KontraS: Pelaporan Aparat Pelaku Penyiksaan Terkendala Sistem
A
A
A
JAKARTA - Praktik-praktik penyiksaan di Indonesia yang dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti anggota Polri, TNI dan petugas Lapas masih terus terjadi.
Dalam dokumentasi KontraS, tercatat ada kenaikan yang sangat signifikan dalam empat tahun terakhir. Bahkan, pada periode 2013-2014 tercatat ada 108 peristiwa.
Kepala Divisi Sipil Politik KontraS Putri Kanesia mengatakan, terdapat sejumlah kendala yang terjadi terkait mekanisme pelaporan terhadap kasus penyiksaan di Indonesia. Pertama, terkait mekanisme hukum.
Menurut Putri, dari beberapa kasus yang diadvokasi KontraS, pelaporan terhadap peristiwa praktik penyiksaan selalu terkendala dengan belum adanya regulasi yang mengatur tindak pidana penyiksaan dalam KUHP.
Selain itu, lanjut Putri, mekanisme pelaporan terhadap pelaku harus didahului dengan mekanisme internal (kode etik). "Dan faktanya, seringkali setelah mekanisme internal selesai dilakukan, prosesnya tidsk dilanjutkan ke mekanisme pidana," kata Putri di Kantor KontraS, Jalan Borobudur, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/12/2014).
Kedua, mekanisme internal administratif. Putri menuturkan, kesulitan terjadi ketika pelaporan kasus penyiksaan harus dilakukan di institusi dimana sang pelaku bertugas.
"Seperti Polri di Propam, atau TNI pada Detasemen Polisi Militer, sangat diragukan independensi dan transparansi dari lembaga tersebut dalam menindaklanjuti laporan dari korban," tandas Putri.
Ketiga, terkait mekanisme pengawasan. KontraS menilai, mekanisme ini merupakan solusi alternatif dalam melaporkan peristiwa praktik penyiksaan.
Namun, seringkali keberadaan lembaga-lembaga pengawas seperti Komnas HAM, Kompolnas, dan Ombudsman hanya mampu memberikan rekomendasi tanpa adanya upaya paksa untuk menindak para pelaku penyiksaan.
"Presiden Jokowi harus segera turun tangan dan bertindak tegas atas peristiwa penyiksaan ini," pungkas Putri.
Dalam dokumentasi KontraS, tercatat ada kenaikan yang sangat signifikan dalam empat tahun terakhir. Bahkan, pada periode 2013-2014 tercatat ada 108 peristiwa.
Kepala Divisi Sipil Politik KontraS Putri Kanesia mengatakan, terdapat sejumlah kendala yang terjadi terkait mekanisme pelaporan terhadap kasus penyiksaan di Indonesia. Pertama, terkait mekanisme hukum.
Menurut Putri, dari beberapa kasus yang diadvokasi KontraS, pelaporan terhadap peristiwa praktik penyiksaan selalu terkendala dengan belum adanya regulasi yang mengatur tindak pidana penyiksaan dalam KUHP.
Selain itu, lanjut Putri, mekanisme pelaporan terhadap pelaku harus didahului dengan mekanisme internal (kode etik). "Dan faktanya, seringkali setelah mekanisme internal selesai dilakukan, prosesnya tidsk dilanjutkan ke mekanisme pidana," kata Putri di Kantor KontraS, Jalan Borobudur, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (6/12/2014).
Kedua, mekanisme internal administratif. Putri menuturkan, kesulitan terjadi ketika pelaporan kasus penyiksaan harus dilakukan di institusi dimana sang pelaku bertugas.
"Seperti Polri di Propam, atau TNI pada Detasemen Polisi Militer, sangat diragukan independensi dan transparansi dari lembaga tersebut dalam menindaklanjuti laporan dari korban," tandas Putri.
Ketiga, terkait mekanisme pengawasan. KontraS menilai, mekanisme ini merupakan solusi alternatif dalam melaporkan peristiwa praktik penyiksaan.
Namun, seringkali keberadaan lembaga-lembaga pengawas seperti Komnas HAM, Kompolnas, dan Ombudsman hanya mampu memberikan rekomendasi tanpa adanya upaya paksa untuk menindak para pelaku penyiksaan.
"Presiden Jokowi harus segera turun tangan dan bertindak tegas atas peristiwa penyiksaan ini," pungkas Putri.
(kri)