Ketika Imigran Menjadi Ancaman
A
A
A
Imigrasi besar-besaran sudah terjadi sejak Revolusi Prancis pada dekade 1970-an. Kini jumlah imigran semakin tidak terkendali sehingga memunculkan sejumlah konflik sosial di sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Revolusi Prancis yang mengubah tatanan masyarakatnya menimbulkan efek domino di wilayah Eropa.
Berbagai ide pencerahan yang digaungkan para ilmuwan Prancis memantik terjadinya pembangkangan para pekerja yang menyerukan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Hampir seluruh masyarakat Eropa mulai mengakui tidak ada ras yang lebih baik maupun budaya yang harus lebih diagungkan. Sejak saat itu pula, banyak orang di belahan dunia lain ingin mencicipi nikmatnya kesetaraan.
Migrasi atau perpindahan penduduk kemudian bermunculan. Para imigran yang datang dari Afrika dan Asia menempuh ratusan kilometer dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di sejumlah negara maju, terutama di dataran Eropa. Bekerja sebagai buruh kasar atau pekerja kelas bawah dilakukan demi mendapatkan sekantung makanan. Kendati para imigran yang datang hanya menjadi pekerja kelas bawah, mereka mengaku lebih bahagia dibanding harus berjuang di negerinya sendiri yang gersang.
Di tengah imigran yang hidup serbasulit, faktanya ada juga menuai sukses dan kemudian memutuskan untuk melupakan tanah kelahirannya. Kesejahteraan inilah yang kemudian memancing semakin banyaknya imigran yang datang ke Eropa, khususnya Spanyol, Prancis, Portugal, dan Italia, lantaran posisinya yang berada di garis perbatasan dengan Afrika.
Di Spanyol, misalnya, berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja dan Imigrasi Spanyol, pada 2009 saja tercatat ada 5,5 juta orang asing yang tinggal di Spanyol, baik yang resmi mengantongi izin tinggal maupun yang ilegal. Para imigran tersebut 38% berasal dari negara-negara Uni Eropa seperti Rumania, 30% dari AmerikaLatinseperti Ekuador, 20% berasal dari Afrika dengan mayoritas berasal dari Maroko.
Sedangkan kota-kota Spanyol yang biasanya menjadi tujuan imigran adalah Catalunya, Madrid, Andalusia, dan Valencia. Sisanya tersebar di beberapa wilayah kecil seperti Canarias, Murcia, dan Baleares. Bidang pekerjaan yang menjadi incaran para imigran di antaranya konstruksi, pertanian, sektor jasa dan industri. Pada awalnya, kedatangan mereka memang membantu perekonomian Spanyol.
Namun semakin banyaknya imigran yang datang, nyatanya membuat kepadatan penduduk hanya terkonsentrasi pada satu wilayah. Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat (AS), tepatnya ketika PD II berakhir, banjir imigran mulai terasa ketika salah satu negara di Afrika Utara, yakni Tunisia, mengalami pergolakan politik. Perang dan makin menipisnya cadangan makanan membuat warga Tunisia berbondong- bondong hijrah ke AS.
Kedatangan mereka kemudian mendorong warga Afrika lainnya untuk hijrah ke AS, disusul kemudian warga Timur Tengah yang merasa tidak nyaman lagi hidup di gurun dengan perang yang tak berkesudahan. Miami adalah kota yang menempati peringkat satu jumlah imigran terbanyak di AS, mencapai 1,9 juta (36%) dari seluruh presentasi penduduk AS. Sebagian besar dari mereka berasal dari Amerika Latin.
Selain Miami, kota-kota lain yang menjadi tujuan para imigran adalah San Jose, Los Angeles, San Francisco, New York, Chicago, Dallas, Washington, Houston, dan Las Vegas. Tapi nyatanya bukan hanya Eropa dan AS yang mengalami hal ini. Australia, sebuah benua yang berada di antara Samudra Hindia dan Pasifik, juga menjadi incaran para imigran yang berasal dari negara-negara Asia Selatan seperti dari Pakistan dan Afghanistan.
Gelombang imigrasi pertama di Australia terjadi pada 1788, dengan hampir 10 juta imigran memulai hidup baru di Australia. Puluhan juta imigran tersebut merupakan tahanan Kerajaan Inggris. Pemerintah Inggris terpaksa membuang mereka ke Benua Kanguru lantaran kondisi penjara di Inggris sudah melebihi kapasitas. Namun, daerah yang menjanjikan tampaknya membuat para mantan narapidana itu justru dapat memulai kehidupan yang lebih baik.
Hingga akhirnya Australia pun menjadi tujuan para imigran. Antara tahun 1793 dan 1850, tercatat ada hampir 200.000 pemukim bebas memilih bermigrasi ke Australia. Mayoritas adalah pekerja pertanian Inggris atau pembantu rumah tangga yang kalah berebut lahan kerja dengan orang-orang Irlandia dan Skotlandia. Gelombang imigran muncul kembali pada 1850 ketika ribuan orang China berlabuh ke Australia dengan tujuan mencari emas.
Dan ketika emas habis, mereka memutuskan untuk menetap di Australia dengan bekerja di perkebunan, pasar, restoran, dan binatu. Kehidupan yang nyaman dan banyaknya lapangan kerja membuat orang-orang di negara Asia lainnya tertarik menjadi warga negara Australia. Spanyol, AS, dan Australia adalah negara dan benua yang menjadi dambaan semua imigran karena menawarkan pekerjaan yang melimpah.
Sayangnya, keinginan mereka jauh lebih banyak dibanding pekerjaan yang bisa diciptakan ketiga negara tersebut di masa depan. Kepadatan Imigran sudah mulai memperlihatkan dampaknya. Salah satunya adalah perebutan lapangan kerja. Buruknya peraturan negara yang terkait imigran semakin menyulitkan para penduduk asli untuk bertahan di negeri sendiri.
Nahasnya, pajak yang dikumpulkan dari para penduduk asli ini nyatanya digunakan untuk membuat penampungan sementara bagi para imigran gelap yang setiap tahun jumlahnya meningkat pesat. Pajak dari para imigran ini dapat menutup defisit negara yang terjadi karena melonjaknya konsumsi warga asli untuk pendidikan, kesehatan dan perumahan.
Tapi sebenarnya hal ini tidak sebanding dengan berbagai permasalahan sosial yang muncul karena konflik budaya. Rasisme dan pembunuhan membanjiri banyak pemberitaan media massa yang pelakunya sebagian besar adalah imigran. Konflik biasanya terjadi karena perbedaan budaya dan perilaku orang-orang yang tinggal dalam satu kawasan. Intoleransi yang rendah dan perebutan lahan kerja semakin membuat konflik itu melebar.
Jika dulu Eropa, Amerika, dan Australia membutuhkan para pekerja untuk melakukan berbagai pekerjaan kasar, kini mereka justru berusaha mengusir para imigran yang dianggap tidak produktif lagi. Diperlukan sebuah kebijakan yang dapat menyelamatkan semua orang, yakni kaum pribumi dan para imigran.
Seperti yang dilakukan Presiden AS Barack Obama, dia berencana memberikan izin kerja dan tinggal pada jutaan imigran ilegalnya. Mungkin kebijakan ini bukanlah yang terbaik, namun dapat menekan imigran yang tidak memiliki pekerjaan sehingga mampu memberikan pemasukan bagi keuangan negara dari sektor pajak.
“Kebijakan Obama akan mendorong para pengusaha menurunkan upahnya dan membuat warga Amerika sendiri sulit mendapatkan hidup layak karena mereka harus bersaing dengan para imigran yang bersedia dibayar rendah,” kata Juru Bicara Senate Budget Committee Stephen Miller dilansir The Hill .
Rini agustina
Revolusi Prancis yang mengubah tatanan masyarakatnya menimbulkan efek domino di wilayah Eropa.
Berbagai ide pencerahan yang digaungkan para ilmuwan Prancis memantik terjadinya pembangkangan para pekerja yang menyerukan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Hampir seluruh masyarakat Eropa mulai mengakui tidak ada ras yang lebih baik maupun budaya yang harus lebih diagungkan. Sejak saat itu pula, banyak orang di belahan dunia lain ingin mencicipi nikmatnya kesetaraan.
Migrasi atau perpindahan penduduk kemudian bermunculan. Para imigran yang datang dari Afrika dan Asia menempuh ratusan kilometer dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik di sejumlah negara maju, terutama di dataran Eropa. Bekerja sebagai buruh kasar atau pekerja kelas bawah dilakukan demi mendapatkan sekantung makanan. Kendati para imigran yang datang hanya menjadi pekerja kelas bawah, mereka mengaku lebih bahagia dibanding harus berjuang di negerinya sendiri yang gersang.
Di tengah imigran yang hidup serbasulit, faktanya ada juga menuai sukses dan kemudian memutuskan untuk melupakan tanah kelahirannya. Kesejahteraan inilah yang kemudian memancing semakin banyaknya imigran yang datang ke Eropa, khususnya Spanyol, Prancis, Portugal, dan Italia, lantaran posisinya yang berada di garis perbatasan dengan Afrika.
Di Spanyol, misalnya, berdasarkan data Departemen Tenaga Kerja dan Imigrasi Spanyol, pada 2009 saja tercatat ada 5,5 juta orang asing yang tinggal di Spanyol, baik yang resmi mengantongi izin tinggal maupun yang ilegal. Para imigran tersebut 38% berasal dari negara-negara Uni Eropa seperti Rumania, 30% dari AmerikaLatinseperti Ekuador, 20% berasal dari Afrika dengan mayoritas berasal dari Maroko.
Sedangkan kota-kota Spanyol yang biasanya menjadi tujuan imigran adalah Catalunya, Madrid, Andalusia, dan Valencia. Sisanya tersebar di beberapa wilayah kecil seperti Canarias, Murcia, dan Baleares. Bidang pekerjaan yang menjadi incaran para imigran di antaranya konstruksi, pertanian, sektor jasa dan industri. Pada awalnya, kedatangan mereka memang membantu perekonomian Spanyol.
Namun semakin banyaknya imigran yang datang, nyatanya membuat kepadatan penduduk hanya terkonsentrasi pada satu wilayah. Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat (AS), tepatnya ketika PD II berakhir, banjir imigran mulai terasa ketika salah satu negara di Afrika Utara, yakni Tunisia, mengalami pergolakan politik. Perang dan makin menipisnya cadangan makanan membuat warga Tunisia berbondong- bondong hijrah ke AS.
Kedatangan mereka kemudian mendorong warga Afrika lainnya untuk hijrah ke AS, disusul kemudian warga Timur Tengah yang merasa tidak nyaman lagi hidup di gurun dengan perang yang tak berkesudahan. Miami adalah kota yang menempati peringkat satu jumlah imigran terbanyak di AS, mencapai 1,9 juta (36%) dari seluruh presentasi penduduk AS. Sebagian besar dari mereka berasal dari Amerika Latin.
Selain Miami, kota-kota lain yang menjadi tujuan para imigran adalah San Jose, Los Angeles, San Francisco, New York, Chicago, Dallas, Washington, Houston, dan Las Vegas. Tapi nyatanya bukan hanya Eropa dan AS yang mengalami hal ini. Australia, sebuah benua yang berada di antara Samudra Hindia dan Pasifik, juga menjadi incaran para imigran yang berasal dari negara-negara Asia Selatan seperti dari Pakistan dan Afghanistan.
Gelombang imigrasi pertama di Australia terjadi pada 1788, dengan hampir 10 juta imigran memulai hidup baru di Australia. Puluhan juta imigran tersebut merupakan tahanan Kerajaan Inggris. Pemerintah Inggris terpaksa membuang mereka ke Benua Kanguru lantaran kondisi penjara di Inggris sudah melebihi kapasitas. Namun, daerah yang menjanjikan tampaknya membuat para mantan narapidana itu justru dapat memulai kehidupan yang lebih baik.
Hingga akhirnya Australia pun menjadi tujuan para imigran. Antara tahun 1793 dan 1850, tercatat ada hampir 200.000 pemukim bebas memilih bermigrasi ke Australia. Mayoritas adalah pekerja pertanian Inggris atau pembantu rumah tangga yang kalah berebut lahan kerja dengan orang-orang Irlandia dan Skotlandia. Gelombang imigran muncul kembali pada 1850 ketika ribuan orang China berlabuh ke Australia dengan tujuan mencari emas.
Dan ketika emas habis, mereka memutuskan untuk menetap di Australia dengan bekerja di perkebunan, pasar, restoran, dan binatu. Kehidupan yang nyaman dan banyaknya lapangan kerja membuat orang-orang di negara Asia lainnya tertarik menjadi warga negara Australia. Spanyol, AS, dan Australia adalah negara dan benua yang menjadi dambaan semua imigran karena menawarkan pekerjaan yang melimpah.
Sayangnya, keinginan mereka jauh lebih banyak dibanding pekerjaan yang bisa diciptakan ketiga negara tersebut di masa depan. Kepadatan Imigran sudah mulai memperlihatkan dampaknya. Salah satunya adalah perebutan lapangan kerja. Buruknya peraturan negara yang terkait imigran semakin menyulitkan para penduduk asli untuk bertahan di negeri sendiri.
Nahasnya, pajak yang dikumpulkan dari para penduduk asli ini nyatanya digunakan untuk membuat penampungan sementara bagi para imigran gelap yang setiap tahun jumlahnya meningkat pesat. Pajak dari para imigran ini dapat menutup defisit negara yang terjadi karena melonjaknya konsumsi warga asli untuk pendidikan, kesehatan dan perumahan.
Tapi sebenarnya hal ini tidak sebanding dengan berbagai permasalahan sosial yang muncul karena konflik budaya. Rasisme dan pembunuhan membanjiri banyak pemberitaan media massa yang pelakunya sebagian besar adalah imigran. Konflik biasanya terjadi karena perbedaan budaya dan perilaku orang-orang yang tinggal dalam satu kawasan. Intoleransi yang rendah dan perebutan lahan kerja semakin membuat konflik itu melebar.
Jika dulu Eropa, Amerika, dan Australia membutuhkan para pekerja untuk melakukan berbagai pekerjaan kasar, kini mereka justru berusaha mengusir para imigran yang dianggap tidak produktif lagi. Diperlukan sebuah kebijakan yang dapat menyelamatkan semua orang, yakni kaum pribumi dan para imigran.
Seperti yang dilakukan Presiden AS Barack Obama, dia berencana memberikan izin kerja dan tinggal pada jutaan imigran ilegalnya. Mungkin kebijakan ini bukanlah yang terbaik, namun dapat menekan imigran yang tidak memiliki pekerjaan sehingga mampu memberikan pemasukan bagi keuangan negara dari sektor pajak.
“Kebijakan Obama akan mendorong para pengusaha menurunkan upahnya dan membuat warga Amerika sendiri sulit mendapatkan hidup layak karena mereka harus bersaing dengan para imigran yang bersedia dibayar rendah,” kata Juru Bicara Senate Budget Committee Stephen Miller dilansir The Hill .
Rini agustina
(ars)