Hanya Seorang Ibu
A
A
A
Di sinilah Tere atau yang bernama lengkap Theresia Agustina Sitompul berusaha mengingatkan. Siapakah engkau wahai perempuan? Siapakah anak yang kau lahirkan itu? Siapakah ibu yang melahirkanmu? Dan pertanyaanpertanyaan lainnya yang sering mencuat begitu saja tanpa disadari.
Semua ini seolah-olah ingin dijawab melalui karya-karya grafis dari proses karbon yang dicap dengan proses kemiripan tingkat tinggi yang akhirnya menghasilkan buih-buih pikiran kita tentang diri seorang perempuan. Ada 30 karya seni grafis yang ditampilkan dalam pameran yang berlangsung sejak 20 November lalu hingga hari ini (30/11) di Bentara Budaya Jakarta (BBJ).
Lima karya dituangkan dalam pigura yang cukup besar. Lalu 15 karya seni grafis dalam bentuk pigura yang lebih kecil. Lalu tujuh karya seni grafis dalam bentuk lembaran kertas digantung. Serta 10 tiang penyangga sebuah buku yang terbuat dari beberapa lembaran kertas mi-nyak yang diberi nama Counsel.
Tere memanfaatkan karbon sebagai medium monoprint untuk mengeblat barang-barang miliknya. Seperti baju kebaya, rok, jins, celana dalam, bra, kaos dalam, baju dalam dan kaos kaki. Tak hanya itu, baju-baju milik anak dan ibunya pun ikut diangkut juga. Dikeluarkan dari lemari untuk ikut-ikutan dikarbon. Barangbarang ini biasanya bisa mengidentifikasi sebagai perempuan.
Dengan mengeblat sisi luar aneka macam baju (baju luar dan baju dalam), tersirat bayangan tubuh pemakainya pada hasil blat-blatan itu. Pakaian harian Tere menghasilkan bayangan bentuk dan aura estetik tubuh Tere. Lalu baju princess panjang favorit si buah hati, Blora, menghasilkan kemungilan tubuh sang anak.
Begitu pula baju almarhum ibunya yang akan membuat kita membayangkan kembali tubuh ibunda Tere semasa masih hidup. Lalu apa sebenarnya tujuan mengeblat atau mengarbon baju-baju itu? “Selalu ada yang sadar dan tidak sadar pada karyaku,” ujar Tere.
Menurut kurator Hendro Wiyanto, yang menulisnya dengan menggunakan crayon berwarna biru tua milik anaknya di dinding pameran, teknik mencap menghasilkan cetakan yang lebih kabur seperti jejak-jejak tipis yang tidak sama rata pada bidang permukaan. Kalau hasil cetakan selalu berambisi untuk mencapai kepersisan, mengarbon sebaliknya lebih dekat dengan kesamaran, menghasilkan gambar-gambar yang mirip dengan bayang-bayang goyah dan bergetar.
Jejak barang-barang pribadi yang dikarbon itulah yang memproduksi samudera-samudera kecil kebiruan, aneka bentuk dan lekuk, mengambang halus di permukaan kertasnya. Tere mengangkatnya secara apik dalam berbagai karya grafisnya. Seperti karya berjudul Fitting #04 .
Di sini terlihat bentuk rok mini yang dipasang secara terbalik, sedangkan di belakangnya terdapat bentuk kaki figur perempuan yang sedang berdiri. Rok mini dicap melalui karbon berwarna biru langit. Bukan dicetak melainkan di cap. Apa bedanya? Untuk semua karya karbonnya yang ditampilkan dalam pigura yang cukup besar hanya diberi nama Fitting #01 hingga #05.
Ukurannya pun satu jenis, yakni 100 x 70 sentimeter. Masih tentang rok mini, di karya berjudul Fitting #05, tampak sebuah rok mini yang terpasang terbalik sedang dipegang oleh dua perempuan. Adapun untuk karyanya yang berukuran agak kecil, yakni 49 x 70 sentimeter memiliki bentuk oval seperti telur. Salah satu yang menarik adalah karya berjudul Jalani (Live It).
Di sini terlihat ibu dengan rok terangkat, di mana bocah perempuan bersembunyi di sana dan di sebelah perempuan ibu ada gambar serigala melolong. Lalu ada pula ukuran kecil lainnya, yakni 50 x 35 sentimeter. Salah satu karyanya yakni berjudul Sampai matahari tenggelam dan terbit kembali. Karya yang menampilkan seorang figur ibu dengan sang anak yang kepalanya masuk ke dalam rok panjang yang dipakai ibunya.
Selain karya grafis, pengunjung akan berjumpa dengan sepuluh buah objek buku yang tebal dan kokoh. Seluruh halaman, beratus-ratus halaman membentuk satu buku. Buku itu satu, tetapi juga jamak “ibu”, “ibuku” dan “buku” rupanya memiliki kemiripan bunyi dan bisa juga menjadi permainan yang me-narik bagi sang pengarbon.
Pemenang ke-3 Kompetisi Triena Seni Grafis Indonesia IV yang diselenggarakan Bentara Budaya Jakarta pada 2012 lalu ini hendak mengajak kita pulang ke rumah yang lebih dalam. Pulang ke rumah ibu, kembali pada halaman-halaman dan isi buku. Di beberapa buku, Tere membuat lubang yang sangat dalam untuk menunjukkan tidak terbatasnya isi buku.
Seperti buku yang satu, Tere menggunakan metafora tentang Sang Ibu sebagai Yang Satu dalam karya-karyanya. Dialah Sang Ibu. Dan Tere berucap, “pada tiap-tiap rumah selalu hanya ada satu Ibu.” “Yang Satu”. Seperti sebuah teologi, tentang Ibu?
Tere seperti hendak menyentuh banyak perempuan untuk menyisihkan waktu sedikit saja untuk lebih memahami bagian dalam dirinya. Identitas alami di dalam diri. Menurut rencana, selain di Jakarta, Tere juga akan menggelar pameran serupa di Yogyakarta, Solo dan Bali, pada Maret hingga April tahun depan.
Susi susanti
Semua ini seolah-olah ingin dijawab melalui karya-karya grafis dari proses karbon yang dicap dengan proses kemiripan tingkat tinggi yang akhirnya menghasilkan buih-buih pikiran kita tentang diri seorang perempuan. Ada 30 karya seni grafis yang ditampilkan dalam pameran yang berlangsung sejak 20 November lalu hingga hari ini (30/11) di Bentara Budaya Jakarta (BBJ).
Lima karya dituangkan dalam pigura yang cukup besar. Lalu 15 karya seni grafis dalam bentuk pigura yang lebih kecil. Lalu tujuh karya seni grafis dalam bentuk lembaran kertas digantung. Serta 10 tiang penyangga sebuah buku yang terbuat dari beberapa lembaran kertas mi-nyak yang diberi nama Counsel.
Tere memanfaatkan karbon sebagai medium monoprint untuk mengeblat barang-barang miliknya. Seperti baju kebaya, rok, jins, celana dalam, bra, kaos dalam, baju dalam dan kaos kaki. Tak hanya itu, baju-baju milik anak dan ibunya pun ikut diangkut juga. Dikeluarkan dari lemari untuk ikut-ikutan dikarbon. Barangbarang ini biasanya bisa mengidentifikasi sebagai perempuan.
Dengan mengeblat sisi luar aneka macam baju (baju luar dan baju dalam), tersirat bayangan tubuh pemakainya pada hasil blat-blatan itu. Pakaian harian Tere menghasilkan bayangan bentuk dan aura estetik tubuh Tere. Lalu baju princess panjang favorit si buah hati, Blora, menghasilkan kemungilan tubuh sang anak.
Begitu pula baju almarhum ibunya yang akan membuat kita membayangkan kembali tubuh ibunda Tere semasa masih hidup. Lalu apa sebenarnya tujuan mengeblat atau mengarbon baju-baju itu? “Selalu ada yang sadar dan tidak sadar pada karyaku,” ujar Tere.
Menurut kurator Hendro Wiyanto, yang menulisnya dengan menggunakan crayon berwarna biru tua milik anaknya di dinding pameran, teknik mencap menghasilkan cetakan yang lebih kabur seperti jejak-jejak tipis yang tidak sama rata pada bidang permukaan. Kalau hasil cetakan selalu berambisi untuk mencapai kepersisan, mengarbon sebaliknya lebih dekat dengan kesamaran, menghasilkan gambar-gambar yang mirip dengan bayang-bayang goyah dan bergetar.
Jejak barang-barang pribadi yang dikarbon itulah yang memproduksi samudera-samudera kecil kebiruan, aneka bentuk dan lekuk, mengambang halus di permukaan kertasnya. Tere mengangkatnya secara apik dalam berbagai karya grafisnya. Seperti karya berjudul Fitting #04 .
Di sini terlihat bentuk rok mini yang dipasang secara terbalik, sedangkan di belakangnya terdapat bentuk kaki figur perempuan yang sedang berdiri. Rok mini dicap melalui karbon berwarna biru langit. Bukan dicetak melainkan di cap. Apa bedanya? Untuk semua karya karbonnya yang ditampilkan dalam pigura yang cukup besar hanya diberi nama Fitting #01 hingga #05.
Ukurannya pun satu jenis, yakni 100 x 70 sentimeter. Masih tentang rok mini, di karya berjudul Fitting #05, tampak sebuah rok mini yang terpasang terbalik sedang dipegang oleh dua perempuan. Adapun untuk karyanya yang berukuran agak kecil, yakni 49 x 70 sentimeter memiliki bentuk oval seperti telur. Salah satu yang menarik adalah karya berjudul Jalani (Live It).
Di sini terlihat ibu dengan rok terangkat, di mana bocah perempuan bersembunyi di sana dan di sebelah perempuan ibu ada gambar serigala melolong. Lalu ada pula ukuran kecil lainnya, yakni 50 x 35 sentimeter. Salah satu karyanya yakni berjudul Sampai matahari tenggelam dan terbit kembali. Karya yang menampilkan seorang figur ibu dengan sang anak yang kepalanya masuk ke dalam rok panjang yang dipakai ibunya.
Selain karya grafis, pengunjung akan berjumpa dengan sepuluh buah objek buku yang tebal dan kokoh. Seluruh halaman, beratus-ratus halaman membentuk satu buku. Buku itu satu, tetapi juga jamak “ibu”, “ibuku” dan “buku” rupanya memiliki kemiripan bunyi dan bisa juga menjadi permainan yang me-narik bagi sang pengarbon.
Pemenang ke-3 Kompetisi Triena Seni Grafis Indonesia IV yang diselenggarakan Bentara Budaya Jakarta pada 2012 lalu ini hendak mengajak kita pulang ke rumah yang lebih dalam. Pulang ke rumah ibu, kembali pada halaman-halaman dan isi buku. Di beberapa buku, Tere membuat lubang yang sangat dalam untuk menunjukkan tidak terbatasnya isi buku.
Seperti buku yang satu, Tere menggunakan metafora tentang Sang Ibu sebagai Yang Satu dalam karya-karyanya. Dialah Sang Ibu. Dan Tere berucap, “pada tiap-tiap rumah selalu hanya ada satu Ibu.” “Yang Satu”. Seperti sebuah teologi, tentang Ibu?
Tere seperti hendak menyentuh banyak perempuan untuk menyisihkan waktu sedikit saja untuk lebih memahami bagian dalam dirinya. Identitas alami di dalam diri. Menurut rencana, selain di Jakarta, Tere juga akan menggelar pameran serupa di Yogyakarta, Solo dan Bali, pada Maret hingga April tahun depan.
Susi susanti
(bbg)