Tokoh Agama Tolak Pengosongan Agama di KTP
A
A
A
JAKARTA - Wacana dikosongkannya kolom agama bagi penganut kepercayaan dan agama di luar 6 agama yang dianggap sah oleh pemerintah dari kartu tanda penduduk (KTP) menuai penolakan dari sejumlah tokoh agama yang tergabung dalam Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin).
Mereka menilai, meski tidak diakui pemerintah, penganut kepercayaan atau agama di luar 6 agama yang diakui tetap memiliki hak mencantumkan agama dan kepercayaannya dalam KTP. “Intinya kami berpendapat kolom agama tetap ada. Agamaagama yang di luar 6 itu harus dicantumkan. Misalnya dia mengaku dari agama Sigh atau Tao, itu harus dicantumkan, itu hak asasi,” tandas Uung Sendana selaku wakil ketua umum Matakin di Jakarta kemarin.
Menurut dia, setiap agama maupun kepercayaan yang ada di Indonesia wajib dilindungi, bukan hanya terpaku pada 6 agama yang termaktub dalam konstitusi saja. Sebab saat ini dalam praktiknya undang-undang (UU) melindungi agama, tetapi hanya mengakui dan melayani 6 agama saja.
“Tidak boleh dimarginalkan, diperlakukan adil itu sikap yang benar. Hak untuk dicantumkan itu harus diakomodasi,” paparnya. Menurut dia, untuk mencantumkan agama maupun kepercayaan di luar yang diakui pemerintah bukan sekadar persoalan perubahan UU saja, melainkan sikap mental dan dukungan dari seluruh masyarakat untuk mewujudkan kesetaraan hak agama.
“Harusnya menerima saudara kita apa adanya. Penafsiran dari pejabatnya yang harus diubah,” ujarnya. Dewan pakar PHDI I Nengah Dana menyatakan memang seharusnya kolom agama itu tetap ada dan tidak hanya mencantumkan enam agama yang diakui pemerintah saja. Dia pun tidak setuju dengan sikap pemerintah yang menyatakan kolom agama bisa dikosongkan.
“Jangan dikosongkan, terus dianggap apa dia? Tulis saja kepercayaan, misal Sunda Wiwitan. Enam itu agama besar, bukan berarti agama lokal tidak berkembang,” tandasnya. Kemendagri, menurut dia, seharusnya bukan mengeluarkan kebijakan mengosongkan kolom agama, tetapi membolehkan masyarakat mencantumkan agama sesuai dengan kepercayaannya.
“Kami tidak setuju pengosongan kolom agama, adminduk jangan campuri urusan agama,” ujarnya. Adapun utusan KWI Romo Purbo menyatakan, pihaknya memang belum mengambil sikap atas polemik pengosongan kolom agama di KTP. Namun dia menggarisbawahi bahwa pencantuman agama atau kepercayaan harus tetap ada.
Tidak sebatas pada kepentingan 6 agama saja, sebab apa yang menjadi kepentingan warga negara harus dipenuhi apa pun dan yang berlaku umum. Prinsipnya, ungkap Romo, harus dipastikan hak warga pemeluk kepercayaan di luar 6 agama yang diakui tetap terpenuhi. “Jika tidak diakomodasi, dasar, falsafah hidup, dan makna Pancasila tidak diakui penuh oleh negara,” tandasnya.
Nurul adriyana
Mereka menilai, meski tidak diakui pemerintah, penganut kepercayaan atau agama di luar 6 agama yang diakui tetap memiliki hak mencantumkan agama dan kepercayaannya dalam KTP. “Intinya kami berpendapat kolom agama tetap ada. Agamaagama yang di luar 6 itu harus dicantumkan. Misalnya dia mengaku dari agama Sigh atau Tao, itu harus dicantumkan, itu hak asasi,” tandas Uung Sendana selaku wakil ketua umum Matakin di Jakarta kemarin.
Menurut dia, setiap agama maupun kepercayaan yang ada di Indonesia wajib dilindungi, bukan hanya terpaku pada 6 agama yang termaktub dalam konstitusi saja. Sebab saat ini dalam praktiknya undang-undang (UU) melindungi agama, tetapi hanya mengakui dan melayani 6 agama saja.
“Tidak boleh dimarginalkan, diperlakukan adil itu sikap yang benar. Hak untuk dicantumkan itu harus diakomodasi,” paparnya. Menurut dia, untuk mencantumkan agama maupun kepercayaan di luar yang diakui pemerintah bukan sekadar persoalan perubahan UU saja, melainkan sikap mental dan dukungan dari seluruh masyarakat untuk mewujudkan kesetaraan hak agama.
“Harusnya menerima saudara kita apa adanya. Penafsiran dari pejabatnya yang harus diubah,” ujarnya. Dewan pakar PHDI I Nengah Dana menyatakan memang seharusnya kolom agama itu tetap ada dan tidak hanya mencantumkan enam agama yang diakui pemerintah saja. Dia pun tidak setuju dengan sikap pemerintah yang menyatakan kolom agama bisa dikosongkan.
“Jangan dikosongkan, terus dianggap apa dia? Tulis saja kepercayaan, misal Sunda Wiwitan. Enam itu agama besar, bukan berarti agama lokal tidak berkembang,” tandasnya. Kemendagri, menurut dia, seharusnya bukan mengeluarkan kebijakan mengosongkan kolom agama, tetapi membolehkan masyarakat mencantumkan agama sesuai dengan kepercayaannya.
“Kami tidak setuju pengosongan kolom agama, adminduk jangan campuri urusan agama,” ujarnya. Adapun utusan KWI Romo Purbo menyatakan, pihaknya memang belum mengambil sikap atas polemik pengosongan kolom agama di KTP. Namun dia menggarisbawahi bahwa pencantuman agama atau kepercayaan harus tetap ada.
Tidak sebatas pada kepentingan 6 agama saja, sebab apa yang menjadi kepentingan warga negara harus dipenuhi apa pun dan yang berlaku umum. Prinsipnya, ungkap Romo, harus dipastikan hak warga pemeluk kepercayaan di luar 6 agama yang diakui tetap terpenuhi. “Jika tidak diakomodasi, dasar, falsafah hidup, dan makna Pancasila tidak diakui penuh oleh negara,” tandasnya.
Nurul adriyana
(bbg)