KY Wajib Usut Dugaan Pelanggaran Kode Etik Hakim TPI

Kamis, 20 November 2014 - 15:05 WIB
KY Wajib Usut Dugaan Pelanggaran Kode Etik Hakim TPI
KY Wajib Usut Dugaan Pelanggaran Kode Etik Hakim TPI
A A A
JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) memiliki kewajiban mengusut dugaan pelanggaran kode etik majelis hakim Mahkamah Agung (MA) yang mengadili kasus kepemilikan saham PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).

Apalagi, PT Berkah Karya Bersama telah melaporkan majelis hakim itu ke KY, beberapa hari yang lalu.

"Ya betul (KY bisa mengusut)," ujar praktisi hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar ketika berbincang dengan Sindonews, Kamis (20/11/2014).

Pasalnya, terdapat indikasi pelanggaran kode etik M Saleh Cs. Majelis hakim dinilai tidak profesional (unprofesional), tidak menerapkan hukum atau aturan dan kewenangan dengan baik.

Sebab, dalam petunjuk teknis yudisial yang dibuat dalam Rakernas Mahkamah Agung 19-22 September 2005 di Denpasar, Bali, menyepakati Pengadilan Negeri atau Umum tidak berwenang mengadili suatu perkara yang para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase.

Walaupun hal tersebut didasarkan pada gugatan perbuatan melawan hukum. Terlebih, para pihak yang bersengketa antara PT Berkah Karya Bersama dan Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut sepakat membawa persoalannya ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

"Jika itu dapat dibuktikan dilakukan dengan sengaja, maka bisa disebut kejahatan profesi," tuturnya.

Dia mengatakan, dalam hal ini, rupanya majelis hakim menarik garis pemisah antara penyelesaian perselisihan perjanjian melalui arbitrase dengan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH).

Diakuinya secara teoritis memang berbeda, karena sengketa yang berdasarkan perjanjian disebut wanprestasi, yang penyelesaiannya melalui arbitrase.

"Sedangkan sengketa yang didasarkan pada perbuatan orang yang merugikan orang lain disebut PMH yang penyelesaiannya di pengadilan negeri," tuturnya.

Akan tetapi, kata dia, jika gugatan PMH mengarah pada sengketa pemilikan saham, maka pengadilan termasuk Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) dan MA harus membatasi dirinya untuk tidak memutus perkara soal saham.

Lebih lanjut dia mengatakan, kewenangan pengadilan di MA terbatas pada mengadili perbuatan melawan hukumnya yang merugikan orang lain, bukan pada perselisihan pemilikan saham.

"Jika MA masuk pada ranah pemilikan saham, maka putusan tersebut keliru karena telah memutus yang bukan kewenangannya," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0018 seconds (0.1#10.140)
pixels