Sentuhan untuk Kemandirian Difabel
A
A
A
Kecelakaan membuat Sri Lestari mengalami penurunan motorik dan fungsi sensorik gerak tubuh atau paraplegia.
Lumpuh sempat membuatnya terpuruk. Namun dia mampu bangkit bahkan menjadi inspirasi bagi para difabel di Tanah Air bahwa perbedaan kemampuan bukan penghalang untuk berkarya.
Dengan sepeda motor modifikasi, Sri sudah dua kali melakukan perjalanan panjang menempuh rute Aceh-Jakarta dan Jakarta-Bali.
Perempuan yang kini bekerja di United Cerebral Palsy (UCP) Roda untuk Kemanusiaan Indonesia, Yogyakarta, ini mencermati sekaligus “menyentuh” para difabel dan keluarganya serta otoritas pemerintahan agar mereka bisa berkiprah secara maksimal. Berikut wawancara dengan Sri Lestari.
Bisa diceritakan sekilas peristiwa yang membuat Anda menjadi paraplegia?
Pada 1997, saat berusia 23 tahun, saya terlibat kecelakaan. Sepeda motor yang saya naiki kecelakaan tabrakan dengan truk. Saya terjungkal hingga tiga ruas tulang belakang saya hancur dan saraf tulang belakang putus. Separuh tubuh dari ulu hati ke bawah hingga ujung kaki tidak terasa.
Apa upaya yang dilakukan saat itu agar pulih?
Saya tidak tahu kejelasan informasi dari dokter, tapi katanya orang tua saya sudah diberitahu. Saya lalu disarankan ke panti rehabilitasi dan sempat menjalani pengobatan alternatif hingga 4 tahunan. Saya juga pernah menjalani terapi alternatif di dalam hutan di Bojonegoro. Ketika sudah lelah jiwa raga, capekdijanjikan bisa segera sembuh, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti.
Bagaimana keseharian Anda setelah itu?
Awalnya saya seperti bayi, melakukan segalanya dibantu orang tua. Seperti anak kecil. Saya mengalami masa stres dan proses memahami yang cukup lama. Hingga akhirnya lama-lama saya bisa mandiri, bisa pindah dari tempat tidur ke kursi roda dengan sedikit bantuan. Saya berpikir, menurunnya kemampuan justru jalan bagi kita untuk lebih giat berkarya. Saya pun mulai berani keluar rumah ke halaman dan kadang-kadang ikut pergi naik mobil. Saya kemudian menerima bantuan kursi roda dari UCP Roda Kemanusiaan pada November 2007.
Dengan keterbatasan yang dimiliki, Anda akhirnya bisa bekerja. Bagaimana ceritanya?
Saya berkesempatan menjadi relawan entry datauntuk pembuatan buku braille di SLB tuna netra di Klaten. Saya melalui proses panjang juga untuk melamar jadi relawan di sana dan sebuah lembaga tuna netra di Yogya. Karena saya tidak berani tinggal di yayasan tempat saya bekerja di Yogyakarta, saya mencari cara supaya bisa pulangpergi Klaten-Yogyakarta.
Saya dan keluarga kemudian mencari informasi tentang motor modifikasi hingga akhirnya mendapatkan kontak kemudian bertemu dengan sebuah yayasan di Klaten. Mereka meminjamkan saya sepeda motor roda tiga. Dengan mengendarai sepeda motor itu saya silaturahmi ke kampung paraplegia, karena salah satu mimpi saya ingin berkunjung ke sana. Seperti diketahui, sejak gempa besar yang melanda Yogya dan Klaten pada 2006, jumlah penyandang kelumpuhan di daerah ini semakin banyak. Saya dilibatkan pihak yayasan untuk membantu dan memotivasi teman-teman korban gempa yang masih sulit diajak bangkit.
Seperti apa pendekatan yang Anda lakukan?
Pendekatan lebih mudah karena saya pernah mengalami hal yang sama dengan mereka. Berawal dari pengalaman pribadi betapa sedih dan sulitnya ketika sudah dewasa tidak bisa melakukan apa-apa, mau ke luar rumah pun sulit. Semuanya saya alami tapi saya sudah bangkit dari keterpurukan. Saya bagi pengalaman itu supaya mereka tidak putus asa.
Akhirnya jadi kebiasaan setiap ada waktu longgar, tanpa diajak yayasan pun saya pergi sendiri mengunjungi teman-teman difabel yang masih di rumah saja dan belum bergerak apaapa. Dengan bersilaturahmi, keluarga mereka juga melihat bahwa orang difabel pun jika diberi kesempatan bisa mandiri.
Kapan Anda mulai punya sepeda motor sendiri?
Saya punya sepeda motor yang dimodifikasi pada awal 2009. Jenisnya motor bebek dengan roda tiga. Saya nyaman dengan itu. Sepeda motor inilah yang membuat hidup saya berubah. Ketika saya bertemu teman difabel yang kurus dan tidak ada semangat, saya seperti melihat cermin masa lalu saya. Ketika saya bilang saya bekerja, dia tidak percaya. Lalu saya bilang dulu saya juga seperti kamu. Dia tetap diam saja. Tapi ketika saya bilang saya naik sepeda motor, dia tersenyum dan semakin enak diajak ngobrol. Saya merasakan hal baru dari sudut mereka. Saya selalu ingin membagi semangat itu.
Apakah hal itu juga yang menginspirasi Anda melakukan perjalanan Jakarta- Bali dengan sepeda motor pada 2013?
Saya percaya, dengan lebih sering berkeliling, akan lebih banyak ilmu yang saya bisa dapat dan bisa saya bagikan ke teman-teman. Semakin banyak penyandang difabel yang berani keluar, masyarakat pun akan semakin terbiasa. Ide perjalanan Jakarta-Bali waktu itu muncul karena masih banyak teman-teman difabel yang terpuruk di rumah, belum mandiri, masih bergantung pada keluarga dan belum bisa mengakses transportasi umum. Perjalanan 20 hari itu sangat berkesan.
Apa saja yang Anda temui selama di perjalanan?
Salah satunya di Ngawi. Ada pria usia 46 tahun dan sudah jadi paraplegia selama 26 tahun. Kakinya sudah kecil dan kaku karena hanya di tempat tidur. Ironisnya, karena merasa sudah tidak bisa apaapa, selama dua tahun dia memilih berbaring di tempat tidur saja supaya bisa mendapat tunjangan dari pemerintah.
Hal-hal seperti itulah yang saya lakukan selama perjalanan, bertemu langsung dengan penyandang disabilitas, dengan pekerja sosial dan ke dinas-dinas sosial. Saya juga mengunjungi sekolah bahkan di Jombang ada anak baru keluar dari penjara. Saya bilang ke dia, kita sama kok, pernah merasakan dipenjara. Bedanya kamu di dalam sel, aku dipenjara oleh kelumpuhanku. Proses rehabilitasi bagi anak ini penting supaya dia bisa berbaur dengan masyarakat lagi.
Pada September lalu Anda kembali melakukan perjalanan melintasi Sumatera dan menempuh jarak 2.500 kilometer mulai Sabang hingga Jakarta. Apa yang sekarang Anda rasakan?
Banyak penyandang disabilitas di Aceh tapi di sisi lain organisasi bagi difabel tidak sebanyak di Jawa. Maka, saya kenalkan sistem layanan UCP Roda untuk Kemanusiaan di Sumatera, di mana saat ini kami baru hadir di Lampung. Selama perjalanan itu saya menemukan ternyata lebih banyak teman-teman difabel yang hanya di rumah, dengan kursi roda besar yang tidak adaptif. Saya mencatat tak kurang 400-an difabel yang membutuhkan kursi roda yang layak.
Program apa yang Anda tangani di lembaga ini?
Saya di UCP layanan kursi roda. Kami mengupayakan kursi roda yang nyaman yang adaptif atau bisa disesuaikan dengan kondisi tubuh pengguna. Di UCP, kaum difabel juga ikut terlibat merakit kursi roda. Intinya, layanan kami bertujuan mendorong kemandirian para difabel penerima bantuan kursi roda sehingga mereka bisa lebih aktif lagi, sehat, bisa bekerja dan menikmati hidup seperti masyarakat umumnya. Selain itu di UCP kami juga sedang mengembangkan modifikasi sepeda motor untuk difabel supaya lebih terstandardisasi dan bisa diproduksi secara massal.
Selepas perjalanan Aceh-Jakarta, Anda sempat diundang untuk bertemu Presiden Jokowi. Apa yang Anda sampaikan?
Saya sampaikan harapan agar program kami di UCP untuk layanan kursi roda yang adaptif bisa diterapkan di seluruh Indonesia, karena pemerintah bisa mengalokasikan anggaran untuk itu. Kebutuhannya sangat banyak apalagi diproyeksikan 10% dari penduduk Indonesia mengalami disabilitas. Kami juga sudah menjalin perjanjian kerja sama di sejumlah daerah untuk mendukung program layanan kursi roda yang adaptif ini.
Sejauh ini ada berapa banyak difabel pengguna sepeda motor modifikasi di daerah Anda?
Ada ratusan motor seperti ini di Yogya dan Klaten. Semakin banyak penggunanya, semakin banyak difabel yang punya semangat agar hidup lebih aktif dan berani keluar rumah. Dukungan keluarga pun sangat penting.
Inda susanti
Lumpuh sempat membuatnya terpuruk. Namun dia mampu bangkit bahkan menjadi inspirasi bagi para difabel di Tanah Air bahwa perbedaan kemampuan bukan penghalang untuk berkarya.
Dengan sepeda motor modifikasi, Sri sudah dua kali melakukan perjalanan panjang menempuh rute Aceh-Jakarta dan Jakarta-Bali.
Perempuan yang kini bekerja di United Cerebral Palsy (UCP) Roda untuk Kemanusiaan Indonesia, Yogyakarta, ini mencermati sekaligus “menyentuh” para difabel dan keluarganya serta otoritas pemerintahan agar mereka bisa berkiprah secara maksimal. Berikut wawancara dengan Sri Lestari.
Bisa diceritakan sekilas peristiwa yang membuat Anda menjadi paraplegia?
Pada 1997, saat berusia 23 tahun, saya terlibat kecelakaan. Sepeda motor yang saya naiki kecelakaan tabrakan dengan truk. Saya terjungkal hingga tiga ruas tulang belakang saya hancur dan saraf tulang belakang putus. Separuh tubuh dari ulu hati ke bawah hingga ujung kaki tidak terasa.
Apa upaya yang dilakukan saat itu agar pulih?
Saya tidak tahu kejelasan informasi dari dokter, tapi katanya orang tua saya sudah diberitahu. Saya lalu disarankan ke panti rehabilitasi dan sempat menjalani pengobatan alternatif hingga 4 tahunan. Saya juga pernah menjalani terapi alternatif di dalam hutan di Bojonegoro. Ketika sudah lelah jiwa raga, capekdijanjikan bisa segera sembuh, akhirnya saya memutuskan untuk berhenti.
Bagaimana keseharian Anda setelah itu?
Awalnya saya seperti bayi, melakukan segalanya dibantu orang tua. Seperti anak kecil. Saya mengalami masa stres dan proses memahami yang cukup lama. Hingga akhirnya lama-lama saya bisa mandiri, bisa pindah dari tempat tidur ke kursi roda dengan sedikit bantuan. Saya berpikir, menurunnya kemampuan justru jalan bagi kita untuk lebih giat berkarya. Saya pun mulai berani keluar rumah ke halaman dan kadang-kadang ikut pergi naik mobil. Saya kemudian menerima bantuan kursi roda dari UCP Roda Kemanusiaan pada November 2007.
Dengan keterbatasan yang dimiliki, Anda akhirnya bisa bekerja. Bagaimana ceritanya?
Saya berkesempatan menjadi relawan entry datauntuk pembuatan buku braille di SLB tuna netra di Klaten. Saya melalui proses panjang juga untuk melamar jadi relawan di sana dan sebuah lembaga tuna netra di Yogya. Karena saya tidak berani tinggal di yayasan tempat saya bekerja di Yogyakarta, saya mencari cara supaya bisa pulangpergi Klaten-Yogyakarta.
Saya dan keluarga kemudian mencari informasi tentang motor modifikasi hingga akhirnya mendapatkan kontak kemudian bertemu dengan sebuah yayasan di Klaten. Mereka meminjamkan saya sepeda motor roda tiga. Dengan mengendarai sepeda motor itu saya silaturahmi ke kampung paraplegia, karena salah satu mimpi saya ingin berkunjung ke sana. Seperti diketahui, sejak gempa besar yang melanda Yogya dan Klaten pada 2006, jumlah penyandang kelumpuhan di daerah ini semakin banyak. Saya dilibatkan pihak yayasan untuk membantu dan memotivasi teman-teman korban gempa yang masih sulit diajak bangkit.
Seperti apa pendekatan yang Anda lakukan?
Pendekatan lebih mudah karena saya pernah mengalami hal yang sama dengan mereka. Berawal dari pengalaman pribadi betapa sedih dan sulitnya ketika sudah dewasa tidak bisa melakukan apa-apa, mau ke luar rumah pun sulit. Semuanya saya alami tapi saya sudah bangkit dari keterpurukan. Saya bagi pengalaman itu supaya mereka tidak putus asa.
Akhirnya jadi kebiasaan setiap ada waktu longgar, tanpa diajak yayasan pun saya pergi sendiri mengunjungi teman-teman difabel yang masih di rumah saja dan belum bergerak apaapa. Dengan bersilaturahmi, keluarga mereka juga melihat bahwa orang difabel pun jika diberi kesempatan bisa mandiri.
Kapan Anda mulai punya sepeda motor sendiri?
Saya punya sepeda motor yang dimodifikasi pada awal 2009. Jenisnya motor bebek dengan roda tiga. Saya nyaman dengan itu. Sepeda motor inilah yang membuat hidup saya berubah. Ketika saya bertemu teman difabel yang kurus dan tidak ada semangat, saya seperti melihat cermin masa lalu saya. Ketika saya bilang saya bekerja, dia tidak percaya. Lalu saya bilang dulu saya juga seperti kamu. Dia tetap diam saja. Tapi ketika saya bilang saya naik sepeda motor, dia tersenyum dan semakin enak diajak ngobrol. Saya merasakan hal baru dari sudut mereka. Saya selalu ingin membagi semangat itu.
Apakah hal itu juga yang menginspirasi Anda melakukan perjalanan Jakarta- Bali dengan sepeda motor pada 2013?
Saya percaya, dengan lebih sering berkeliling, akan lebih banyak ilmu yang saya bisa dapat dan bisa saya bagikan ke teman-teman. Semakin banyak penyandang difabel yang berani keluar, masyarakat pun akan semakin terbiasa. Ide perjalanan Jakarta-Bali waktu itu muncul karena masih banyak teman-teman difabel yang terpuruk di rumah, belum mandiri, masih bergantung pada keluarga dan belum bisa mengakses transportasi umum. Perjalanan 20 hari itu sangat berkesan.
Apa saja yang Anda temui selama di perjalanan?
Salah satunya di Ngawi. Ada pria usia 46 tahun dan sudah jadi paraplegia selama 26 tahun. Kakinya sudah kecil dan kaku karena hanya di tempat tidur. Ironisnya, karena merasa sudah tidak bisa apaapa, selama dua tahun dia memilih berbaring di tempat tidur saja supaya bisa mendapat tunjangan dari pemerintah.
Hal-hal seperti itulah yang saya lakukan selama perjalanan, bertemu langsung dengan penyandang disabilitas, dengan pekerja sosial dan ke dinas-dinas sosial. Saya juga mengunjungi sekolah bahkan di Jombang ada anak baru keluar dari penjara. Saya bilang ke dia, kita sama kok, pernah merasakan dipenjara. Bedanya kamu di dalam sel, aku dipenjara oleh kelumpuhanku. Proses rehabilitasi bagi anak ini penting supaya dia bisa berbaur dengan masyarakat lagi.
Pada September lalu Anda kembali melakukan perjalanan melintasi Sumatera dan menempuh jarak 2.500 kilometer mulai Sabang hingga Jakarta. Apa yang sekarang Anda rasakan?
Banyak penyandang disabilitas di Aceh tapi di sisi lain organisasi bagi difabel tidak sebanyak di Jawa. Maka, saya kenalkan sistem layanan UCP Roda untuk Kemanusiaan di Sumatera, di mana saat ini kami baru hadir di Lampung. Selama perjalanan itu saya menemukan ternyata lebih banyak teman-teman difabel yang hanya di rumah, dengan kursi roda besar yang tidak adaptif. Saya mencatat tak kurang 400-an difabel yang membutuhkan kursi roda yang layak.
Program apa yang Anda tangani di lembaga ini?
Saya di UCP layanan kursi roda. Kami mengupayakan kursi roda yang nyaman yang adaptif atau bisa disesuaikan dengan kondisi tubuh pengguna. Di UCP, kaum difabel juga ikut terlibat merakit kursi roda. Intinya, layanan kami bertujuan mendorong kemandirian para difabel penerima bantuan kursi roda sehingga mereka bisa lebih aktif lagi, sehat, bisa bekerja dan menikmati hidup seperti masyarakat umumnya. Selain itu di UCP kami juga sedang mengembangkan modifikasi sepeda motor untuk difabel supaya lebih terstandardisasi dan bisa diproduksi secara massal.
Selepas perjalanan Aceh-Jakarta, Anda sempat diundang untuk bertemu Presiden Jokowi. Apa yang Anda sampaikan?
Saya sampaikan harapan agar program kami di UCP untuk layanan kursi roda yang adaptif bisa diterapkan di seluruh Indonesia, karena pemerintah bisa mengalokasikan anggaran untuk itu. Kebutuhannya sangat banyak apalagi diproyeksikan 10% dari penduduk Indonesia mengalami disabilitas. Kami juga sudah menjalin perjanjian kerja sama di sejumlah daerah untuk mendukung program layanan kursi roda yang adaptif ini.
Sejauh ini ada berapa banyak difabel pengguna sepeda motor modifikasi di daerah Anda?
Ada ratusan motor seperti ini di Yogya dan Klaten. Semakin banyak penggunanya, semakin banyak difabel yang punya semangat agar hidup lebih aktif dan berani keluar rumah. Dukungan keluarga pun sangat penting.
Inda susanti
(ars)