DPR Harus Pertanyakan Kebijakan Kontroversial
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah dalam sebulan terakhir dinilai layak dipertanyakan DPR. Bahkan DPR sebagai lembaga perwakilan berkewajiban meminta penjelasan kepada Presiden jika ada kebijakannya yang dinilai kontroversial.
Pengamat hukum tata negara Irmanputra Sidin menilai ada sejumlah kebijakan pemerintahan yang mengharuskan DPR segera bertindak. Jika tidak justru masyarakat akan mempertanyakan sikap Dewan yang sudah diberi mandat serta kekebalan untuk berkomunikasi langsung dengan Presiden.
”Kalau tidak ditanya justru publik akan curiga. Makanya bentuk komunikasinya bisa langsung melalui (saluran) formal di parlemen atau tidak langsung melalui pertemuan,” kata Irman pada diskusi Polemik Sindo Trijaya Network bertema ”Wajah Politik Kita” kemarin di Jakarta.
Beberapa kontroversi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dimaksud antara lain pelantikan jaksa agung dari kalangan politikus, kenaikan harga bahanbakarminyak( BBM), hingga keluarnya surat edaran agar kementerian tidak melakukan rapat kerja dengan DPR. Untuk itu, interpelasi BBM dianggap Irman sudah tepat, tidak hanya karena itu hak DPR, tapi juga bisa digunakan sebagai sarana komunikasi antara Presiden dengan pemilihnya.
”Cuma warga negara mempunyai keterbatasan berbicara langsung sehingga harus diwakilkan melalui anggota DPR,” ucapnya. Irman menegaskan, apabila kebijakan Presiden berlawanan dengan kepentingan rakyatnya tentu harus dicermati dan dikritik. ”Suka tidak suka kita harus menegur karena dia sudah berjanji dan siap untuk berkomunikasi,” jelasnya.
Dalam hal wacana interpelasi, Presiden Jokowi yang dikawal Koalisi Indonesia Hebat (KIH) juga diminta tidak bersikap berlebihan. ”Dalam mengontrol pemerintah tentu saja bisa terjadi kritik, masukan. Itu bukan bagian kegaduhan, tapi fungsi dan kewajiban konstitusional yang inheren dan dijamin dalam konstitusi kita,” ujar Wakil Ketua DPR Fadli Zon di tempat yang sama.
Untuk itu, Fadli menyarankan kepada Presiden untuk membuat rapor atas kinerja para pembantu-pembantunya. Apabila memang diperlukan dalam waktu 3-6 bulan bisa dilakukan reshuffle jika kerja kabinet tidak sesuai dengan harapan. ”Kalau perlu ditinjau lagi. Kalau memang tidak perform 3 sampai 6 bulan diganti saja,” dia menyarankan.
Di sisi lain, pengamat politik dari Pol-Tracking Institute Hanta Yuda berpendapat wajah perpolitikan nasional tidak akan jauh berbeda dengan yang sudah terjadi selama 10 tahun terakhir. Beberapa bahkan sudah terbukti seperti halnya ketidakmampuan Jokowi memenuhi janjinya membentuk kabinet ramping dan tanpa syarat. ”Justru janjinya itu menyandera dirinya.
Karena membentuk kabinet sulit sekali menghindari kompromi politik, intervensi. Presiden dipaksa dan terpaksa mengakomodasi kepentingan partai politik maupun kekuatan politik lainnya,” urainya. Selain itu, soal perpecahan kabinet di koalisi pemerintahan juga diprediksi sangat terbuka dan bakal sulit dihindari.
Dian ramdhani
Pengamat hukum tata negara Irmanputra Sidin menilai ada sejumlah kebijakan pemerintahan yang mengharuskan DPR segera bertindak. Jika tidak justru masyarakat akan mempertanyakan sikap Dewan yang sudah diberi mandat serta kekebalan untuk berkomunikasi langsung dengan Presiden.
”Kalau tidak ditanya justru publik akan curiga. Makanya bentuk komunikasinya bisa langsung melalui (saluran) formal di parlemen atau tidak langsung melalui pertemuan,” kata Irman pada diskusi Polemik Sindo Trijaya Network bertema ”Wajah Politik Kita” kemarin di Jakarta.
Beberapa kontroversi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dimaksud antara lain pelantikan jaksa agung dari kalangan politikus, kenaikan harga bahanbakarminyak( BBM), hingga keluarnya surat edaran agar kementerian tidak melakukan rapat kerja dengan DPR. Untuk itu, interpelasi BBM dianggap Irman sudah tepat, tidak hanya karena itu hak DPR, tapi juga bisa digunakan sebagai sarana komunikasi antara Presiden dengan pemilihnya.
”Cuma warga negara mempunyai keterbatasan berbicara langsung sehingga harus diwakilkan melalui anggota DPR,” ucapnya. Irman menegaskan, apabila kebijakan Presiden berlawanan dengan kepentingan rakyatnya tentu harus dicermati dan dikritik. ”Suka tidak suka kita harus menegur karena dia sudah berjanji dan siap untuk berkomunikasi,” jelasnya.
Dalam hal wacana interpelasi, Presiden Jokowi yang dikawal Koalisi Indonesia Hebat (KIH) juga diminta tidak bersikap berlebihan. ”Dalam mengontrol pemerintah tentu saja bisa terjadi kritik, masukan. Itu bukan bagian kegaduhan, tapi fungsi dan kewajiban konstitusional yang inheren dan dijamin dalam konstitusi kita,” ujar Wakil Ketua DPR Fadli Zon di tempat yang sama.
Untuk itu, Fadli menyarankan kepada Presiden untuk membuat rapor atas kinerja para pembantu-pembantunya. Apabila memang diperlukan dalam waktu 3-6 bulan bisa dilakukan reshuffle jika kerja kabinet tidak sesuai dengan harapan. ”Kalau perlu ditinjau lagi. Kalau memang tidak perform 3 sampai 6 bulan diganti saja,” dia menyarankan.
Di sisi lain, pengamat politik dari Pol-Tracking Institute Hanta Yuda berpendapat wajah perpolitikan nasional tidak akan jauh berbeda dengan yang sudah terjadi selama 10 tahun terakhir. Beberapa bahkan sudah terbukti seperti halnya ketidakmampuan Jokowi memenuhi janjinya membentuk kabinet ramping dan tanpa syarat. ”Justru janjinya itu menyandera dirinya.
Karena membentuk kabinet sulit sekali menghindari kompromi politik, intervensi. Presiden dipaksa dan terpaksa mengakomodasi kepentingan partai politik maupun kekuatan politik lainnya,” urainya. Selain itu, soal perpecahan kabinet di koalisi pemerintahan juga diprediksi sangat terbuka dan bakal sulit dihindari.
Dian ramdhani
(bbg)