Kelahiran Anak Menjadi Alasan Bertahan
A
A
A
Kehadiran seorang anak kerap mengubah kehidupan seseorang. Hal tersebut dialami juga oleh Helen Glasworthy. Perempuan 25 tahun tersebut mengatakan, kelahiran anak lelakinya menjadi alasan terbesarnya melanjutkan kehidupan.
“Saya merasakan kehidupan yang sulit dalam periode lama sampai pada akhirnya saya hamil pada 2011. Thomas sama sekali tak terencanakan. Saya menginginkan menjadi seorang ibu. Saya berpisah dengan ayahnya tak lama setelah dia lahir. Tapi, Thomas adalah anugerah terbaik yang saya terima,” kata Helen menceritakan proses kelahiran Thomas, dikutip Dailymail.
Thomas, 2, sang buah hati, hasil hubungan dengan William Ryves, 31, memang anugerah terbesar dalam kehidupan Helen. Wajah polos, keceriaan, dan kelucuan bocah balita tersebut mampu menjadi obat mujarab dari masa lalunya yang penuh kedukaan. Ya, Helen remaja mengalami kehidupan yang sulit.
Di sekolah perempuan asal Eastleigh, Hampshire, Inggris itu kerap menjadi target bullying teman sekolahnya. Akibat perlakuan tersebut, Helen mengalami depresi yang luar biasa. Parahnya, beban mental tersebut ditambah dengan perkenalan Helen dengan obat-obatan. Kokain menjadi teman akrabnya waktu itu. Keluarga yang merasa sudah angkat tangan dan dijauhi teman-teman membuat Helen merasa semakin terasing dan tak ada yang menolong.
Puncaknya, Helen pun melakukan percobaan bunuh diri saat usianya menginjak 18 tahun. Itu dilakukannya dengan cara tiduran di rel kereta di dekat rumahnya. Saat kereta melintas, Helen merasa nyawanya melayang waktu itu. Tetapi, Tuhan masih sayang. Hanya dua kakinya mulai dari lutut yang terlindas sampai putus.
“Saya hanya rebahan dan menutup mata serta mendengarkan musik saat menunggu kapan kereta akan menabrak saya. Tapi, sesuatunya tak berjalan sesuai rencana. Saya melihat celana jins saya terpotong dan kaki saya putus. Darah bercucuran. Saya tak percaya dengan apa yang terjadi. Saya ingin bunuh diri, bukan untuk menjadi cacat,” kenang Helen.
Helen mengaku masih dalam keadaan sadar dalam waktu lama untuk melihat dua kakinya teronggok di lintasan. Tak ada yang menolong dengan cepat hingga seekor anjing menemukannya sampai akhirnya dia dilarikan ke rumah sakit. Selamat dari maut bukan berarti kehidupan Helen menjadi baik. Cobaan berikutnya harus dilewati. Setelah enam pekan di rumah sakit, Helen menyadari bahwa dia harus hidup sebagai orang cacat. Hatinya memberontak.
“Saya merasa tak ada lagi yang menginginkan saya dan saya pikir tak bisa lagi meraih sesuatu,” katanya menceritakan masa-masa setelah perawatan di rumah sakit. Dengan kehilangan dua kakinya, Helen berpikir kehidupannya sudah berakhir. Rasa itu dialaminya begitu lama sampai akhirnya berkenalan dengan Ryves dan mengandung.
Kelahiran Thomas mengubah segalanya meski Helen dan Ryves akhirnya berpisah. Kini hari-hari Helen diisi dengan semangat hidup baru bersama Thomas. Dengan kaki palsu, Helen pun melanjutkan hidupnya. Dia mulai kuliah lagi dengan mengambil jurusan kriminologi. Helen juga kerap terlibat dalam acara skydive yang bertujuan menggalang dana bagi korban-korban amputasi.
SUGENG WAHYUDI
“Saya merasakan kehidupan yang sulit dalam periode lama sampai pada akhirnya saya hamil pada 2011. Thomas sama sekali tak terencanakan. Saya menginginkan menjadi seorang ibu. Saya berpisah dengan ayahnya tak lama setelah dia lahir. Tapi, Thomas adalah anugerah terbaik yang saya terima,” kata Helen menceritakan proses kelahiran Thomas, dikutip Dailymail.
Thomas, 2, sang buah hati, hasil hubungan dengan William Ryves, 31, memang anugerah terbesar dalam kehidupan Helen. Wajah polos, keceriaan, dan kelucuan bocah balita tersebut mampu menjadi obat mujarab dari masa lalunya yang penuh kedukaan. Ya, Helen remaja mengalami kehidupan yang sulit.
Di sekolah perempuan asal Eastleigh, Hampshire, Inggris itu kerap menjadi target bullying teman sekolahnya. Akibat perlakuan tersebut, Helen mengalami depresi yang luar biasa. Parahnya, beban mental tersebut ditambah dengan perkenalan Helen dengan obat-obatan. Kokain menjadi teman akrabnya waktu itu. Keluarga yang merasa sudah angkat tangan dan dijauhi teman-teman membuat Helen merasa semakin terasing dan tak ada yang menolong.
Puncaknya, Helen pun melakukan percobaan bunuh diri saat usianya menginjak 18 tahun. Itu dilakukannya dengan cara tiduran di rel kereta di dekat rumahnya. Saat kereta melintas, Helen merasa nyawanya melayang waktu itu. Tetapi, Tuhan masih sayang. Hanya dua kakinya mulai dari lutut yang terlindas sampai putus.
“Saya hanya rebahan dan menutup mata serta mendengarkan musik saat menunggu kapan kereta akan menabrak saya. Tapi, sesuatunya tak berjalan sesuai rencana. Saya melihat celana jins saya terpotong dan kaki saya putus. Darah bercucuran. Saya tak percaya dengan apa yang terjadi. Saya ingin bunuh diri, bukan untuk menjadi cacat,” kenang Helen.
Helen mengaku masih dalam keadaan sadar dalam waktu lama untuk melihat dua kakinya teronggok di lintasan. Tak ada yang menolong dengan cepat hingga seekor anjing menemukannya sampai akhirnya dia dilarikan ke rumah sakit. Selamat dari maut bukan berarti kehidupan Helen menjadi baik. Cobaan berikutnya harus dilewati. Setelah enam pekan di rumah sakit, Helen menyadari bahwa dia harus hidup sebagai orang cacat. Hatinya memberontak.
“Saya merasa tak ada lagi yang menginginkan saya dan saya pikir tak bisa lagi meraih sesuatu,” katanya menceritakan masa-masa setelah perawatan di rumah sakit. Dengan kehilangan dua kakinya, Helen berpikir kehidupannya sudah berakhir. Rasa itu dialaminya begitu lama sampai akhirnya berkenalan dengan Ryves dan mengandung.
Kelahiran Thomas mengubah segalanya meski Helen dan Ryves akhirnya berpisah. Kini hari-hari Helen diisi dengan semangat hidup baru bersama Thomas. Dengan kaki palsu, Helen pun melanjutkan hidupnya. Dia mulai kuliah lagi dengan mengambil jurusan kriminologi. Helen juga kerap terlibat dalam acara skydive yang bertujuan menggalang dana bagi korban-korban amputasi.
SUGENG WAHYUDI
(bbg)