pernah menjadi wasit sepak bola nasional ini.

TO merasa hal itu merupakan teguran dari Tuhan. Pada 2007, dia pun memutuskan pulang dengan membawa 85 anak sebagai angkatan pertama Institut Pertanian Yogyakarta. Hingga saat ini, TO masih berkeliling Nusantara untuk mencari bibit-bibit muda calon petani profesional.

Petani yang bangga menjadi petani dan membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain. “Maka sekarang, 20 hari di rumah 10 hari keliling ke daerah-daerah. Jangan sampai seolah-olah pahlawan di luar tapi pecundang di dalam rumah. Keluarga tetap harus menjadi yang utama,” tandasnya.

Ema malini
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1227 seconds (0.1#10.140)