Eksaminasi Pintu Masuk KY Beri Sanksi Kode Etik

Kamis, 20 November 2014 - 13:04 WIB
Eksaminasi Pintu Masuk...
Eksaminasi Pintu Masuk KY Beri Sanksi Kode Etik
A A A
JAKARTA - Eksaminasi putusan Mahkamah Agung kasus sengketa TPI perlu segera dilakukan. Rekomendasi hasil pengkajian putusan atau eksaminasi dinilai bisa menjadi pintu masuk bagi Komisi Yudisial (KY) untuk menjatuhi sanksi kode etik jika ditemukan pelanggaran yang dilakukan majelis hakim Mahkamah Agung (MA) saat memeriksa hingga menjatuhkan vonis.

Pakar hukum tata negara Universitas Hasanuddin Aminuddin Ilmar menerangkan, eksaminasi terhadap putusan pengadilan sah-sah saja dilakukan bila dirasa ada penerapan hukum yang tidak tepat dalam pertimbangannya. Namun, hanya pihak yang berkepentingan yang bisa melakukan eksaminasi dan mengirimkan hasilnya sebagai rekomendasi ke berbagai lembaga hukum terkait.

“Pakar bisa menelisik putusan yang dihasilkan. Nah, yang berkepentingan itu bisa mengundang pakar. Hasilnya rekomendasi, apakah putusan tersebut sudah sesuai dengan hukum atau tidak. Bisa dijadikan sanksi pelanggaran kode etik oleh KY,” ungkap Aminuddin di Jakarta kemarin.

Rekomendasi yang dihasilkan bisa diserahkan ke KY untuk menegakkan kode etik hakim. Tujuan eksaminasi bukan sebatas pada penjatuhan sanksi etik terhadap majelis hakim, tapi juga bisa menjadi bukti baru untuk mengajukan upaya hukum PK yang kedua. Bagaimanapun putusan pengadilan hanya bisa dibatalkan oleh putusan hakim.

Sedangkan hasil eksaminasi sebatas rekomendasi untuk menjatuhi sanksi etik hakim, bukan membatalkan putusan pengadilan. “Temuan eksaminasi bisa jadi pintu masuk PK yang ke-2, apakah memang ada bukti terjadi kesalahan, tapi bukti baru tersebut harus kuat bukan sekadar kesalahan administrasi atau ketidakcermatan,” lanjutnya.

Hasil eksaminasi juga bisa dijadikan cermin bagi hakim agung lain agar berhati-hati dalam memeriksa perkara. Ini kan bisa untuk perbaikan putusan MA ke depan,” katanya. Dia mengharapkan KY sebagai lembaga yang berwenang memeriksa hakim harus tetap proaktif melihat kecurigaan yang muncul dari putusan TPI meski yang bisa dilakukan KY hanyamenelisikpelanggarankodeetik.

“Pelanggaran kode etik tidak membatalkan putusan,” katanya. Sedangkan mantan hakim agung Benjamin Mangkudilaga menyatakan, MA harusnya tidak memiliki kewenangan jika para pihak sudah sepakat untuk menyelesaikan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). “Kalau sudah di BANI, MA tidak berwenang. Enggak berlaku putusannya MA,” lanjutnya.

Guru besar hukum tata negara Mahfud MD membenarkan ada peluang dilakukan eksaminasi pada putusan MA yang menyidangkan sengketa TPI. Menurutnya, dengan eksaminasi, putusan akan dapat dianalisis lebih dalam, diuji kemudian disimpulkan keabsahannya.

“Semua putusan apa pun bisa dieksaminasi. Eksaminasi itu kan artinya dianalisis, diuji kemudian disimpulkan,” ungkap Mahfud saat ditemui di Jakarta kemarin. Menurut Mahfud, siapa pun bisa mengajukan eksaminasi ini, namun yang perlu diingat putusan eksaminasi ini bersifat tidak mengikat siapa pun.

“(Eksaminasi) itu akademis,” lanjutnya. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini mendorong siapa pun yang merasa tidak mendapatkan keadilan untuk mengajukan eksaminasi sebagai jalan atas putusan hakim yang dinilai janggal. “Misalnya mahasiswa tanya ke kampus lalu dibilang ini (tugasnya) salah. Itu eksaminasi. Tetapi, tidak bisa mengikat karena itu bukan palu hakim,” kata Mahfud.

Dia pun mempersilakan saja apabila eksaminasi dilatarbelakangi kekecewaan satu pihak atas putusan MA yang menolak PK sementara di sisi lain masih ada proses hukum di BANI yang seharusnya dihormati MA. “Ya, tapi kalau begitu, itu urusan hukum,” tuntasnya.

Sebelumnya mantan hakim agung Djoko Sarwoko menilai KY bisa memeriksa atau mengeksaminasi putusan hakim yang menolak PK sengketa kasus TPI. Djoko juga mengatakan, publik pun bisa mengkritisi putusan MA tersebut. “Kalau putusannya sudah masuk di website resmi MA, itu kan sudah milik publik,” katanya saat dihubungi, Selasa (18/11). “Kalau KY mau menyelenggarakan eksaminasi, itu boleh saja. Tapi, sebaiknya jangan KY. Harus yang independen. Misalnya dari Universitas Indonesia (UI), yang netral,” sambung Djoko.

Menurut dia, jika klausul penyelesaian sengketa dilakukan di BANI, lembaga itu memiliki kewenangan absolut dalam menangani kasus perselisihan. “Otomatis jadi kewenangan absolut dari BANI,” kata Djoko. Dia berpendapat semestinya MA tidak menangani atau bahkan mengadili perkara tersebut. “Oh ya mestinya dihentikan,” ucapnya.

MA Tak Berwenang

Mantan Hakim Agung Benyamin Mangkudilaga mengatakan, putusan MA mengenai sengketa kepemilikan saham TPI dinilai tidak berlaku jika terdapat klausul mengenai penyelesaian sengketa yang menunjuk pada BANI. “Kalau sudah di BANI, MA tidak berwenang,” ujar Benyamin, dihubungi kemarin.

Ini mengacu pada Undang-Undang (UU) Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999. “Maka, enggak berlaku putusannya MA. Semestinya MA tidak bisa menangani lagi,” katanya. Sebelumnya MA melalui Ketua Majelis Hakim M Saleh bersama hakim anggota Hamdi dan Abdul Manan memutus perkara sengketa PT Berkah Karya Bersama dengan Siti Hardiyati Rukmana (Tutut).

Putusan itu menolak PK yang diajukan PT Berkah atas kepemilikan TPI. Langkah MA yang tetap memproses dan memutus kasus TPI tersebut dinilai janggal dan melanggar UU tentang Arbitrase karena kasus TPI tersebut sedang ditangani BANI. Senada dengan Benyamin, pengamat hukum dari Universitas Negeri Semarang, Arif Hidayat, menilai putusan MA atas sengketa kepemilikan TPI adalah keliru karena masalah itu sedang diproses di BANI.

“ Jika nanti ada keputusan BANI atas sengketa itu, otomatis akan menganulir putusan MA,” kata Arif Hidayat. Menurutnya, itukonsekuensi dari kekeliruan MA yang mengambil kasus itu, padahal sebelumnya kedua pihak bersepakat menyelesaikan ke forum BANI. “Ada dua soal menyangkut kasus TPI yang ditangani MA. Soal independensi peradilan dan wewenang imparsial hakim terkait kompetensi absolut,” katanya.

Menurutnya, jika dua pihak sudah sepakat atas satu cara penyelesaian, tidak etis jika memprosesnya dengan jalur lain karena peradilan harus independen. Melihat perkembangan kasus ini, Arif menduga hakim MA yang memproses kasus itu “bermain” dengan pihak tertentu. “Ini kasus pertama di Indonesia di mana BANI dilangkahi oleh penegak hukum yang seharusnya paham mekanisme seperti ini,” ungkap Arif.

“Pada kasus ini jelas MA melangkahi BANI dan bisa menimbulkan preseden buruk bagi hukum di Indonesia,” tambah Arif yang menduga selama menyelesaikan masalah TPI, BANI terkesan kurang cepat memprosesnya. Pengamat hukumUniversitas Trisakti Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan BANI yang sedang memproses sengketa TPI segera memberi putusan atas kasus ini dan putusannya akan menegasikan putusan PK MA yang memenangkan Tutut.

“Apa pun keputusan BANI akan menegasikan putusan pengadilan, dalam hal ini MA,” kata Abdul Fickar. Ini karena pada 2005 kedua pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui BANI. Menurut dia, dalam hukum perdata dan bisnis, kesepakatan adalah hal tertinggi.

“Kesepakatan atau disebut pacta sunt servanda adalah hal tertinggi dalam hukum perdata. Karena itu, jika sudah masuk ke BANI, artinya sepakat untuk bersepakat dan pengadilan tidak boleh mengintervensi,” kata Abdul Fickar. Situasi ini berbeda dengan hukum pidana di mana mekanismenya diatur Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP).

Semua pihak paham bahwa selama dalam proses arbitrase, tidak boleh ada pihak lain semisal pengadilan yang melakukan intervensi atas kasus tersebut. Jika salah satu pihak yang bersengketa memasukkan kasus ke pengadilan sementara arbitrase sedang berjalan, majelis hakim yang menangani kasus ini seharusnya menyatakan diri tidak berwenang .

“Hakim harusnya menolak jika kasus sudah ditangani arbitrase dan semua pihak harus menghargai proses dan apa pun keputusan arbitrase,” sebut Abdul Fickar. Dia memberi gambaran bahwa banyak kasus menyangkut bisnis diselesaikan dengan cara arbitrase, terutama yang menyangkut investasi dengan pihak luar negeri.

Sifat arbitrase relatif objektif karena dua pihak yang bersengketa sama-sama mencari hakim arbitrase yang menjadi penengah sengketa. “Beberapa masalah arbitrase Indonesia yang diselesaikan di arbitrase Singapura dan Hong Kong karena di dua negara itu kerap terjadi sengketa bisnis,” kata Fickar.

Nurul adriyana/Dian ramdhani/Danti daniel/Sindonews
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0827 seconds (0.1#10.140)