Respons Ketua MA Jika Hakim TPI Terbukti Langgar Kode Etik
A
A
A
JAKARTA - Rekomendasi hasil pengkajian putusan atau eksaminasi dinilai bisa menjadi pintu masuk bagi Komisi Yudisial (KY) untuk menjatuhi sanksi kode etik.
Namun sanksi tersebut baru bisa dilakukan, jika ditemukan pelanggaran majelis hakim Mahkamah Agung (MA) saat memeriksa hingga menjatuhkan vonis.
Lalu, bagaimana tanggapan Ketua MA Hatta Ali, jika majelis hakim yang mengadili perkara sengketa kepemilikan TPI itu terbukti melakukan pelanggaran kode etik?
Hatta Ali enggan berandai-andai mengenai kemungkinan hal demikian.
"Ya nanti dilihat, makanya kita akan minta klarifikasi dari majelisnya," kata Ketua Hatta Ali kepada Sindonews saat ditemui di halaman Istana Negara, Jakarta, Kamis (20/11/2014).
Seperti diketahui sebelumnya, pakar hukum tata negara Universitas Hasanuddin Aminuddin Ilmar menerangkan, eksaminasi terhadap putusan pengadilan sah-sah saja dilakukan bila dirasa ada penerapan hukum yang tidak tepat dalam pertimbangannya.
Namun, hanya pihak yang berkepentingan yang bisa melakukan eksaminasi dan mengirimkan hasilnya sebagai rekomendasi ke berbagai lembaga hukum terkait.
“Pakar bisa menelisik putusan yang dihasilkan. Nah, yang berkepentingan itu bisa mengundang pakar. Hasilnya rekomendasi, apakah putusan tersebut sudah sesuai dengan hukum atau tidak. Bisa dijadikan sanksi pelanggaran kode etik oleh KY,” ungkap Aminuddin di Jakarta belum lama ini.
Rekomendasi yang dihasilkan bisa diserahkan ke KY untuk menegakkan kode etik hakim. Tujuan eksaminasi bukan sebatas pada penjatuhan sanksi etik terhadap majelis hakim, tapi juga bisa menjadi bukti baru untuk mengajukan upaya hukum PK yang kedua.
Bagaimanapun putusan pengadilan hanya bisa dibatalkan oleh putusan hakim. Sedangkan hasil eksaminasi sebatas rekomendasi untuk menjatuhi sanksi etik hakim, bukan membatalkan putusan pengadilan.
“Temuan eksaminasi bisa jadi pintu masuk PK yang ke-2, apakah memang ada bukti terjadi kesalahan, tapi bukti baru tersebut harus kuat bukan sekadar kesalahan administrasi atau ketidakcermatan,” lanjutnya.
Namun sanksi tersebut baru bisa dilakukan, jika ditemukan pelanggaran majelis hakim Mahkamah Agung (MA) saat memeriksa hingga menjatuhkan vonis.
Lalu, bagaimana tanggapan Ketua MA Hatta Ali, jika majelis hakim yang mengadili perkara sengketa kepemilikan TPI itu terbukti melakukan pelanggaran kode etik?
Hatta Ali enggan berandai-andai mengenai kemungkinan hal demikian.
"Ya nanti dilihat, makanya kita akan minta klarifikasi dari majelisnya," kata Ketua Hatta Ali kepada Sindonews saat ditemui di halaman Istana Negara, Jakarta, Kamis (20/11/2014).
Seperti diketahui sebelumnya, pakar hukum tata negara Universitas Hasanuddin Aminuddin Ilmar menerangkan, eksaminasi terhadap putusan pengadilan sah-sah saja dilakukan bila dirasa ada penerapan hukum yang tidak tepat dalam pertimbangannya.
Namun, hanya pihak yang berkepentingan yang bisa melakukan eksaminasi dan mengirimkan hasilnya sebagai rekomendasi ke berbagai lembaga hukum terkait.
“Pakar bisa menelisik putusan yang dihasilkan. Nah, yang berkepentingan itu bisa mengundang pakar. Hasilnya rekomendasi, apakah putusan tersebut sudah sesuai dengan hukum atau tidak. Bisa dijadikan sanksi pelanggaran kode etik oleh KY,” ungkap Aminuddin di Jakarta belum lama ini.
Rekomendasi yang dihasilkan bisa diserahkan ke KY untuk menegakkan kode etik hakim. Tujuan eksaminasi bukan sebatas pada penjatuhan sanksi etik terhadap majelis hakim, tapi juga bisa menjadi bukti baru untuk mengajukan upaya hukum PK yang kedua.
Bagaimanapun putusan pengadilan hanya bisa dibatalkan oleh putusan hakim. Sedangkan hasil eksaminasi sebatas rekomendasi untuk menjatuhi sanksi etik hakim, bukan membatalkan putusan pengadilan.
“Temuan eksaminasi bisa jadi pintu masuk PK yang ke-2, apakah memang ada bukti terjadi kesalahan, tapi bukti baru tersebut harus kuat bukan sekadar kesalahan administrasi atau ketidakcermatan,” lanjutnya.
(maf)