Proses Arbitrase Harus Dijunjung Tinggi
A
A
A
JAKARTA - Proses penyelesaian perkara kasus sengketa kepemilikan Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dengan cara arbitrase harus dijunjung tinggi oleh semua pihak.
Pasalnya, pada awalnya kedua belah pihak yang beperkara sudah sepakat menyelesaikannya melalui proses hukum ini. “Harusnya dihargai dan dijunjung tinggi karena sejak awal dua belah pihak ingin menyelesaikan sengketa di badan itu (Badan Arbitrase Nasional Indonesia/BANI),” tandas staf pengajar Peradilan Perdata Universitas Negeri Semarang Pujiono di Jakarta kemarin.
Menurut dia, BANI adalah lembaga di luar pengadilan dan diakui Indonesia dan dunia untuk menyelesaikan sengketa di bidang bisnis. Bahkan, ujarnya, arbitrase adalah mekanisme yang diperuntukkan agar sengketa bisnis cepat selesai karena mekanisme ini dituntut efektif dan efisien.
Bisnis, lanjutnya, sangat memerlukan kepastian hukum. Jika jalur arbitrase dapat diintervensi dengan keputusan peradilan maka sama saja menciptakan kondisi yang buruk. Pakar hukum Universitas Trisakti (Usakti) Yenti Ganarsih mengatakan, memang terlihat aneh jika kasus yang sedang ditangani BANI tetap diputuskan Mahkamah Agung (MA). Maka itu sudah seharusnya hal ini ditelusuri.
“Sumber yang ada turun saja semua. Baik itu Komisi Yudisial (KY) maupun Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA),” ujarnya. Menurut dia, dengan turunnya sumber pengawas hakim untuk melakukan penelusuran tersebut, pertanyaan masyarakat pun akan terjawab.
Adanya proses itu akan diketahui mengapa hakim tetap memaksakan menangani kasus yang telah ditangani di BANI. “Pertanyaan masyarakat harus clear. Kalau tidak boleh ditangani lagi, mengapa sampai menangani? apakah tidak tahu atau ada alasan lain?” katanya. Menurut dia, pemeriksaan secara etika jalan, tetapi tetap harus ada batasnya. Jika ditemukan hal yang janggal seperti adanya dugaan suap maka harus masuk pidana.
“Kalau dalam proses pemeriksaan ditemukan suap, ini bukan lagi masalah etik atau kepantasan. Masuknya ranah pidana,” paparnya. Sementara itu, pengamat komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya Yuli Candrasari menilai, ketika TPI dipegang oleh Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), acara-acaranya tidak menarik bagi pemirsa.
“Program-program yang ditawarkan TPI tak menarik dan gagal disukai pemirsa ketika manajemennya dipegang Tutut,” ungkapnya. Menurut Yuli, pada masa itu TPImembidik segmen menengah ke bawah dengan misi pendidikan. Namun, gagal memformulasikan konsep itu ke acaranya.
Mereka hanya memindahkan konsep pengajaran tatap muka ke layar televisi dan ternyata tampilan programnya tidak menarik. Yuli mengatakan, konsep televisi adalah show. “Jadi jika ingin mengusung misi pendidikan maka harus berformat showsehingga menarik,” kata Yuli.
Dia mencontohkan, program Teletubbies produksi televisi BBC pada 1997–2001. Program itu berformat pendidikan untuk anak-anak prasekolah dan digemari di seluruh dunia. “TPI pada masa itu ingin bidik bidang pendidikan, tapi gagal,” kata Yuli.
Setelah diambil alih oleh MNC, televisi tersebut tetap bermain di segmen menengah ke bawah, tapi merambah ke bidang hiburan yaitu dangdut. “Kontes Dangdut Indonesia (KDI) meledak dan disukai oleh jutaan pemirsa Indonesia,” kata Yuli.
Jika manajemen televisi kurang pintar membaca hal-hal yang disukai dan dibutuhkan oleh pemirsa, otomatis pengiklan juga enggan memasang iklan di televisi itu. Menurut dia, ini sah saja karena pemasukan utama televisi adalah iklan. “Iklan datang dan perusahaan berjalan dengan baik,” katanya.
Terlepas dari sekarang dipegang oleh MNC atau bukan, ujarnya, tidak usah mengingkari bahwa ketika TPI dipegang Tutut, TPI terpuruk dengan ratingyang buruk dan sepi iklan. Menurut dia, performa program TPI baik ketika dipegang oleh MNC.
Sebelumnya, pakar hukum Universitas Parahyangan (Unpar) AsepWarlan Yusuf mengatakan, Badan Pengawas (Bawas) MA seharusnya bisa melakukan pemeriksaan terhadap majelis hakim kasus TPI. Menurut dia, sangat penting bagi Bawas MA untuk terjun langsung menindaklanjuti kasus ini tanpa harus menung-gu laporan dari masyarakat.
“Dalam konteks pengawasan, memang bisa. Apalagi, ketika ada dugaan kekeliruan. Hanya saja, persoalannya itu akan dilakukan apa tidak? itu semua berpulang kepada Bawas MA. Seharusnya (Bawas MA) bersikap prefentif, tanpa laporan tapi melihat informasi di sekitar. Beda dengan KY, kan di luar kehakiman, jadi menurut saya tidak ada masalah, seharusnya turun tangan,” ujarnya.
Dita angga/Danti daniel/Sindonews
Pasalnya, pada awalnya kedua belah pihak yang beperkara sudah sepakat menyelesaikannya melalui proses hukum ini. “Harusnya dihargai dan dijunjung tinggi karena sejak awal dua belah pihak ingin menyelesaikan sengketa di badan itu (Badan Arbitrase Nasional Indonesia/BANI),” tandas staf pengajar Peradilan Perdata Universitas Negeri Semarang Pujiono di Jakarta kemarin.
Menurut dia, BANI adalah lembaga di luar pengadilan dan diakui Indonesia dan dunia untuk menyelesaikan sengketa di bidang bisnis. Bahkan, ujarnya, arbitrase adalah mekanisme yang diperuntukkan agar sengketa bisnis cepat selesai karena mekanisme ini dituntut efektif dan efisien.
Bisnis, lanjutnya, sangat memerlukan kepastian hukum. Jika jalur arbitrase dapat diintervensi dengan keputusan peradilan maka sama saja menciptakan kondisi yang buruk. Pakar hukum Universitas Trisakti (Usakti) Yenti Ganarsih mengatakan, memang terlihat aneh jika kasus yang sedang ditangani BANI tetap diputuskan Mahkamah Agung (MA). Maka itu sudah seharusnya hal ini ditelusuri.
“Sumber yang ada turun saja semua. Baik itu Komisi Yudisial (KY) maupun Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA),” ujarnya. Menurut dia, dengan turunnya sumber pengawas hakim untuk melakukan penelusuran tersebut, pertanyaan masyarakat pun akan terjawab.
Adanya proses itu akan diketahui mengapa hakim tetap memaksakan menangani kasus yang telah ditangani di BANI. “Pertanyaan masyarakat harus clear. Kalau tidak boleh ditangani lagi, mengapa sampai menangani? apakah tidak tahu atau ada alasan lain?” katanya. Menurut dia, pemeriksaan secara etika jalan, tetapi tetap harus ada batasnya. Jika ditemukan hal yang janggal seperti adanya dugaan suap maka harus masuk pidana.
“Kalau dalam proses pemeriksaan ditemukan suap, ini bukan lagi masalah etik atau kepantasan. Masuknya ranah pidana,” paparnya. Sementara itu, pengamat komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya Yuli Candrasari menilai, ketika TPI dipegang oleh Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut), acara-acaranya tidak menarik bagi pemirsa.
“Program-program yang ditawarkan TPI tak menarik dan gagal disukai pemirsa ketika manajemennya dipegang Tutut,” ungkapnya. Menurut Yuli, pada masa itu TPImembidik segmen menengah ke bawah dengan misi pendidikan. Namun, gagal memformulasikan konsep itu ke acaranya.
Mereka hanya memindahkan konsep pengajaran tatap muka ke layar televisi dan ternyata tampilan programnya tidak menarik. Yuli mengatakan, konsep televisi adalah show. “Jadi jika ingin mengusung misi pendidikan maka harus berformat showsehingga menarik,” kata Yuli.
Dia mencontohkan, program Teletubbies produksi televisi BBC pada 1997–2001. Program itu berformat pendidikan untuk anak-anak prasekolah dan digemari di seluruh dunia. “TPI pada masa itu ingin bidik bidang pendidikan, tapi gagal,” kata Yuli.
Setelah diambil alih oleh MNC, televisi tersebut tetap bermain di segmen menengah ke bawah, tapi merambah ke bidang hiburan yaitu dangdut. “Kontes Dangdut Indonesia (KDI) meledak dan disukai oleh jutaan pemirsa Indonesia,” kata Yuli.
Jika manajemen televisi kurang pintar membaca hal-hal yang disukai dan dibutuhkan oleh pemirsa, otomatis pengiklan juga enggan memasang iklan di televisi itu. Menurut dia, ini sah saja karena pemasukan utama televisi adalah iklan. “Iklan datang dan perusahaan berjalan dengan baik,” katanya.
Terlepas dari sekarang dipegang oleh MNC atau bukan, ujarnya, tidak usah mengingkari bahwa ketika TPI dipegang Tutut, TPI terpuruk dengan ratingyang buruk dan sepi iklan. Menurut dia, performa program TPI baik ketika dipegang oleh MNC.
Sebelumnya, pakar hukum Universitas Parahyangan (Unpar) AsepWarlan Yusuf mengatakan, Badan Pengawas (Bawas) MA seharusnya bisa melakukan pemeriksaan terhadap majelis hakim kasus TPI. Menurut dia, sangat penting bagi Bawas MA untuk terjun langsung menindaklanjuti kasus ini tanpa harus menung-gu laporan dari masyarakat.
“Dalam konteks pengawasan, memang bisa. Apalagi, ketika ada dugaan kekeliruan. Hanya saja, persoalannya itu akan dilakukan apa tidak? itu semua berpulang kepada Bawas MA. Seharusnya (Bawas MA) bersikap prefentif, tanpa laporan tapi melihat informasi di sekitar. Beda dengan KY, kan di luar kehakiman, jadi menurut saya tidak ada masalah, seharusnya turun tangan,” ujarnya.
Dita angga/Danti daniel/Sindonews
(bbg)