Pembebasan Pollycarpus Kecewakan Masyarakat

Senin, 01 Desember 2014 - 10:33 WIB
Pembebasan Pollycarpus Kecewakan Masyarakat
Pembebasan Pollycarpus Kecewakan Masyarakat
A A A
JAKARTA - Pembebasan bersyarat terpidana pembunuhan Munir, Pollycarpus Budihari Prijanto, menuai kekecewaan masyarakat.

Kebijakan ini dinilai menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di era pemerintahan saat ini. Wakil Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Chrisbiantoro mengaku kecewa dengan pembebasan bersyarat Pollycarpus yang dikabulkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM). Menurut dia, Kemenkum HAM hanya memperhatikan aspek syarat formal.

”Kita menganggap Surat Keputusan (SK) Kemenkum HAM hanya memperhatikan aspek normatif tanpa materi hukum,” katanya kemarin. Dia mengatakan, pembebasan bersyarat dikeluarkan tanpa mempertimbangkan nasib ke depan pengungkapan kasus pembunuhan Munir. Ini juga menutup peluang kasus ini terbongkar secara tuntas. ”Saya pikir ini terlalu sewenangwenang dalam pembebasan bersyarat. Kita kecewa. MA (Mahkamah Agung) ini seperti lembaga yang mencuci dosa Pollycarpus,” ucap dia.

Karena itu, menurut dia, keputusan ini preseden yang sangat buruk bagi penegakan hukum di Indonesia. Dia curiga keputusan untuk memberikan kebebasan bersyarat bermuatan politis. ”Kasus Munir terjadi waktu PDIP berkuasa. Lalu, PDIP berkuasa Polly dibebaskan. Ini kenapa?” katanya. KontraS berencana bertemu Jaksa Agung HM Prasetyo untuk melakukan peninjauan kembali (PK) terkait putusan MA atas Pollycarpus.

Dalam peninjauan kembali, MA memvonis Pollycarpus 14 tahun penjara setelah sebelumnya divonis 20 tahun. Pihaknya juga akan ke Mabes Polri untuk meminta kembali menghidupkan Tim Munir. ”Itu (pengungkapan kasus Munir) dulu pernah ada,” kata dia. Chrisbiantoro mengaku juga akan berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). KontraS akan menagih janji sejauh mana keseriusan pemerintah dalam menuntaskan kasus pembunuhan Munir.

”Kita sudah ke (Presiden) Jokowi. Waktu ada Rumah Transisi, semua berkas kasus Munir sudah kita berikan ke dia (Presiden). Termasuk laporan tim pencari fakta. Mereka berjanji menelusuri. Kita akan tagih sejauh mana mempelajari yang sudah kita berikan,” ungkap dia. Pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan aturan pembebasan bersyarat yang sudah dipenuhi Pollycarpus sebuah realitas. Namun, secara substansi perkara pembunuhan Munir belum terungkap.

”Artinya operator di lapangan sudah tertangkap. Pelaku intelektual ini yang jadi soal. Ini yang jadi persoalan di masyarakat,” kata dia. Menurut dia, seharusnya Kemenkum HAM lebih peka dengan apa yang menjadi persoalan di masyarakat. Masyarakat menginginkan pelaku intelektual dari pembunuh Munir ditangkap.

”Padahal di fakta persidangan itu ada rangkaian kejadian. Itu harusnya pemerintah dalam hal ini Kemenkum HAM peka sehingga pembebasan bersyarat juga ditahan dulu saja,” ucapnya. Abdul mengatakan akan lebih baik jika pembebasan bersyarat dikabulkan setelah aktor intelektual ditangkap.

Pengungkapan kasus Munir memang tetap bisa berjalan sekalipun pembebasan bersyarat dilakukan. Namun, tidak akan maksimal karena aktor-aktor yang sebenarnya terlibat akan bebas. ”Ini soal kemauan politik untuk menuntaskan. Kuncinya mau atau tidak pemerintah dan penegak hukum menyelesaikan,” ungkapnya.

Kasus ini juga menjadi momen pembuktian bagi Jaksa Agung HM Prasetyo terkait independensinya dalam menuntaskan kasus HAM. Politikus PDIP, Eva Kusuma Sundari, mengatakan pembebasan bersyarat Pollycarpus merupakan kelanjutan dari proses pengajuan di pemerintahan sebelumnya. Pembebasan bersyarat ini seharusnya sudah berhak pada masa pilpres lalu.

”Harus dipahami ini pada posisi di ujung tahun relatif melaksanakan kebijakan pemerintah sebelumnya termasuk dalam kaitan izin administrasi pembebasan Pollycarpus. Kemudian eksekusinya baru sekarang,” katanya. Meski begitu, dia yakin Menkumham Yasonna H Laoly sudah pasang kuping tentang apa yang diinginkan masyarakat dan ini bisa dikaji ulang. Eva menambahkan, dalam kasus Munir tidak hanya tereduksi pada Pollycarpus.

Paling penting adalah Kejaksaan Agung harus responsif untuk menuntaskan kasus ini. ”Tuntutan bukan sekadar Pollycarpus, tapi harus diungkap siapa pelaku intelektualnya,” kata dia. Terkait anggapan ada motif politik, Eva mengatakan, pembebasan bersyarat berkaitan dengan hitungan teknis yang mana setiap narapidana berhak mendapatkan itu.

”Kalau memenuhi syarat tidak dikabulkan, pemerintah bisa dituntut. Ini ada aturannya,” katanya. Sebelumnya Pollycarpus mengaku senang akhirnya menghirup udara bebas setelah menjalani delapan tahun masa hukuman dari vonis 14 tahun. Mantan pilot Garuda Indonesia itu keluar dari Lapas Sukamiskin Bandung pada Sabtu (29/ 11) setelah mendapat pembebasan bersyarat.

”Mengenai ada yang protes atau tidak, saya kira kita semua sudah melalui proses jalur hukum. Silakan saja melihat prosedur hukum yang kita jalani,” kata Pollycarpus saat keluar dari lapas.

Dita angga
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7872 seconds (0.1#10.140)